BILA orang bicara tentang boom seni rupa, sebenarnya yang dimaksud adalah seni lukis saja. Sebab, hanya seni lukislah yang banyak dipamerkan oleh galeri yang sejak beberapa lama lalu bermunculan. Sedangkan seni patung terhitung sangat jarang. Soalnya, karya patung cenderung berukuran besar, makan tempat, karena itu menyulitkan penyelenggaraan pameran yang layak. Juga karena jumlah pematung di Indonesia belum terbilang banyak dibandingkan dengan pelukis. Misalnya, Institut Kesenian Jakarta, yang dulu bernama Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, yang berdiri tahun 1970, sampai tahun lalu baru meluluskan 18 pematung. Hanya dari segi ini, sebuah pameran patung layak disambut. Lebih-lebih bila pameran itu mencerminkan kreativitas. Dan itulah yang terjadi dengan pameran Art Explo '92, pameran 15 pematung alumni Studio Patung Institut Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki, 2-26 November ini. Secara umum pameran ini mencitrakan judulnya: explo atau eksplorasi, penggalian serba kemungkinan. Eksplorasi pertama dalam hal bahan: dari kaca, pasir, air, lilin, barang elektronik, sampai perunggu dan makhluk hidup (misalnya ikan). Kedua, eksplorasi ide. Adalah Benny Ronald Tahalele, alumni tahun 1981 yang mengeksplorasi ruang 3,5 x 3,5 meter. Ruang itu dibentuk oleh kawat-kawat yang menghubungkan secara tak beraturan beberapa benda yang diletakkannya pada sudut-sutut "ruang" itu. Benda-benda itu dibentuknya menyerupai menara besi dengan topeng manusia di atasnya. Di salah satu menara diletakkan pengeras suara yang dihubungkan dengan alat-alat elektronik untuk menghasilkan bunyi. Inilah karya yang diberi judul Kawasan Kekekalan. Berada dalam ruang itu sepertinya menjadi asing, lalu muncul rasa takut. Mungkin ini sebuah citra tentang kamp tawanan atau sejenisnya. Sayang, karena letaknya dan karena "bentuk" nya, karya ini terganggu oleh lampu-lampu untuk menerangi karya patung lain di sekelilingnya. Karya Ronald ini akan lebih tampil apabila diberikan satu ruang tersendiri, yang lampau atau cahayanya bisa diatur sendiri. Karya instalasi serupa, tapi lebih menggunakan media elektronik, adalah Kejut, karya Tonny Haryanto. Sebuah kamar gelap 3,2 x 3,2 meter yang dibatasi oleh dinding tripeks berlapis kertas hitam, berpintu pada keempat dindingnya. Di dalamnya, tepat di tengah ruang, berdiri meja kecil dengan wajan logam di atasnya. Dari wajan itu muncul potongan potongan kabel plastik bening yang beraneka warna. Bila sinar ultraviolet menimpa aneka barang yang berwarna-warni itu, barang itu tiba-tiba menyala. Lalu sesekali ada kedip cahaya yang datang dari lampu strobo, mengesankan kilat. Suatu efek optik akan "meneror" pengunjung yang "terjebak" dalam ruang ini. Berbeda dengan kecenderungan karya instalasi umumnya, dua karya itu tak terasa dibebani dengan pesan sosial. Setidaknya, eksplorasi estetiknyalah yang lebih terasakan. Karya-karya yang lain pun menunjukkan kecenderungan ini. Tengoklah karya kaca Erwin, Aquatorium. Gugusan tabung kaca dipasang sambung-menyambung menyerupai konfigurasi senyawa kimia, kemudian dari salah satu tabungnya dipasang pipa menuju tabung gas. Terbayanglah suasana laboratorium di lingkungan penelitian ilmiah. Atau pada karya Agus Hari, Arungga Rengga, dengan media campur: rangka besi yang membentuk kurungan, lalu dua tiang yang dihubungkan dengan dua bentuk pipa horisontal. Pada bentuk pipa horisontal yang di atas, kira-kira di tengahnya, digantungkan sebongkah benda menyerupai kepompong, menyentuh bentuk pipa yang di bawah. Di kiri dan kanan bentuk itu, menancap sebentuk pipa, di bawah ada sebentuk daun. Lalu ada bata tersusun menjadi alas karya itu. Terkesan sebuah suasana Jawa yang mistis, sunyi. Mungkin karena bentuk daun itu mengesankan gunungan wayang kulit, dan dua tiang serta bentuk pipa horisontal membentuk imaji geber. Tapi tidak semua peserta pameran memakai teknik instalasi atau karya yang melibatkan pasang-memasang perlengkapan dalam ruang. Seperti, Dolorosa Sinaga, yang kebetulan menjabat ketua pelaksana pameran ini, juga Yani, Bernauli, Yana, Agus Salim, Dianthus, Awan, Budi Tobing, Ajis Saleh, rata-rata mereka masih setia pada satu bentuk karya yang utuh, yang ditempatkan pada satu alas, seperti layaknya patung yang kita kenal. Namun, karya "konvensional' itu tetap punya gerak dinamika eksplorasi, sehingga terkadang menghasilkan sebuah gubahan baru yang kompleks. Bisma Gugur karya Hanung, misalnya, sebongkah batang pohon yang tergeletak dihunjami puluhan kawat baja. Atau karya Bustami: gaun-gaun hamil -- gaun sebenarnya tapi kaku, dicelup malam untuk membatik. Betapa tak mudahnya menyelenggarakan pameran patung. Pameran ini, umpamanya, dipersiapkan sejak enam tahun lalu. Satu hal lagi, semangat kebebasan menjelajah dalam dunia seni patung, dari segi bahan maupun ide, tampaknya akan makin sulit tertampung dalam ruang pameran. Pameran ini, misalnya, terasa berjejal dan dipaksakan. S. Malela Mahargasarie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini