Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kerajaan Raminem, Kerajaan Suparto

Novel kedua dari trilogi Gadis Tangsi. Hasil riset yang kuat dan pemilihan kata yang tepat lagi memukau.

24 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kerajaan Raminem Penulis: Suparto Brata Penerjemah: Buku Kompas, Jakarta, 2006 Tebal: IV + 472 hal

SUATU pagi, menjelang masuknya Jepang ke Indonesia. Tangsi Garnisun Lorong Belawan, Medan, Sumatera Utara, disesaki truk yang menderu-deram. Para serdadu siap bertolak ke Pangkalan Brandan, mengamankan kilang minyak. Situasi kian genting. Singapura dibom oleh pesawat Jepang. Perang dengan tentara Nippon sudah di depan mata.

Di antara kerumunan massa, terselip- Teyi, gadis baru gede yang disayangi- para petinggi kumpeni. Lewat tokoh Teyi dan Raminem, ibunya, novel kedua dari trilogi Gadis Tangsi (Gadis Tangsi, Kerajaan Raminem, dan Mahligai di Ufuk Timur) ini mengalirkan kisah-kisah kemanusiaan. Di balik tembok tangsi, mereka mengalami cinta, benci, dan sedih.

Kerajaan Raminem berangkat dari satu titik: Teyi ”naik kelas”. Teyi gadis Jawa yang—karena fasih berbahasa Belanda—terangkat derajatnya dari kehidupan tangsi yang kumuh menjadi een mesje van Europee Enclave, gadis Eropa. Ia kenyang ”dijajah” ibunya, namun akhirnya tampil sebagai pemimpin keluarga. Teyi, juga wanita-wanita lain di dalam novel ini, tak bicara soal yang ”besar”. Ya, novel ini menjadi begitu bernyawa karena kemampuan penulisnya bercerita tentang hal sehari-hari dalam setting secara rinci.

Ya, mereka, para perempuan itu, tidak berbicara tentang perang, melain-kan duit yang tiba-tiba tidak laku karena Dai Nippon memberlakukan mata uang baru (hlm. 230). Atau rasa takut keceplosan bicara bahasa Belanda karena terancam ditusuk sangkur atau ditebas kepalanya oleh tentara Jepang (hlm. 212).

Penulis Suparto Brata bertutur tentang banyak hal dalam novel ini, termasuk soal seks yang digambarkan dengan bahasa gamblang tapi tak terkesan jorok. Seperti juga dalam Gadis Tangsi, Raminem banyak membagi kisah-kisah intimnya kepada Teyi. Si penulis melukiskannya secara ilustratif: tentang peniti yang dibuka satu per satu, setagen yang dilepas, rambut tergelung yang diacak-acak (hlm. 51).

Memang, kekayaan bahasa adalah kekuatan utama novel-novel Suparto. Ia menggunakan diksi (pemilihan kata) yang tepat dan cermat. Lewat Kerajaan Raminem—dan novel-novelnya yang lalu—ia membombardir pembaca dengan kata-kata bahasa Indonesia yang nyaris terkubur. Seperti dimunci (dijadikan gundik atau selir), juru gurit (penyair), disunggi (membawa barang dengan cara meletakkan barang tersebut di atas kepala), berkinja-kinja (melompat-lompat), jangak (tidak senonoh tingkah lakunya atau cabul), dan mendompak-dompak (mengangkat kaki depan tinggi-tinggi hendak menerjang).

Suparto mengingatkan akan kekaya-an perbendaharaan kata kita. Semua tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan W.J.S Poerwadarminta, yang diterbitkan Balai Pustaka. Ia ingin menunjukkan bahwa—seperti diungkapkan sastrawan Sapardi Djoko Damono dalam rubrik Bahasa di majalah ini tiga pekan lalu—bahasa Indonesia masih cukup kaya dan karena-nya kita tak harus meminjam istilah asing untuk menjelaskan sesuatu. Tak berlebihan jika Suparto layak disebut se-bagai salah satu penjaga setia bahasa Indonesia, yang kini mulai tergerus oleh penggunaan istilah asing, bahkan untuk kalimat-kalimat yang ada padanannya dalam bahasa lokal kita.

Kekuatan lain Suparto adalah latar belakang sejarah. Sementara Pra-moedya Ananta Toer menghasilkan tetralogi Pulau Buru karena keterlibatannya dalam cerita itu, Suparto merangkai triloginya berdasarkan kisah istri Suparto, Rr. Ariyati. Sang istri adalah anak serdadu kumpeni yang tinggal di asrama tangsi Medan dan kemudian dibawa mengungsi oleh tentara Belanda tetapi terkejar oleh tentara Jepang di Blankejeren, Aceh Tengah. Tak mengherankan jika ia melukiskan situasi di Medan dan Aceh di masa itu de-ngan begitu detail dan hidup.

Andari Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus