Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Wijaya
Di festival gamelan di Vancouver , Kanada, pada 1986, yang diikuti oleh 126 unit gamelan, seorang pejabat berbisik di belakang Sardono W. Kusumo. ”Kita Indonesia kalah dalam semua hal. Hanya dalam gamelan kita unggul, dihormati di luar negeri.”
Pernyataan tersebut tak perlu mengecilkan hati bulu tangkis Indonesia yang punya nama besar di mancanegara. Tetapi bagi seni pertunjukan Indonesia, itu adalah pengakuan pemerintah yang mungkin pertama kali diucapkan. Karena itu bukan hanya sekadar gunjingan, tetapi pernyataan yang mengandung kebenaran.
Antonin Artaud, tokoh ”teater kekerasan” dari Prancis yang namanya melangit di dunia di samping Grotowsky, sudah terperangah dibetot oleh tari Bali. Kemudian Martha Graham belajar tari pada I Mario. Dan akhirnya Sardono pada 1975 menggetarkan Paris dan Nancy sehingga tak kurang dari Peter Brook (sutradara Mahabharata) mengundangnya untuk membuat workshop.
Seni pertunjukan Indonesia dengan akar tradisi yang sangat kuat baik dari Jawa, Bali, dan Sumatera, maupun Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua, benar-benar sebuah kekuatan tersendiri di panggung dunia. Toshi Tsuchitory, seorang pemusik kontemporer dengan lempengan besi murni (direktur musik Mahabharata Peter Brook) sampai mengundang seni keraton Solo untuk manggung di panggung terbuka Igakhi, Jepang (1991), dengan disaksikan oleh 5.000 penonton pada malam yang berbadai.
”Jepang harus belajar dari Indonesia bagaimana memelihara tradisi dan membuatnya bergandengan mesra dengan seni kontemporer,” kata Toshi. Komentar itu mengejutkan, karena selama ini kita percaya Jepanglah jagoannya dalam mewarisi tradisi.
”Tidak,” kata Toshi, ”bukan kami. Anak-anak muda kami di Tokyo, misalnya, tak nyaman lagi pada tradisi, karena cara golongan tua yang memberhalakan tradisi sehingga tradisi menjadi kaku dan menggerahkan. Mereka akhirnya berpaling ke Barat, khususnya Amerika. Tetapi Anda di Indonesia, tidak, Anda menempatkan tradisi dalam konteks masa kini dengan begitu indah.”
Sementara itu, Rendra dengan pembacaan sajaknya di Rotterdam juga amat memukau. Sampai-sampai salah satu dedengkot puisi, Pablo Neruda, memeluknya seusai pembacaan. Setidaknya, itulah yang dituturkan oleh Taufiq Ismail dalam sebuah artikel di koran Ibu Kota lama berselang.
Dunia seni pertunjukan Indonesia memang memiliki modal. Eksotik, kata para turis yang terpesona oleh tari keris di Bali. Tetapi bukan hanya itu, seni pertunjukan Indonesia begitu beragam dengan segala kecenderungannya. Rombongan debus dari Banten juga tak kurang memukaunya di expo Jepang. Belum lagi rombongan tari tradisi dari Papua selama KIAS (1991). Asti Denpasar dengan Wayan Dibia bahkan pernah mementasan upacara ”Odalan” di Los Angeles.
Musik jazz Indonesia juga mencatat tempat yang tersendiri. Sementara musik dangdut dan keroncong digemari di Jepang. Salah satu gending Jawa dipilih oleh antariksawan terkemuka Carl Sagan untuk dikirim ke angkasa luar sebagai duta bumi ke dalam kehidupan sana. Sementara Titiek Puspa juga punya catatan menarik dalam perlawatan ke beberapa negara membawa berbagai kesenian daerah.
Seni pertunjukan Indonesia memang tidak bangkit sebagai sebuah industri yang profesional. Baru beberapa orang seniman yang benar-benar bisa hidup dari profesi sebagai ”anak wayang”. Tetapi kondisi ”amatir” itu justru membuat persembahan tumbuh dan berbeda sesuai dengan konteksnya. Kehidupan kesenian menjadi beringas, segar, liar, dan penuh dengan kejutan-kejutan baru, karena tidak terjajah oleh selera barang dagangan.
Ini layak menjadi bahan pemikiran. Apa sebenarnya yang membuat masih ada tempat buat seni pertunjukan Indonesia di forum mancanegara, padahal persaingan begitu gencar. India, Jepang, Cina, Timur Tengah, Afrika. Amerika Latin adalah bukit-bukit tradisi yang juga memiliki berbagai bentuk seni pertunjukan yang memukau. Semuanya juga eksotik. Tetapi seni pertunjukan Indonesia tetap memiliki pukau karena memiliki orisinalitas.
Bersaing ke mancanegara dengan teknologi tidak akan membawa kemenangan. Kita tetap akan berada dalam posisi anak bawang yang gagap. Tetapi keluguan dan teknologi rendah yang disodorkan justru menjadi sangat diminati. Ketika seorang penari dalam rombongan tari Dongeng Dari Dirah (Sardono, 1975) terpeleset di panggung, penonton di Paris berkeplok tangan.
Sebuah terobosan telah terjadi pada kehidupan seni pertunjukan yang sudah mapan. Perfeksionisme yang menyebabkan tontonan menjadi steril dan pasti akibat profesionalisme, membuat berbagai kekurangan dan kesalahan segar dan penting karena manusiawi. Penonton jadi sadar bahwa yang mereka tonton manusia biasa yang berjiwa dan bisa salah. Pertunjukan dikembalikan kepada fungsinya untuk menjaga martabat kemanusiaan.
Dan itu bukan merupakan sesuatu yang baru. Bukan sesuatu yang dibuat-buat. Karena kalau itu tidak otentik, masyarakat mancanegara yang sangat kritis dalam menilai tontonan akan langsung menampiknya. Mereka tidak akan mau tertipu sebab sudah membayar tiket sangat mahal.
Bagi seni pertunjukan Indonesia, itu sudah terbiasa. Berbagai kesalahan tidak pernah ditutupi. Kesalahan adalah bagian dari pertunjukan yang bisa dinikmati. Jiwa yang bebas inilah yang antara lain membuat seni pertunjukan Indonesia unik. Keberanian untuk tidak menyembunyikan apa pun di pentas, adalah langkah besar semacam tindakan anti teater. Bila itu dilakukan sebagai sebuah gerakan, akan menegangkan dan membuat seni jadi tak ramah. Namun, ketika diutarakan dengan lugu, ia benar-benar meneror kemapanan dan membuat pencerahan.
Dan itu tidak begitu saja hadir, tetapi berasal dari sikap mendasar pada kesenian, karena seni pertunjukan Indonesia adalah bagian dari kehidupan. Plus sikap ramah bersahabat dari pentolan seni kontemporer Indonesia seperti Sardono, A.L. Suardi, Rahayu Supanggah, Churiah Adam, Gusmiati Suid, Ki Narto Sabdo, Bandem, Dibia, Rendra, dan sebagainya yang pembaharu tetapi juga sekaligus menguasai seni tradisi. Almarhum Umar Kayam menamakan itu sebagai: ”pemberontakan dengan tangan tidak terkepal”.
Seni pertunjukan di Indonesia bukan hanya semata-mata hiburan. Kalau dikejar lebih jauh, setiap seni pertunjukan terkait erat dengan kehidupan di dalam konteksnya. Ada kaitannya dengan upacara-upacara, dengan ritual dan dengan perjalanan spiritual. Seni pertunjukan Indonesia adalah bagian dari pengalaman batin.
Sebagai pengalaman spiritual, yang menjadi sasaran dari pertunjukan bukan hiburan, tetapi pengalaman batin. Bahwa pertunjukan memberikan hiburan, itu adalah bonus, tetapi bukan tujuan. Itulah agaknya yang sudah tercatat di kepala Antonin Artaud, sehingga ia mendapat inspirasi untuk kemudian mengembangkan ”teater kekerasan”. Kekerasan yang membuat batin menjadi tercuci habis dan baru kembali. Jadi, pertunjukan adalah sebuah cuci batin.
Pertunjukan tidak memisahkan tontonan dengan penonton. Tontonan menjadi peristiwa bersama. Konsep itu membuat persembahan bukan lagi sekadar barang komoditas yang menghibur, tapi kontemplasi yang menebalkan rasa cinta pada manusia lain serta kehidupan bersama. Maka, seni pun menjadi terapi sosial yang dapat dipergunakan untuk berbagai manfaat.
Di Bali kita temukan ada pertunjukan sakral, yang hanya boleh dilakukan pada upacara tertentu. Ada pertunjukan berkeliling yang dilakukan ketika ada wabah besar. Ada pertunjukan yang baru tengah malam bisa dimulai dengan syarat penonton tidak boleh pulang sebelum pertunjukan berakhir.
Tetapi berbeda dengan apa yang hendak dikejar realisme sosial, seni pertunjukan sebagai terapi sosial itu tidak lahir untuk kepentingan politik, meskipun dapat saja dipergunakan untuk itu. Rombongan ”barong” yang berkelana di saat ada wabah, bukan karena pertunjukan dipercaya dapat mengusir wabah, tetapi karena dengan itu masyarakat jadi mafhum ada wabah sehingga berhati-hati.
Akar fungsi sosial itulah yang membuat seni pertunjukan di Indonesia tetap amatir dan sekaligus berpeluang untuk tetap menyentuh rasa kemanusiaan. Mancanegara mengendus hal ini. Kalau kelompok teater anak-anak yang dipimpin oleh Yose Rizal belum lama ini merebut 29 medali emas di Jerman dan sebelumnya di Jepang, pastilah juga karena pancaran semangat tersebut.
Kekayaan di dalam seni pertunjukan Indonesia kemungkinan besar akan pupus dilanda oleh industri seni. Kongres Kesenian sudah mencoba membicarakan hal itu. Agenda kita ke depan untuk menyadari apa kelemahan dan kekuatan kita, sehingga pemerintah tidak salah dalam membina seni pertunjukan. Bukan mengikuti minat wisatawan, tetapi mengajak mereka menikmati apa yang kita miliki. Itu kalau kita masih mau punya kebanggaan di mata dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo