Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Berbagai karya unik memenuhi ARTSUBS 2024, pameran dan bursa seni pertama di Surabaya.
Super Omnivore #1 karya Agus Suwage menarik perhatian pengunjung ARTSUBS 2024.
Ada pula Family Tree karya Entang Wiharso berupa kepala manusia berwajah empat.
SEMBARI memegangi kepala dengan dua telapak tangan, kerangka manusia dalam posisi berdiri itu seperti “terjebak” di dalam lemari buku tiga saf setinggi 2 meter. Tiap rak rapat oleh buku-buku tebal. Bacaan-bacaan berat itu barangkali membuat si ilmuwan—karena ada kaca pembesar di dekatnya—tak sempat melahap sampai tuntas isi bacaan karena keburu mangkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seni instalasi berjudul Super Omnivore #1 karya Agus Suwage itu salah satu yang menarik perhatian pengunjung ARTSUBS 2024 di Pos Bloc Surabaya, Jawa Timur, pada 26 Oktober hingga 24 November 2024. Tak sedikit yang tersenyum melihat keunikannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengamat seni rupa Irawan Hadikusumo mempersilakan pengunjung punya persepsi masing-masing atas karya instalasi yang ditonton, termasuk Super Omnivore #1. “Kalau ada yang mempersepsikan kerangka itu seorang ilmuwan yang menghabiskan hidupnya untuk membaca buku, sah-sah saja,” kata Irawan kepada Tempo, Rabu, 6 November 2024.
Karya menarik lainnya berjudul Family Tree milik Entang Wiharso: berbentuk kepala manusia sebatas leher, tapi berwajah empat. Warnanya merah menyala. Di atas kepala itu terdapat sepasang sungut yang ujungnya juga berupa kepala manusia. Karya instalasi tersebut terbuat dari material aluminium, bola mata buatan tangan, cat mobil, dan emas poliuretan.
Pengunjung melihat karya Entang Wiharso berjudul Family Tree pada pameran ARTSUBS 2024 di Pos Bloc Surabaya, Jawa Timur, 26 Oktober 2024. TEMPO/Kukuh S Wibowo
Handiwirman Saputra berkarya dengan bongkahan batang kayu, kertas, plastik, benang, dan kawat berukuran raksasa berjudul Seni Tanah#1. Lihat pula karya instalasi kolaborasi Agus Ismoyo dan Nia Fliam yang terinspirasi oleh motif batik Grompol yang melambangkan hubungan intim serta kasih sayang manusia dan alam. Karya itu didasarkan pada mitologi Mahadewa, Kamajaya, dan Kamaratih.
Instalasi rumah berbentuk kubus bervolume 180 meter kubik bermural yang gigantik karya perupa Eko Nugroho pun cukup unik. Dalam karya berjudul Republik Berhantu yang terinspirasi oleh rumah hantu di taman hiburan dan pasar malam itu, Eko memetaforakan kompleksitas negara, kekuasaan, dan politik.
Pesan perdamaian disampaikan secara unik oleh Made Djirna lewat karya instalasi berjudul Cinta. Ia membuat patung manusia sekepalan tangan orang dewasa dari tanah liat lalu dibakar. Jumlahnya mencapai ribuan.
Menurut salah seorang panitia, penggagas ARTSUBS 2024 merayu Made agar bersedia memamerkan karyanya itu. Panitia menyediakan rancangan kawat bulat menyerupai globe raksasa serta bulan tanggal muda. Lalu patung-patung tanah liat Made disusun dengan ditempelkan secara rapat. “Seribu patung ditempelkan di ‘bumi’ dan ratusan di ‘bulan’.”
Ada pula seni instalasi yang menggambarkan gurita raksasa serta hewan-hewan biota dasar laut karya Mulyana Mogus. Dengan warna merah cerah dan merah marun, pengunjung tidak perlu menafsirkan macam-macam karena karya berbahan resin, benang, cat, dan pelapis otomotif itu sepertinya tak hendak diinterpretasikan terlalu jauh.
Selain karya-karya unik yang temanya mudah dicerna, ada seni instalasi dengan pesan satire. Misalnya Perulangan karya Yuli Prayitno. Ia memperlihatkan “jebakan” dari lempeng besi berkarat yang ujungnya bergerigi seperti mata gergaji. Di pucuk jebakan itulah Yuli menaruh replika mahkota berwarna merah.
Karya Made Djirna berjudul Ball of Life pada pameran ARTSUBS 2024 di Pos Bloc Surabaya, Jawa Timur, 26 Oktober 2024. TEMPO/Kukuh S Wibowo
Yuli agaknya mengingatkan kita soal jebakan kekuasaan yang terus berulang bahkan sejak zaman kerajaan. Ia menaruh jebakan besi itu di atas arang kayu yang bermakna ambisi kekuasaan, yang selain menjebak, dapat membakar.
Karya instalasi unik lain adalah Lingga Bergema oleh Agus Toto Suryanto. Ia menggantungkan balon karet yang dicat menyerupai warna daging. Karya tersebut ditempatkan di dalam ruangan khusus yang dinding-dindingnya berupa kaca.
Menurut perupa asal Surabaya itu, karya tersebut berupa interpretasi baru atas simbol lingga dan yoni yang ditemukan di Candi Sukuh dan Candi Ceto, Solo. Agus mengatakan, melalui riset data yang telah dilakukan, menemukan pemaknaan lain atas simbol di benda-benda purbakala. Ia memvisualisasi lingga sebagai buah zakar.
Adapun yoni-nya, kata dia, adalah ruangan bulat berdinding kaca tersebut. Agus punya alasan sendiri mengapa lingga dan yoni ditampilkan dalam cermin. Menurut dia, agar simbol lingga dan yoni tidak melulu seperti yang dikenal selama ini. “Penonton tidak sadar bahwa benda yang digantung itu simbol lingga dan ruang bulatnya itu sebagai yoni,” kata dosen seni rupa Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya itu.
Art Director ARTSUBS 2024 Asmujo Jono Irianto menuturkan karya-karya unik yang paling mudah dikenali memakai medium instalasi. Para seniman menggunakan material besi, kawat, tekstil, kayu, hingga logam. Namun, sesungguhnya, di dalam seni lukis pun terkandung keunikan. “Meskipun masih kalah dominan oleh lukisan, karya-karya instalasi di ARTSUBS 2024 ini mampu menarik perhatian pengunjung antara lain karena keunikan penyajiannya,” ujar Asmujo.
Salah satu lukisan yang menarik berjudul The Last Supper karya Petrus Pranagung. Lukisan akrilik di atas kanvas itu menampakkan latar yang serupa dengan Perjamuan Terakhir Yesus Kristus. Namun orang-orangnya memakai busana adat masyarakat Jawa. Begitu pula karya perupa senior Agus Koecink yang menggambarkan “Perjamuan Terakhir” seniman ludruk di belakang panggung.
“Agus Koecink ingin menyampaikan pesan bahwa ludruk sudah tersisih di Surabaya,” tutur Irawan Hadikusumo.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo