Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Utang Tak Dibayar, Apartemen Dibeli

Dililit utang yang belum terbayar, Atang Latief membeli apartemen mewah di Singapura. Nasibnya ditentukan akhir 2006.

24 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERDIRI di kawasan elite Bukit Timah, Singapura, apartemen Wing On Life Garden tampak menjulang gagah. Di bangunan berlantai 30 itulah, Atang Latief alias Lauw Tjin Ho sejak 13 Maret memiliki satu dari dua penthouse apartemen itu. Setiap kali ke Singapura, pengutang bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ini selalu tinggal di ”istana” barunya itu.

Atang menjadi sorotan ketika akhir Januari lalu ”setor muka” ke Jakarta, se-telah sekitar tujuh tahun ngendon di Singapura. Mantan pemilik Bank Indonesia Raya (Bank Bira) itu kabur ke Nege-ri Singa setelah banknya dibekukan dan meninggalkan utang BLBI Rp 325 miliar. Kendati terus mencicil, utang ke nega-ra hingga kini masih Rp 170 miliar.

Karena itulah, di saat kewajibannya be-lum selesai, pembelian penthouse ini meng-undang tanda tanya. Harga penthouse itu sekitar Sin$ 3 juta atau sekitar Rp 16 miliar. Akhir Maret lalu, Tempo sem-pat melongok ”rumah” Atang yang ter-letak di pucuk Wing of Life Garden itu.

Apartemen itu dibeli Atang dari hasil menjual rumahnya di Swiss bebera-pa waktu lalu yang laku Rp 60 miliar.- Me-nurut Lukman Astanto, menantu Atang, saat itu mertuanya tak bisa menikmati hasil penjualan rumahnya tersebut lantaran dibekukan pemerintah Singapura. Alasannya, Atang tengah bersengke-ta de-ngan istri keduanya, Satiawati, yang mengajukan gugatan cerai.

Belakangan, Atang mengajukan per-mo-honan menggunakan uang tersebut ke-pada pengadilan Singapura dengan alasan untuk membeli rumah. Pengadil-an mengabulkan, dan Atang pun membeli apartemen di kawasan Bukit Timah itu.

Emerson Yuntho, Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), menilai, pembelian apartemen ini sangat mengherankan mengingat utang Atang kepada pemerintah yang masih begitu besar. ”Seharusnya pemerintah lebih aktif mendata dan melakukan penyitaan terhadap aset para pengutang BLBI,” kata Emerson.

Tapi, soal ini, Lukman menjamin mertuanya tak akan lari dari tanggung ja-wab. ”Dia menyatakan bukan tipe orang yang punya utang dan tak mau bayar,” ujar Lukman. Sejak dulu, kata Lukman, Atang sudah punya niat membereskan utang-utangnya. ”Tapi ia selalu ditakut-takuti anaknya, dia akan ditangkap kalau pulang ke Indonesia,” ujarnya.

Salah satu yang dituding ke-rap ”meng-gertak” Atang adalah Husni Mukhtar, anak Atang dari Satiawati. Tapi, Husni membantah tudingan itu. ”Kalau Pak Atang berniat menyelesaikan kewa-jiban utangnya, kenapa dia pindah kewarganegaraan?” kata Husni balik me-nuding sang bapak yang sejak 2001 men-jadi warga negara Singapura.

Atang, atas jaminan keamanan dari po-lisi, Januari lalu akhirnya pulang. Begitu menginjak Jakarta ia langsung me-laporkan Husni ke Mabes Polri dengan tuduhan menggelapkan asetnya di PT Bina Multi Finance yang sedianya u-n-tuk menutup utangnya. Laporan sang ayah ini yang membuat Husni meringkuk di penjara Mabes Polri sejak Februa-ri lalu.

Meski terbelit utang kepada pemerintah ratusan miliar, hukum seolah enggan mengusik Atang. Pada awal Februari la-lu, Lukman (mewakili Atang) bersa-ma Ulung Bursa (pemilik Bank Lautan- Berlian), James Januardy (pemilik Bank Namura), Omar Putihrai (pemilik Bank Tamara) bahkan datang ke Istana Presi-den. Di sana, para pengutang dana BLBI itu bertemu Menteri Ekonomi, Kepala Polri, dan Jaksa Agung.

Empat hari setelah bertemu para pe-tinggi itu, keluar keputusan pemeri-n-tah tentang Penyelesaian Kewajiban Pe-megang Saham (PKPS). Pemerintah mewajibkan para pengutang itu melunasi kekurangan utangnya melalui Departemen Keuangan sampai akhir 2006. Prosedur penyelesaian PKPS ini dituang-kan dalam Keputusan Menteri Keuang-an tertanggal 16 Maret 2006.

Salah satu ketentuannya, pengutang yang diatur dalam skema ini adalah mereka yang menandatangani perjanji-an PKPS dan Akta Pengakuan Utang (APU) atau mereka yang sudah membayar sebagian utangnya. Mereka inilah yang akan mendapatkan Surat Keterang-an Penyelesaian Kewajiban (SKPK) jika sudah membayar lunas. Atang masuk dalam skema ini.

Emerson menilai, kebijakan pemerin-tah Megawati dan Susilo Bambang Yu-dho-yono soal BLBI sama saja. Kalau dulu ada release and discharge (R&D), sekarang ada SKPK. ”Bahkan pengutang yang membayar lunas, kasusnya bisa di-deponering atau dikesampingkan,” kata Emerson.

Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung, Masyhudi Ridwan, mengatakan, kasus hukum Atang memang belum diproses. Dalam daftar Kejaksaan Agung, ada enam kasus yang masuk tahap penyidikan dan 14 tahap penyelidikan. ”Ka-sus Atang masih tahap penyelidik-an,” kata dia. Atang, menurut Masyhudi, juga tak pernah masuk daftar cekal.

Kejaksaan Agung kini masih menunggu penyelesaian utang Atang kepada Departemen Keuangan. Jika utang sudah lunas, barulah kejaksaan akan meneliti unsur pidananya. Jika tidak ada, bisa dideponir, dan jika tak cukup bukti, bisa dihentikan atau dikeluarkan Surat Pe-rintah Penyidikan (SP3).

Kepala Bagian Hubungan Media Departemen Keuangan, Edi Efendy, menga-takan, sikap pemerintah soal BLBI ini me-mang meneruskan kebijakan sebelum-nya. Kalau tak diteruskan, kata Edi, sa-ma dengan mencederai janji dengan debitor. Karena itu, pemerintah memberi waktu sampai 2006 harus lunas.

Adapun Atang tetap optimistis bisa menutup utangnya. Dalam taksiran Luk-man, aset yang bisa dipakai untuk menu-tupi utang Atang berasal dari dana penjualan PT BMF sekitar Rp 45 miliar dan 65 persen saham Atang di Texas Fried Chicken yang nilainya sekitar Rp 100 mi-liar. Sisanya, dari beberapa aset lain, be-rupa tanah dan pabrik, yang belum bisa ditaksir harganya.

Ini memang hitungan di atas kertas.- Di lapangan, aset-aset milik Atang itu di-sinyalir sudah berpindah tangan. Bah-kan gara-gara aset itu pula pria 84 tahun yang dikenal gila judi itu sekarang ha-rus ”berkelahi” dengan anak-anaknya.

Abdul Manan, Poernomo G. Ridlo, Anne Handayani/LRB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus