APA sebetulnya yang tertinggal dari seorang Affandi? Apa dia
benar-benar kini hanya setumpukan daging rapuh, berusia 70
tahun, dengan beberapa kehormatan internasional? Banyak orang
selalu berusaha mengurangi punten orang tua yang bekerja dengan
edan di belakang kanvas ini, dengan mengatakan dia sudah macet.
Perlukah ini?
Affandi, macet atau tidak macet -- tajam atau tumpul -- hadir
kembali di TIM dengan puluhan lukisan. Hampir separuhnya
lukisan yang dikerjakannya pada tahun 1977. Ali Sadikin
menyempatkan diri datang, membuka pameran yang diselenggarakan
di Galeri Baru (di atas bioskop TIM) 3 s/d 13 Juli. Ini langsung
menjelaskan bahwa orang tua yang doyan makan tempe bakar ini tetap
ngebet bekerja. Kegairahan yang sulit dijumpai pada seniman
pribumi lainnya, yang biasanya lebih suka berkubur dalam air adem
setelah sekali dua mengejutkan.
Lima Ibu Tidur
Pembeberan karya-karya Affandi kali ini sebenarnya lebih
bersifat historis. Apalagi pada dinding terakhir digantungkan
pula piagam Anugerah Seni, piagam doktor kehormatan dari
Universitas Singapura serta guntingan koran sekitar medali 'Dag
Hammarskjoeld' yang diterimanya dari Pemerintah Italia. Terangkum
dalam deretan ini beberapa karya periode 30-an, 40-an, 50-an,
60-an serta karya-karya 1977.
Seluruh pameran jelas memperlihatkan bagaimana Affandi sebelum
sampai pada bentuknya yang sekarang, menguasai dengan baik
sekali naturalisme. Beberapa potret yang dibuatnya sebelum dia
memplotot tube, dan mencakar dengan jari telanjang, menunjukkan
kemahiran pada anatomi. Juga menyarankan adanya pengamatan yang
teliti pada watak objeknya. Karena potret yang baik memang bukan
hanya untuk mencetak rupa, telapi memindahkan jiwa orang lewat
cat. Dalam hal tersebut orang tua ini memperlihatkan ketajaman
yang bahkan sampai sekarang selalu melejit dalam setiap lukisannya.
Ia selalu berhasil menampilkan ciri pokok obyek-obyeknya, baik
babi, ayam, dan sekarang kerbau.
Dalam kesempatan jumpa pers, sebelum pameran, Affandi mengaku
tidak pernah puas meskipun sudah ribuan kali melukis. "Tapi
kalau harus menunjukkan lukisan yang saya sukai, itu lukisan ibu
saya. Bukan karena itu bagus atau karena saya puas, tapi karena
saya memang cinta pada ibu saya", katanya dengan polos.
Kecintaan ini tampak dalam pameran, karena munculnya sang ibu
pada beberapa dinding dengan ulahnya yang lain-lain. Ada wajah
ibu, ada ibu sedang berjalan dalam gubuk gedeknya, ada ibu tidur,
yang sangat mengharukan karena membayangkan suasana kematian
(1963). Bahkan ada juga Ibu Marah Padaku (1960).
Suasana yang dilemparkan kanvas itu memang sesuai dengan
pandangan hidup Affandi yang dekat dengan keluarga. Bahkan
melukis baginya: seni untuk menghidupi keluarga. Toh tidak
kehilangan kesempatan untuk menemukan puisi dalam hubungan yang
intim itu. Sebagaimana misalnya tergambar dalam Lima Ibu Tidur.
Di sini kita merasakan misteri dalam jiwa pelukis yang tak
pernah bisa dipecahkannya. Sebagaimana juga lukisan Potret Dengan
7 Matahari -- ada sesuatu yang puitis, dekil, dan menyeramkan.
Tahun lalu, Affandi muncul di Balai Budaya dengan beberapa ekor
kerbau. Kerbau-kerbau itu sekarang memperoleh tempat lebih
istimewa. Ini semacam idiom baru -- meskipun motif ayam babi,
perahu, masih saja muncul. Dengan warna-warna yang didominir
hitam dan kuning kehijau-hijauan, karya-karya Affandi tahun 1977
memperlihatkan watak yang damai. Polesannya masih spontan
tetapi emosi garisnya tidak lagi njelimet seperti benang-benang
semrawut.
Bidang-bidang mulai terpapar. Problimnya tidak lagi kompleks.
Ada pembatasan dan perhitungan pada komposisi, sehingga
keruwetannya tidak melantunkan pergolakan hidup mati tetapi
suasana manis. Pada beberapa lukisan kita cenderung menangkap
suasana romantis. Misalnya pada Jembatan Bambu dan Air Terjun.
Di sana terasa Affandi berusaha mereguk keindahan alam sangat
berbeda dengan lukisan-lukisan sebelumnya seperti Babi Jantan
yang melukiskan babi yang tertikam oleh nafsu. Atau Burung Mati
Di Tanganku (1943).
Dua buah lukisan periode 1977, bernama Perahu-Perahu Nelayan
dan Kuburan Mobil, benar-benar berbeda. Tetapi suasana yang
digarapnya muncul. Affandi memang tidak pernah berusaha menjawab
tuduhan orang bahwa dia macet. Tapi lukisan-lukisan yang baru ini
menjelaskan bahwa melukis baginya memang bukan membuat
pembaruan-pembaruan.
Juga tidak pembaruan terhadap karya sendiri. Dengan cara begini
memang bentuk, motif, idiom atau pendekatan pada obyek, sekali
jadi, sekali mantap, tidak akan berubah. Lalu apa yang berubah?
Tidak ada. Affandi hanya menggambarkan pengembaraan emosinya
untuk sebuah statemen yang sudah ia pilih -- misalnya saja:
bekerja dan mencintai orang miskin.
Setelah kita mengurut-urut dada karena sudah sering memaksakan
harapan pada orang tua yang minta "jangan diganggu-ganggu lagi"
ini, pameran kali ini menjelaskan bahwa Affandi memang tidak
perlu lagi "diganggu'. Orang tua ini telah menjadi tempat
menoleh: bahwa bakat dan kesempatan saja tidak cukup, kalau
orang tidak benar-benar bekerja. Bahkan sampai tua, tugas-tugas
terus mengancam -- apalagi untuk orang yang menamakan dirinya
seniman.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini