Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kenangan Karya Lama

Dua orang pelopor, G. Sidharta dan Fajar Sidik, berpameran bersama. Sebuah pameran mengenang karya-karya lama.

23 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka adalah tonggak-tonggak seni rupa. Dua nama itu, di antara sejumlah tokoh seni rupa kontemporer lain, adalah Gregorius Sidharta dan Fajar Sidik.

Memamerkan sekitar 25 batang patung kecil, Sidharta memberikan gambaran yang berbeda dengan patung-patung besarnya. Begitu pula Fajar Sidik, dengan sekitar 57 lembar sketsa hitam-putih kertas folionya, sangat jauh dari lukisan-lukisan cat minyaknya. Seni rupa kita yang hiruk-pikuk dalam dimensi sosial-politik atau dalam kemasan instalasi agaknya tidak mengusik kedua pelopor dan guru ini dalam berkarya. Boleh jadi ini karena usia para perupa itu dan tingginya jam terbang yang mereka miliki. Menyaksikan pameran ini, kita diajak menengok kembali ke belakang. Agaknya, tujuan Galeri Mon Décor memang mengenang karya-karya lama keduanya.

Sidharta, 68 tahun, dan Fajar Sidik, 70 tahun—di antara Handrio, Abas Alibasyah, Arbi Sama, untuk menyebut beberapa tokoh di Yogyakarta—pada tahun 1960-an merintis seni rupa abstrak. Cakrawala seni rupa abstrak sesungguhnya semarak di tiga kota: Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Sidharta bergerak pada bidang, sedangkan Fajar pada pola. Pada karya Sidharta, tampak kecenderungan figuratif. Sementara itu, karya Fajar adalah seni rupa abstrak yang berbentuk seperti batu-batu akik warna-warni yang disusun pada dinding. Sidharta menghadirkan pengertian seni kontemporer, sedangkan Fajar mengungkap pengertian gaya dari karya.

Terakhir kali Sidharta menyelenggarakan pameran retrospeksi pada Januari 2000 di Magelang, sedangkan Fajar menyelenggarakannya pada 1991 di Jakarta. Di Galeri Mon Décor pimpinan Martha Gunawan itu, kita menyaksikan Kuda Jelmaan II (1987), yang dibuat dari bahan fiberglass, tempat Sidharta bercerita tentang seorang ksatria yang menjelma menjadi seekor kuda. Tubuh ksatria itu terbaring menyatu di punggung tubuh kuda. Tubuh sang ksatria hampir-hampir tak terlihat sehingga yang muncul adalah ketegaran tubuh binatang itu. Sifat-sifat ksatria yang anggun dan memiliki tanggung jawab rupanya juga harus mencuatkan kekuatan fisik. Pada patung Suling Gambuh II (1989), digambarkan musisi Bali yang dimakan usia dan pengabdian, sedang meniup suling bambu besar.

Jangan lupa menatap Penari Topeng (1986), yang meliuk dengan mengenakan topeng warna emas. Warna topeng yang berbeda dengan warna tubuh membuat patung ini terasa unik. Sidharta, yang bertolak dari nilai-nilai tradisi, biasa memberi warna pada patung-patungnya. Warna emas pada topeng yang lepas dari bentuk keseluruhan patung itu dapat ditafsirkan sebagai nyawa yang diberikan Sidharta kepada sang penari. Sidharta banyak mendongeng, lebih-lebih pada patung-patungnya sekarang, menunjukkan bahwa ia menyadari akan kekayaan tradisi yang tersebar di sekelilingnya.

Sedangkan karya Fajar Sidik, yang seluruhnya berupa sketsa hitam-putih di atas kertas folio, menggambarkan pemandangan dan kehidupan masyarakat Bali. Semua sketsanya itu bercerita tentang upacara keagamaan, perkampungan, pasar, pemandian umum, upacara ngaben, pantai dengan nyiur melambai, iring-iringan jemaah dengan puluhan banten yang disunggi di atas kepala. Di sekolah-sekolah seni rupa, sketsa merupakan pelajaran dasar. Sketsa sangat penting sebagai karya yang utuh mandiri, di samping untuk membentuk karakter suatu karya di kemudian hari. Semua pelukis besar memiliki pengalaman dalam membuat sketsa. Jumlah sketsa mereka sering diibaratkan sebagai bantal untuk tidur.

Danarto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus