Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOIKOT pengiriman batu bara dari Kalimantan merupakan dampak kegagalan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyelesaikan urusan subsidi bahan bakar minyak. Menunda kenaikan harga BBM terbukti menimbulkan persoalan baru. Kebijakan basa-basi yang seolah-olah menyenangkan rakyat itu ternyata menyengsarakan orang banyak. Pemblokiran suplai batu bara itu nyaris mengancam pembangkit listrik di Pulau Jawa.
Akibat ini tak pernah dihitung penentang kenaikan harga bahan bakar minyak. Mereka jelas tak membayangkan kekacauan akan terjadi di mana-mana. Di Kalimantan, kelangkaan pasokan solar dan bensin membuat warga setempat antre dua kilometer. Gubernur se-Kalimantan mengancam menyetop pengiriman batu bara ke luar pulau. Puncaknya, pada 26 Mei lalu, masyarakat berang dan memblokade tongkang pengangkut batu bara di Sungai Barito, Kalimantan Selatan, dengan perahu-perahu kelotok. Situasi pasti lebih parah jika blokade berlangsung lebih dari sehari.
Keadaan tak perlu seburuk ini apabila politikus Senayan tidak ramai-ramai menolak kenaikan harga BBM bersubsidi. Kenaikan harga niscaya akan membuat kuota BBM bersubsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2012 tidak harus setinggi sekarang—sebesar 40 juta kiloliter. Toh, selama ini pun rakyat di luar Jawa sudah terbiasa membayar BBM lebih mahal. Masalah utama di luar Jawa adalah pasokan yang tak menentu.
Menunda kenaikan sama saja dengan menyetel bom waktu. Ketika harga minyak mentah Indonesia membengkak di atas asumsi APBN-P 2012—sebesar US$ 90 per barel—"ledakan" subsidi akan menjebol kas pemerintah.
Petaka juga akan datang bila pemerintah menoleransi kenaikan konsumsi bensin dan solar. Kelangkaan BBM, terutama di Kalimantan, bisa jadi tak terhindarkan. Soalnya, pertumbuhan ekonomi kawasan itu memang di atas angka pertumbuhan nasional. Di Kalimantan Selatan, misalnya, saban tahun kendaraan bermotor bertambah 15,5 persen. Namun semestinya ini bukan alasan bagi gubernur se-Kalimantan untuk meminta tambahan kuota BBM bersubsidi.
Patut disayangkan tindakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik yang memberi tambahan kuota BBM bersubsidi lima persen kepada Kalimantan. Langkah ini membahayakan karena ancaman gubernur se-Kalimantan itu bisa-bisa ditiru provinsi lain. Kalau itu terjadi, stabilitas ekonomi-politik bakal terguncang.
Gubernur seharusnya membantu menyediakan solusi, bukan menambah masalah. Para kepala daerah justru wajib membantu pusat membatasi konsumsi BBM bersubsidi dengan melarang mobil dinas memakai solar dan bensin bersubsidi. Aturan serupa juga mesti diterapkan pada truk dan tongkang pengangkut batu bara. Selama ini, diam-diam, beberapa perusahaan batu bara tak mau membeli solar industri, yang lebih mahal daripada solar bersubsidi. Sejumlah perusahaan tambang mengakalinya dengan melakukan outsourcing alias menyewa angkutan batu bara rakyat—yang boleh membeli solar bersubsidi.
Perlu pemantauan ketat agar BBM bersubsidi benar-benar hanya dipakai rakyat kebanyakan. Tindakan mengawasi ini jauh lebih penting ketimbang sekadar melontarkan imbauan, yang telah berkali-kali dilakukan pemerintah tanpa hasil memadai. Rakyat sudah jenuh dengan retorika penghematan BBM. Pemerintah menganjurkan pemakaian gas, tapi tak banyak membangun pompa pengisian gas. Diversifikasi energi membutuhkan waktu lama. Yang terpenting sekarang tindakan nyata: naikkan harga BBM.
berita terkait di halaman 106
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo