Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kepala-Kepala Yang Terpenggal

Perupa Indonesia yang bermukim di Australia, Dadang Christanto, datang dengan patung-patung kepala aluminium. Kenangan tentang para korban pembantaian 1965.

4 Juni 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dadang Christanto seakan-akan tak pernah lelah untuk terus menghitung korban kemanusiaan. Proyek berhitung ini sudah dimulainya pada 1999, tapi sebenarnya telah dirintis lewat karya-karyanya sebelum itu. Kini perupa Indonesia yang bermukim di Australia itu datang kembali dengan membawa 200 lebih patung kepala manusia dari aluminium yang mengangkat kenangan yang mungkin telah dilupakan banyak orang, tentang para korban pembantaian 1965.

Patung terbesar dia letakkan di lantai satu Yuz Museum, Darmawangsa Square, Jakarta, dalam pameran "Mengingat Senyap", yang berlangsung sejak 24 Mei hingga 24 Agustus 2012. Patung kepala sebatas leher setinggi orang itu berwarna putih. Kepalanya botak serta tanpa hidung dan mulut. Tapi, di bagian muka, ada sepuluh topeng kecil yang tersusun dari kening hingga dagu.

Di sisi lain dari deretan topeng kecil pada patung Wajah yang Tak Pernah Lengkap itu Dadang menambahkan sungging-sungging yang dipungut dari kisah wayang Ramayana. Di situ ada Rahwana berkepala sepuluh tapi bersepatu lars, yang seakan-akan mengangkangi kepala itu. Ada pula sosok-sosok perempuan yang jungkir balik di atas dan sebagian masuk ke api yang menyala-nyala di bawahnya.

Adegan ini mengingatkan kita pada kisah Ramayana ketika Shinta diuji kesuciannya dengan dibakar atau terbakarnya Alengka dalam fragmen Anoman Obong. Namun kita dapat pula menganggap ini merupakan bentuk arogansi kekuasaan (Rahwana), yang disebut Agung Hujatnikajenong, kurator pameran ini, "menampilkan narasi tentang budaya patriarki dan militerisme".

Sepuluh topeng itu melambangkan tokoh-tokoh yang dihormatinya, yang dalam Mereka Pernah Bermimpi muncul utuh sebagai sepuluh patung kepala yang juga melambangkan sepuluh wuku dalam pawukon. Para tokoh itu, menurut catatan Agung, adalah D.N. Aidit, Njoto, Sulasmi, Pramoedya Ananta Toer, Sukarno, Haji Misbach, Widji Thukul, Sudisma, Muso, Amir Syarifuddin, dan Tan Malaka.

Dalam pameran ini, Dadang masih menggunakan patung kepala terpenggalnya yang khas: botak, mata yang terpicing tapi bolong, dan mulut bolong yang menganga. Bentuk semacam ini menyiratkan manusia tanpa nama dengan tatapan mata yang kosong dan mulut yang merintih. Suatu perlambang manusia yang menderita.

Namun, berbeda dengan karya-karya Dadang sebelumnya, karya bertarikh 2012 ini menggunakan pula ikonografi pawukon (perwukuan atau penanggalan Jawa kuno) dan wayang, yang menunjukkan kembalinya Dadang pada idiom Jawa. Menurut Agung, dalam mempersiapkan pameran ini, Dadang melibatkan komunitas penyungging di Desa Gentheng, Kasongan,­ Yogyakarta, khususnya Subandi Giyanto, ahli sungging dan sahabat Dadang semasa kuliah di Sekolah Seni Rupa Indonesia (sekarang Sekolah Menengah Seni Rupa) di Kota Gudeg. Subandi, yang terlahir dari keluarga perajin wayang, pula yang mengajarkan soal pawukon kepada Dadang. "Teman saya itu banyak memberi masukan tentang budaya Hindu Jawa yang luar biasa," kata Dadang saat membuka pameran ini.

Dadang mengakui, dulu semasa hidup di Jawa, dia merasa kurang mengenal kebudayaan Jawa. Tapi ketika menetap di Australia, meski sering bolak-balik ke Yogyakarta, dia justru merasa lebih paham dan mengagumi budaya Jawa. Beberapa tahun lalu dia kembali tinggal di Kota Pelajar dan menggali khazanah budaya Jawa itu dan bertemu dengan Subandi, perajin tembikar, dan ahli pengecor logam. Hal-hal itulah yang mengilhaminya untuk membuat patung-patung logam dengan sungging bertema pawukon tersebut.

Dia juga menyertakan seri Pawukon, berupa lukisan cat minyak di atas kanvas, yang menggambarkan simbol-simbol wuku dari pawukon, seperti harimau, babi, ikan, dan burung, serta tokoh wayang seperti raksasa. Simbol itu bertumpang-tindih dengan gambar-gambar kepala manusia warna putih yang tercoret oleh cat merah dan hitam.

Tamatan Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada 1986 itu diundang untuk mengajar seni performance di University of Northern Territory, Darwin, Australia, pada 1999. Sejak itu, Dadang menetap di Negeri Kanguru dan bahkan membeli rumah di Ferny Hills, Brisbane. Dadang termasuk seniman Indonesia yang paling sering tampil di pameran internasional, seperti Trienal Asia-Pasifik di Australia (1993), Sao Paulo (Brasil, 1998), Kwangju Biennale (Korea, 2000), dan Echigo Tsumari Triennale (Jepang, 2006).

Karyanya sudah dikoleksi berbagai museum dan galeri seni. Karya terkenalnya, Mereka Memberi Kesaksian (1996-1997), misalnya, dikoleksi Galeri Seni New South Wales, Sydney. Karya itu berupa 16 patung lelaki dan perempuan yang berdiri sambil mengangsurkan bungkusan dan pakaian anak-anak, yang sebagian adalah baju anak Dadang. Karya lainnya, Hujan Merah (2003), dibeli oleh National Gallery of Australia.

Dadang termasuk generasi seniman 1980-an yang muncul dengan latar politik represif Orde Baru. Seniman kelahiran Tegal, Jawa Tengah, pada 1957 itu kerap tampil dengan seni performance dan instalasi, yang mengangkat masalah-masalah politik pada masanya. Seniman lain yang merintis jalan seni semacam ini pada waktu itu antara lain Tisna Sanjaya, Arahmaiani, Moel­yono, dan Agung Kurniawan.

Sejak dulu Dadang memusatkan perhatiannya pada para korban yang kerap terlupakan. Mereka Memberi Kesaksian, misalnya, menjadi lambang bagi kesaksian para korban kekerasan masa lalu kepada para korban masa kini. Dalam pameran tahun ini pun Dadang masih setia di jalur tersebut. Kali ini dia menggali kenangannya sebagai korban tragedi berdarah 1965.

Ketika pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh terlibat Gerakan 30 September atau anggota Partai Komunis Indonesia terjadi, ayahnya juga lenyap. Dadang baru berusia delapan tahun dan ia menyebut pengalaman itu sebagai "kengerian yang tak terucapkan", yang menjadi tema pamerannya pada 2002.

Sejak itu, stigma "anak PKI" melekat pada keluarganya. "Kakak-kakak saya menjadi orang yang sangat minder. Juga teman yang keluarganya terlibat peristiwa 1965 di Tegal," kata Dadang dalam rekaman video yang ditayangkan di pameran ini.

Dia juga menolak sekolah, karena sekolah membuat dia menangis. "Teman-teman saya mengucapkan kata-kata yang sangat sensitif, seperti ‘anak PKI'. Itu sangat menyakitkan hati dan berulang-ulang," ujarnya.

Kenangan itu dia wujudkan dalam instalasi Tahun Tak Terlupakan, berupa patung kepala yang bersusun dalam tiga bagian, yang masing-masing berjumlah 1, 9, dan 65. Tentu ini harus dibaca secara simbolis, karena jumlah korban itu tidak terhitung.

Namun, ketika penonton melihat Di Sini Aku Temukan Kalian, kita seperti diteror dengan fakta bahwa para korban itu begitu masif. Karya itu berupa bangunan besi berbentuk kubus tanpa atap setinggi manusia. Di situ ada sebuah pintu yang bila kita masuki akan terlihat bahwa di setiap dinding ada puluhan kepala terpenggal yang tersusun rapi di rak-rak kecil. Apakah ini sebuah makam para korban? Sebab, bila kita mendekat ke patung kepala itu, kita bisa melihat bayangan dari wajah kita sendiri.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus