Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Batas agresi di mana ...

Manusia berbudaya menjadi makhluk lain ketika agresinya tidak terkendali. di sana sini pencuri ayam yang sudah tunduk dan minta ampun, masih terus dipukul. mungkin ada sesuatu yang mampu mengendalikan nafsu.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WALAUPUN kalah indah dibandingkan dengan ikan hias air laut, ikan hias air tawar dalam akuarium sudah cukup memuaskan bagi keluarga kami. Di dalam akuarium yang dibeli dari tepi Kali Code ini kami menyaksikan ikan-ikan warna-warni, bentuk beragam-ragam, tingkah laku berlainan pula. Angel fish yang begitu tenang berbeda sekali tabiatnya dengan clown fish yang selalu ada urusan, bergerak naik turun pada dinding kaca. Ikan clurut sering menyelipkan diri pada tumbuhan air tapi biasanya beroperasi di dasar akuarium. Kadang-kadang menyusup antara karang dan pasir, hanya ekor yang tampak, mengingatkan kita pada perilaku burung puyuh waktu ketakutan. Ikan Sumatera yang aktif dan suka bergerak mengelompok, senantiasa menghidupkan suasana. Mereka seperti anak-anak yang kocak dan tak berdosa. Di luar dugaan saya, akuarium bisa juga menyajikan suasana yang sama sekali tidak enak. Pada suatu hari seekor ikan biru, entah apa namanya, menjadi cacad. Sudah habis sebahagian sirip ikan yang malang ini. Lalu kami temukan agresornya, seekor ikan Sumatera yang kocak itu. Dia sudah melakukan perbuatan yang tidak kocak. Dengan iseng dia menyambar-nyambar, dan sambarannya berakibat fatal terhadap si ikan biru. Angel fish hitam adalah ikan lain yang kemudian menemui ajalnya karena siripnya cacad akibat agresi sesama ikan. Peristiwa ini mengingatkan saya pada perilaku agresi bagi makhluk hidup, yang di satu pihak memang berfungsi untuk kelanjutan speciesnya. Teringat teori Darwin peri hal proses seleksi alam: si lemah tersingkir oleh si kuat. Teringat pula berbagai alinea Konrad Lorenz dalam bukunya King Solomon's Ring. Di dalam buku yang memikat ini ada gambar (skets) perkutut mencabuti bulu perkutut sebagai ekspresi dari agresinya. Peristiwa ini terjadi dalam kandang burung Lorenz sendiri. Kejadian ini betul-betul di luar dugaannya. Bayangan kita bahwa serigala atau anjing lebih galak dari perkutut atau balam, tidak bisa dibenarkan oleh Lorenz, pemenang Hadiah Nobel itu. Ada satu mekanisme yang keterangannya begini. Lambang ketundukan submissive (symbol/gesture) yang ditunjukkan oleh pihak yang kalah dengan otomatis menghentikan agresi dari penyerang pada berbagai species. Demikianlah, kalau seekor anjing yang galak menghantam anjing lain, maka serangan itu serta merta berhenti ketika pihak yang kalah menunjukkan lambang kekalahan: ekor membengkok di antara kaki belakang yang merunduk, ditambah beberapa sikap lagi yang khas. Dia menyerah kalah. Dia tidak disakiti lagi dan ffdak dibunuh. Pihak penyerang tidak berniat melanjutkan untuk menggunakan cakar dan taringnya lagi. Di sini manusia dikalahkan anjing, yang secara manis diuraikan Lorenz dalam buku tersebut dan juga dalam bukunya yang lain, On Aggression. Manusia sering tidak mampu menghentikan agresinya walau manusia yang diserang itu apakah ia pencuri ayam atau musuh dalam perang -- sudah menyatakan tunduk dan minta ampun. Walaupun dia sudah menunjukkan lambang ketundukan: merunduk atau angkat tangan. Rupanya manusia yang berbudaya menjadi makhluk lain ketika perilaku agresinya tidak terkendalikan. Di sana-sini pencuri ayam yang minta ampun masih dipukuli sampai babak belur. Yang tunduk dan minta ampun bisa pula terus kena pancung. Sebaliknya manusia semakin mampu menciptakan senjata yang bertambah mutakhir. Jurang semakin lebar antara kemampuannya mengekang diri dan kesanggupannya menciptakan senjata-senjata ampuh. Apakah jalan menuju kepunahan semakin melebar? Semoga tidak demikian, berkat usaha manusia membina tali-temali persahabatan dan cinta kasih yang meliputi seluruh ummat. Ikan, anjing dan manusia mempunyai beberapa persamaan hakiki, di antaranya nafsu agresi. Untuk lebih menjamin hak hidup sesama ikan dalam akuarium saya, maka disingkirkan agresor tertentu, walau rupanya cantik dan tingkah lakunya kocak. Anjing tidak perlu kita risaukan karena punya kemampuan yang baik mengekang diri, sekali musuhnya menunjukkan lambang ketundukan. Tetapi manusia? Kiranya baik juga direnungkan soal ini sekali-sekali di waktu senggang. Mungkin ada sesuatu yang dapat dilakukan manusia untuk lebih mampu mengendalikan diri dalam berbagai bentuk. Syukurlah kalau di dalam salah satu manifestasi agresi, manusia lebih meningkatkan kemampuannya mengekang diri -- untuk tidak memeras lagi mereka yang tidak bisa berkutik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus