Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kekosongan yang Tidak Kosong

Karya-karya Tan Tik Lam adalah minimalis secara fisik namun “maksimal­is” dalam jiwa dan fungsi

1 Januari 2007 | 00.00 WIB

Kekosongan yang Tidak Kosong
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Rumah di Jalan Nanas nomor 36, Bandung. Dari depan, rumah seluas 180 meter persegi itu tampak seperti tiga bangunan terpisah, berjajar ke belakang. Tapi, rumah ini adalah satu bangunan menyambung. Warna-warnanya natural: tembok putih, atap dan pagar cokelat. Ada aksen warna pastel kuning, hijau dan oranye di sisi-sisi tembok di bawah cungkup atap, serta merah cerah pada bingkai salah satu jendela.

Dari teras yang terletak di samping, rumah dengan luas lahan 240 meter persegi ini terlihat terbuka. Ruang tamunya dikelilingi jajaran jendela-jendela kaca berbingkai kayu tinggi dan lebar, yang sekaligus bisa digunakan sebagai pintu. Terbuka dan luas, begitulah kesannya. Apalagi perabot di dalamnya seakan mengenyampingkan aspek lain di luar aspek fungsional. Di teras ada satu set kursi dan meja kayu; di ruang tamu satu set sofa cokelat kasual namun nyaman.

Secara keseluruhan rumah Jalan Nanas ini kelihatan ”rendah hati”, namun apik dan nyaman ditinggali. Sosok bernama Tan Tik Lam adalah arsitek di belakangnya. Laki-laki sederhana, apa adanya serta Tan Tik Lam sendiri melukiskan dirinya orang konservatif.

Di usia 37 tahun ini, karya Tan Tik Lam sudah memiliki signatur. Mata para arsitek senior cepat mengenalinya. ”Structure is finishing,” begitu pendapat Baskoro Tedjo, arsitek senior asal Bandung. Tradisi pertukangan (craftmanship) Tan Tik Lam tinggi sekali. Semua itu jelas terlihat di keempat karyanya pada 2006 ini: rumah di Jalan Nanas; rumah di Budiasih, Bandung; rumah di Seminyak, Bali, dan hotel di Kayu Manis, Bali. Juga yang sebelumnya seperti rumah batako dan pabrik garmen di Bandung.

Karena struktur bangunan adalah hasil jadi karya itu sendiri, Tan Tik Lam cenderung anti buat menutupi materi pembentuk bangunan. Atap tanpa langit-langit, penonjolan kerangka, dan penutup atap, tampak misalnya di rumah Jalan Nanas, dengan kayu dan genting telanjang, dan hotel di Bali dengan susunan bambu dan atap ilalang. Sambungan-sambungan yang membentuk siku-siku dalam bangunan juga tak ditutup dengan lis atau ornamen lain, sehingga kejujuran sekaligus kesempurnaan detail sangat menonjol.

Karya-karya Tan Tik Lam adalah minimalis secara fisik namun ”maksimalis” dalam jiwa dan fungsi. Ruang tamu dan makan di rumah di Seminyak memang hanya berisi satu sofa rotan dan seperangkat kursi rotan plus meja makan. Namun, dinding kaca yang mengitarinya membuat orang di ruang itu mendapat pemandangan luar berbeda di setiap sisi ruang: kebun, sawah, rumah tetangga, kolam renang. ”Kekosongan itu sendiri tidak kosong,” kata Tan Tik Lam yang punya prinsip keluasan (space) adalah kemewahan itu sendiri.

Sebagai arsitek, Tan Tik Lam, matang. Lulusan Fakultas Arsitektur Universitas Parahyangan, Bandung ini beruntung karena menjadi anak seorang suhu para arsitek, Tan Tjiang Ay. Dari kecil, Tik Lam sudah berada di lingkungan arsitektural. Dia sering ikut ayahnya ke proyek-proyek dan suka bermain pasir. Beberapa penghargaan disabetnya, termasuk dua kali penghargaan dari Ikatan Arsitek Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus