Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kini Kau 70 Tahun

Pameran lukisan karya Affandi di galeri baru, TIM. Separuhnya karya 1977. Polesannya spontan, menggambarkan ketenangan. Tidak macet, tetapi mantap. Statemennya : bekerja & mencintai orang miskin.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA sebetulnya yang tertinggal dari seorang Affandi? Apa dia benar-benar kini hanya setumpukan daging rapuh, berusia 70 tahun, dengan beberapa kehormatan internasional? Banyak orang selalu berusaha mengurangi punten orang tua yang bekerja dengan edan di belakang kanvas ini, dengan mengatakan dia sudah macet. Perlukah ini? Affandi, macet atau tidak macet -- tajam atau tumpul -- hadir kembali di TIM dengan puluhan lukisan. Hampir separuhnya lukisan yang dikerjakannya pada tahun 1977. Ali Sadikin menyempatkan diri datang, membuka pameran yang diselenggarakan di Galeri Baru (di atas bioskop TIM) 3 s/d 13 Juli. Ini langsung menjelaskan bahwa orang tua yang doyan makan tempe bakar ini tetap ngebet bekerja. Kegairahan yang sulit dijumpai pada seniman pribumi lainnya, yang biasanya lebih suka berkubur dalam air adem setelah sekali dua mengejutkan. Lima Ibu Tidur Pembeberan karya-karya Affandi kali ini sebenarnya lebih bersifat historis. Apalagi pada dinding terakhir digantungkan pula piagam Anugerah Seni, piagam doktor kehormatan dari Universitas Singapura serta guntingan koran sekitar medali 'Dag Hammarskjoeld' yang diterimanya dari Pemerintah Italia. Terangkum dalam deretan ini beberapa karya periode 30-an, 40-an, 50-an, 60-an serta karya-karya 1977. Seluruh pameran jelas memperlihatkan bagaimana Affandi sebelum sampai pada bentuknya yang sekarang, menguasai dengan baik sekali naturalisme. Beberapa potret yang dibuatnya sebelum dia memplotot tube, dan mencakar dengan jari telanjang, menunjukkan kemahiran pada anatomi. Juga menyarankan adanya pengamatan yang teliti pada watak objeknya. Karena potret yang baik memang bukan hanya untuk mencetak rupa, telapi memindahkan jiwa orang lewat cat. Dalam hal tersebut orang tua ini memperlihatkan ketajaman yang bahkan sampai sekarang selalu melejit dalam setiap lukisannya. Ia selalu berhasil menampilkan ciri pokok obyek-obyeknya, baik babi, ayam, dan sekarang kerbau. Dalam kesempatan jumpa pers, sebelum pameran, Affandi mengaku tidak pernah puas meskipun sudah ribuan kali melukis. "Tapi kalau harus menunjukkan lukisan yang saya sukai, itu lukisan ibu saya. Bukan karena itu bagus atau karena saya puas, tapi karena saya memang cinta pada ibu saya", katanya dengan polos. Kecintaan ini tampak dalam pameran, karena munculnya sang ibu pada beberapa dinding dengan ulahnya yang lain-lain. Ada wajah ibu, ada ibu sedang berjalan dalam gubuk gedeknya, ada ibu tidur, yang sangat mengharukan karena membayangkan suasana kematian (1963). Bahkan ada juga Ibu Marah Padaku (1960). Suasana yang dilemparkan kanvas itu memang sesuai dengan pandangan hidup Affandi yang dekat dengan keluarga. Bahkan melukis baginya: seni untuk menghidupi keluarga. Toh tidak kehilangan kesempatan untuk menemukan puisi dalam hubungan yang intim itu. Sebagaimana misalnya tergambar dalam Lima Ibu Tidur. Di sini kita merasakan misteri dalam jiwa pelukis yang tak pernah bisa dipecahkannya. Sebagaimana juga lukisan Potret Dengan 7 Matahari -- ada sesuatu yang puitis, dekil, dan menyeramkan. Tahun lalu, Affandi muncul di Balai Budaya dengan beberapa ekor kerbau. Kerbau-kerbau itu sekarang memperoleh tempat lebih istimewa. Ini semacam idiom baru -- meskipun motif ayam babi, perahu, masih saja muncul. Dengan warna-warna yang didominir hitam dan kuning kehijau-hijauan, karya-karya Affandi tahun 1977 memperlihatkan watak yang damai. Polesannya masih spontan tetapi emosi garisnya tidak lagi njelimet seperti benang-benang semrawut. Bidang-bidang mulai terpapar. Problimnya tidak lagi kompleks. Ada pembatasan dan perhitungan pada komposisi, sehingga keruwetannya tidak melantunkan pergolakan hidup mati tetapi suasana manis. Pada beberapa lukisan kita cenderung menangkap suasana romantis. Misalnya pada Jembatan Bambu dan Air Terjun. Di sana terasa Affandi berusaha mereguk keindahan alam sangat berbeda dengan lukisan-lukisan sebelumnya seperti Babi Jantan yang melukiskan babi yang tertikam oleh nafsu. Atau Burung Mati Di Tanganku (1943). Dua buah lukisan periode 1977, bernama Perahu-Perahu Nelayan dan Kuburan Mobil, benar-benar berbeda. Tetapi suasana yang digarapnya muncul. Affandi memang tidak pernah berusaha menjawab tuduhan orang bahwa dia macet. Tapi lukisan-lukisan yang baru ini menjelaskan bahwa melukis baginya memang bukan membuat pembaruan-pembaruan. Juga tidak pembaruan terhadap karya sendiri. Dengan cara begini memang bentuk, motif, idiom atau pendekatan pada obyek, sekali jadi, sekali mantap, tidak akan berubah. Lalu apa yang berubah? Tidak ada. Affandi hanya menggambarkan pengembaraan emosinya untuk sebuah statemen yang sudah ia pilih -- misalnya saja: bekerja dan mencintai orang miskin. Setelah kita mengurut-urut dada karena sudah sering memaksakan harapan pada orang tua yang minta "jangan diganggu-ganggu lagi" ini, pameran kali ini menjelaskan bahwa Affandi memang tidak perlu lagi "diganggu'. Orang tua ini telah menjadi tempat menoleh: bahwa bakat dan kesempatan saja tidak cukup, kalau orang tidak benar-benar bekerja. Bahkan sampai tua, tugas-tugas terus mengancam -- apalagi untuk orang yang menamakan dirinya seniman. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus