Kaum Profesional Menentang Rezim Otoriter: Sketsa tentang Kelas Menengah Indonesia | Penulis | : | A. Prasetyantoko |
Penerbit | : | PT Grasindo, Jakarta, 1999 |
Kebangkitan" dan perlawanan kaum profesional terhadap bentuk-bentuk otoriterisme Orde Baru—terutama menjelang, selama, dan pasca-lengsernya Soeharto—cukup mengejutkan. Segmen sosial yang selama ini dipandang apolitis itu, bahkan cenderung prokemapanan, tiba-tiba saja tampil dan ikut ambil bagian dalam hiruk-pikuk reformasi. Sampai hari ini, keterlibatan mereka dalam wacana dan gerakan reformasi masih tetap berlangsung. Gejala semacam itu tentu saja menimbulkan pertanyaan, mengapa segmen ini dengan cepat tampil sebagai salah satu komponen di barisan depan reformasi.
Kehadiran buku karya A. Prasetyantoko ini tampaknya memang dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dimulai dengan melacak dasar-dasar teoretis dan akar historis kemunculan kelas menengah—khususnya kalangan profesional—di Indonesia, penulis buku ini bermaksud membuat sketsa tentang kemungkinan peran kalangan ini dalam pembentukan masyarakat sipil di Indonesia. Lebih dari itu, buku ini juga dimaksudkan untuk mencari penjelasan tentang pola-pola dan sikap kelas menengah Indonesia dalam pusaran konflik kepentingan ekonomi dan politik Indonesia kontemporer.
Tak diragukan lagi bahwa sistem ekonomi kapitalis yang dicanangkan Orde Baru telah memberikan dasar struktural bagi kelahiran dan pertumbuhan kalangan profesional di Indonesia. Kebutuhan Orde Baru untuk menjalankan roda kapitalisme secara tak terelakkan menumbuhkan suatu golongan terpelajar dengan kualifikasi manajerial. Maka, selama tiga dasawarsa terakhir ini, kapitalisme Orde Baru terbukti tumbuh cukup pesat. Kalangan ''lapis tengah" ini dengan sendirinya juga memperoleh manfaat langsung dari kapitalisme Orde Baru. Sederet ciri kemapanan sebagai akibat manfaat yang mereka terima dari kapitalisme Orde Baru antara lain adalah tingkat kesejahteraan yang memadai dan gaya hidup metropolis.
Di sisi lain, kapitalisme Orde Baru ternyata juga dikawal oleh rezim politik yang berwatak otoriter-represif. Pada saat kapitalisme Orde Baru tumbuh dan mapan, kaum profesional, yang sesungguhnya diuntungkan oleh sistem itu, tampaknya tak punya pilihan lain kecuali ikut mempertahankan kondisi yang ada. Karena itu, tidak mengherankan jika kalangan ini cenderung berdiam diri sewaktu tuntutan demokratisasi mulai tampil pada awal 1990-an. Akibatnya, asumsi-asumsi teori ilmu sosial klasik yang menempatkan kelas menengah sebagai kekuatan anti-status quo dan pelopor perubahan tak mampu menjelaskan situasi yang terjadi di Indonesia.
Namun, ketika krisis moneter mulai menjangkiti ekonomi Indonesia pada pertengahan 1997 yang lalu, ''kebekuan" kelas profesional akhirnya berubah secara drastis. Krisis yang membuat ketidakstabilan nilai kurs rupiah, terperosoknya harga saham, macetnya dunia perbankan, dan ambruknya sektor riil itu pada gilirannya telah memberikan pukulan yang cukup telak bagi kalangan ini. Situasi semacam ini membuat kalangan profesional dipaksa meredefinisikan orientasi dan tindakannya.
Puncak perubahan yang dialami kalangan ini antara lain mewujud ke dalam cara pandang dan tindakan yang beridentitas politik, sebagaimana yang muncul dalam berbagai bentuk aksi unjuk rasa dan kecaman keras mereka atas ketidakseriusan pemerintah dalam menanggulangi krisis moneter. Bentuk-bentuk tindakan politis, yang sebelumnya mereka jauhi, kini justru menjadi sarana artikulasi sikapnya. Kalangan profesional juga tak lagi menganggap negara Orde Baru sebagai sekutu, melainkan penghalang bagi pemulihan ekonomi.
Namun, sebagaimana yang diamati Prasetyantoko, pandangan dan sikap reformis yang diperlihatkan kalangan profesional itu pada dasarnya lebih didorong oleh kepentingan jangka pendek sebagai segmen sosial yang tengah digerogoti krisis moneter. Bertolak dari gejala yang masih bersifat embrional itu, Prasetyantoko menyatakan, sulit memprediksi keberadaan dan masa depan kalangan ini. Dengan demikian, munculnya harapan akan peran kalangan ini sebagai avant garde perubahan sosial di Indonesia tampaknya merupakan cara pandang yang over-estimate, setidaknya untuk saat ini. Tentu saja, dengan perkecualian, jika kalangan ini dapat memperlihatkan kesungguhannya untuk mendorong era transisi ke arah demokrasi.
Rahadi Teguh Wiratama, Peneliti CESDA-LP3ES
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini