Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Video berisi rumah tua beserta segala perabotnya memenuhi layar besar. Tangga rumah, foto keluarga, boneka, meja, kursi, dan kertas mengisi tempat itu. Ada suara air menetes di dalam rumah. Mesin ketik berbunyi dan kertas bertulisan kata-kata mengenai tempat itu muncul di layar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tom Lee, sutradara pertunjukan itu, menyentuh kertas yang keluar dari mesin ketik di rumah mini yang ditempatkan di dekat layar. Rumah itu berisi benda-benda yang disorot melalui kamera kecil sehingga muncul citraannya di layar. Benda-benda itu di antaranya boneka, mesin ketik mini, dan kertas. Musik yang menyayat membawa orang ingat pada kenangan-kenangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama hampir satu jam, Tom Lee menggerakkan kamera kecil di panggung dengan banyak sudut. Dia membawa gambar pada layar sangat dekat dengan mata penonton. “Kami ingin menyentuh penonton. Membawa orang bermimpi, ke suatu tempat di masa lalu, masa depan,” kata Tom Lee.
Koreografer Liza Gonzales menemani Tom Lee untuk mengisahkan cerita tentang obyek-obyek seni di panggung. Ia juga menari di antara pipa-pipa panjang di tengah panggung. Di hadapan citraan gambar serigala, Liza menggerakan tubuhnya, seperti sedang bermain-main dengan binatang buas itu. Aksi Lisa itu ditujukan sebagai gambaran jiwa binatang yang bertahan hidup. Serigala juga bisa melukiskan kesendirian, ketakutan hidup seorang diri, dan harapan. “Cerita ini tidak linier. Semua orang punya memori yang berbeda dan kami mengeksplorasinya,” kata Lisa.
Pentas tari dan boneka itu satu di antara 31 pertunjukan Pesta Boneka International Biennale Puppet Festival pada 12–14 Oktober 2018. Lokasi pertunjukan berlangsung tersebar di beberapa tempat seperti Institut Francais Indonesia, Java Poetry, dan Dusun Kepek, Timbulharjo, Sewon, Bantul.
Festival dua tahunan ini digagas oleh Papermoon Puppet Theatre. Sebanyak 28 seniman dari 16 negara tampil mengisi acara tersebut. Mereka berasal dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Jepang, Australia, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Prancis, Kanada, Polandia, Brasil, dan Argentina.
Tom Lee dan Lisa Gonzales dari Amerika Serikat tampil pada hari pertama pertunjukan dengan judul Place (No) Place. Mereka menyulap panggung pertunjukan dengan sentuhan teknologi yang canggih melalui video, animasi, dan suara. Panggung di-setting dengan sangat rumit dan kaya properti atau perlengkapan. Properti itu antara lain membentuk arsitektur rumah, menggerakkan benda-benda yang berjalan seperti di atas rel kereta api.
Kedua seniman itu bergerak lincah dari satu sudut ke sudut lain di panggung untuk menghidupkan semua obyek atau benda-benda. Cerita yang mereka bangun tidak spesifik, tapi berbicara tentang pengalaman-pengalaman manusia yang terserak dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Kegembiraan, kesedihan, kehancuran, kerusakan: semuanya campur aduk. Contohnya video gunung api yang meletus, banjir bandang, hantu yang melayang digambarkan melalui gaun putih yang berjalan.
Penampilan Tom Lee dan Lisa Gonzales terbilang menyedot perhatian penonton. Maklum, mereka seniman kawakan yang punya jam terbang tinggi dan berpengalaman. Lisa merupakan ketua departemen tari di Columbia College di Chicago. Adapun Tom Lee merupakan seniman pertunjukan boneka dan sutradara produksi pertunjukan War House di Broadway yang memenangi penghargaan bergengsi di bidang produksi dan pertunjukan, Tony Award.
Selain Tom dan Lisa, pada hari yang sama, seniman lain, yakni Ta Babymime, tampil jenaka. Berbeda dengan Tom dan Lisa yang menggunakan kecanggihan teknologi, Ta yang datang dari Thailand itu memanfaatkan benda-benda keseharian yang sederhana untuk menghidupkan panggung. Ia menggunakan sandal, bagian dari kipas angin, topi, koper, dasi kupu-kupu, perlengkapan pengantin, dan kamera imitasi berukuran besar yang dipakai di kepala.
Pertunjukan tunggal Ta Babymime itu diberi judul The Stupid Solo Show. Sejak awal Ta tampil, ia sukses membangun interaksi dengan penonton. Dia datang dari kerumunan penonton, menyentuh tubuh penonton. Seperti seorang tukang sulap, Ta mengeluarkan potongan kertas warna-warni dan mengkilap dari kantong celananya. Lalu ia sebarkan potongan-potongan kertas itu.
Ta tampil kocak dan mengundang penonton untuk bermain bersama di panggung. Suasana panggung terasa hidup. “Hampir di semua pertunjukan saya selalu gunakan pendekatan interaksi dengan penonton. Saya sangat menyukainya,” kata Ta saat ditemui setelah pertunjukan. Ia membangun cerita tentang cinta, patah hati, dan kekonyolan manusia. Ia terlihat mirip komedian Charlie Caplin. Ta menggunakan pendekatan pantomim di sepanjang pentasnya.
Pesta teater boneka itu mengambil tema “Journey”. Penggagas Pesta Boneka yang sekaligus pendiri Papermoon Puppet, Maria Tri Sulistyani, mengatakan festival ini berbicara ihwal kisah hidup seniman, perjalanan mereka, dan perjalanan orang lain.
Festival skala internasional ini mempertemukan banyak orang yang berbeda kultur dan latar belakang. Ada penari, musikus, seniman pantomim, dan pencerita yang membawa pertunjukan boneka dengan pendekatan yang beragam atau tidak konvensional. Semangatnya, menurut Ria, menyuguhkan teater boneka yang eksperimental, kaya pendekatan dalam menghidupkan obyek seni, dan segar. “Beragam pendekatan itu memberikan kejutan-kejutan dalam pertunjukan.” SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo