Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Suara Hati Andrea Bocelli

Andrea Bocelli menampilkan konser megah yang menggabungkan gaya klasik dan pop. Bocelli tampak rendah hati.

23 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tenang, penyanyi tenor tuna­netra asal Italia, Andrea Bocelli, bergandengan dengan konduktor asal Italia, Marcello Rota, melangkah memasuki panggung di grand ballroom Hotel Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta, Ahad dua pekan lalu. Tanpa sapaan kepada penonton yang menantinya sejak sore, Bocelli langsung melantunkan tembang pertamanya, Intanto amici qua. Tembang gubahan Pietro Mascagni dari opera Cavalleria Rusticana, yang berasal dari kalimat Intanto Amici, Qui, Beviamone Un Bicchiere, yang berarti Di Waktu Luang, Teman-teman, Ayo Minum, itu seolah mengajak penonton ikut bergabung dalam konser pertamanya di Indonesia tersebut.

Pada usia 52 tahun, Bocelli, yang malam itu berbalut kemeja putih dan jas hitam serta dasi kupu-kupu, terlihat lebih tua tanpa jenggot. Tembang-tembang opera Italia gubahan Giuseppe Verdi sampai Giacomo Puccini dibawakan dengan santai. Tak tampak sedikit pun ketegangan pada raut wajahnya. Malam itu Bocelli tak tampil sendiri. Diiringi Magenta Orchestra, yang dikomandoi langsung oleh konduktor pilihan Bocelli dari Italia, Marcello Rota, dan ditemani choir Impromptu Singers, suara Bocelli terlihat megah.

Terlebih saat berduet dengan soprano Italia, Elena Rossi, menyanyikan Viene la sera karya Puccini dari opera Madama Butterfly. Sesekali keduanya bergandengan, berpelukan. Saat Rossi meletakkan kepalanya pada bahu Bocelli, penonton dibuat terbuai dan larut dalam suasana yang menceritakan malam pernikahan B.F. Pinkerton dengan Cio Cio San itu. Syahdu dan romantis.

Tepuk tangan riuh, terlebih saat Bocelli dan Rossi menyanyikan Brindisi, yang merupakan lagu dari opera La Traviata gubahan Verdi. Brindisi menjadi lagu paling energetik dari rangkaian lagu-lagu opera Italia yang dinyanyikan Bocelli pada babak pertamanya. Pada babak pertama, dia berhasil menyelesaikan 10 lagu.

l l l

Kepiawaian Bocelli semakin terlihat pada penampilannya yang kedua. Kali ini Bocelli mengganti jasnya dengan warna putih. Dalam penampilannya yang kedua ini, Bocelli tak lagi melulu melantunkan tembang-tembang opera Italia yang berat, tapi juga lagu klasik yang lebih bercorak pop. Dengarkan bagaimana Bocelli berkolaborasi dengan paduan suara lewat lagu Voglio vivere cosi karya Giovanni D’anzi. Demikian menggetarkan. Tak syak 3.000 orang yang memenuhi ruangan bertepuk tangan hebat.

Demikian juga saat lagu kedua, Vieni sul mar karya Aniello Califano, mengalun dari bibir Bocelli. Lagu yang merupakan bagian dari album Icanto yang dirilis pada 2008 ini mendapat aplaus yang tak kalah meriah.

Lagu-lagu yang lebih familiar yang menjadi hit dari setiap albumnya, seperti Vilja lied, Mamma, Marechiare, dan O sole mio, kemudian dibawakan penyanyi kelahiran Tuscany, Italia, ini. ”Terima kasih,” kata Bocelli. Kalimat pertama yang diucapkan Bocelli ini muncul di pengujung penampilannya pada babak kedua. ”Terima kasih. Ini pertama kalinya saya datang ke Jakarta. Saat saya pulang, ini akan menjadi kenangan buat saya,” ujar Bocelli lembut.

Bocelli kemudian melantunkan tembang selanjutnya. Kali ini ia menggandeng soprano Italia, Hayley Westenra, menyanyikan Canto della terra karya Francesco Sartori dari album ­Sogno. Suara Westenra, yang lebih ngepop dibanding Rossi, pun terdengar apik berpadu dengan Bocelli. Bahkan suara Westenra tak kalah apik dengan Sarah Brightman. Bocelli pernah membawakan karya itu berduet dengan Sarah Brightman pada 2008. Lagu ini menjadi salah satu nomor dalam album Brightman yang berjudul Symphony. Sebelum berduet, Westenra unjuk kebolehan dengan mendendangkan Amazing Grace karya John Newton. Lagu itu dirilis pertama kali pada 1779 di Inggris dan populer di Amerika Serikat.

Sajian tak kalah apik hadir saat Bocelli berduet dengan penyanyi jazz Tanah Air, Dira Sugandi, membawakan lagu The Prayer. Lagu yang pernah dinyanyikan berduet dengan Celine Dion dan Josh Groban itu merupakan satu dari empat encore (lagu tambahan) setelah 20 repertoar dibawakan Bocelli. Mengenakan gaun merah panjang, sesaat sebelum berduet, Dira seraya terbata sempat mencurahkan perasaannya. ”Malam ini saya bisa mewujudkan impian mama saya untuk bisa berduet dengan penyanyi kelas dunia, Andrea Bocelli.” Rengkuhan tangan Bocelli ke bahu Dira pun semakin membuat Dira terbata dan jatuh ke pelukan Bocelli. Suara tenor Bocelli dan jazz Dira pun beradu dalam The Prayer. Tepuk tangan penonton membahana. Ya, Dira tak mengecewakan penonton.

Kemudian semua penyanyi menyatu di panggung dan membawakan lagu Con te partiro atau, dalam bahasa Inggris, Time to Say Goodbye. Inilah lagu yang pernah dibawakan Bocelli berduet dengan Sarah Brightman. Sebagian penonton berdiri dan hendak meninggalkan grand ballroom saat lagu ini selesai. Namun mereka berbalik karena ternyata Bocelli kembali memasuki panggung. Iringan orkestra pun mulai memainkan Nessun Dorma dari opera Turandot gubahan Puccini. Penonton hening.

Di kalangan penyanyi opera, Nessun Dorma bisa dibilang lagu yang harus bisa dibawakan penyanyi tenor. Nessun Dorma pernah dinyanyikan Placido Domingo, Jose Carreras, Luciano Pavarotti, hingga Michael Bolton.

Dalam lagu ini, kejernihan dan suara emas Bocelli demikian menghipnosis. Dengan keterbatasan indra penglihatannya, Bocelli seolah mampu menyuguhkan suara hati. Bocelli tak bisa melihat aba-aba konduktor memulai dan mengakhiri setiap lagu, tapi dia berhasil memulai dan mengakhiri setiap lagu dengan pas. Bocelli juga tak selalu ingin tampil menonjol di setiap lagu. Dia mampu mengatur keras-lembut suaranya, menyesuaikan dengan musik serta rekan duet dan choir-nya, sehingga terbentuk sebuah harmoni yang indah. Tak hanya itu, di usianya yang sudah menginjak setengah abad, dia berhasil mengatur napasnya dengan baik.

l l l

Perjalanan karier Bocelli tak gampang. Sejak lahir, Bocelli menderita congenital glaucoma. Pada umur 12 tahun, ia mengalami kebutaan total akibat kecelakaan saat bermain sepak bola. Namun kebutaan tidak menghalangi Bocelli meraih gelar doktor ilmu hukum dan bahkan sempat berpraktek sebagai pengacara. Dia meraih gelar doktor ilmu hukum di University of Pisa dengan mempelajari dokumen berhuruf Braille.

Pada siang hari, Bocelli bekerja sebagai pengacara, dan malam hari menyanyi di bar dan tekun berlatih dengan gurunya, Luciano Bettarini. Sukses Bocelli tidak lepas dari peran Luciano Pavarotti ketika, pada 1992, seorang musisi rock Italia, Zucchero, membuat demo tape lagu Miserere dengan suara Bocelli dan mengirimkannya kepada Pavarotti. Di sini justru Pavarotti menyarankan Zucchero berkolaborasi saja dengan Bocelli. Bocelli sudah merekam tujuh opera komplet dan berbagai album pop serta klasik, dengan penjualan 65 juta kopi di seluruh dunia meraih multiplatinum. Bocelli juga tercatat pada ­Guinness Book of Records untuk album Sacred Arias, yang menempati tiga teratas US Classical Album Charts. Bocelli menyebut dirinya sebagai penyanyi modern dengan suara tenor klasik.

Dewi Gontha selaku penyelenggara dari Java Festival Production mengaku puas dengan konser malam itu. ”Beliau orang yang sangat simpel dan mudah bekerja sama. Sangat down to earth dan enggak ribet, sangat kooperatif,” katanya. Dewi mengaku pihaknya tak mengalami kesulitan mendatangkan Bocelli ke Tanah Air. Dibantu Duta Besar Italia di Jakarta, selama satu bulan mereka berhasil mencapai kesepakatan untuk mendatangkan Bocelli. Kesulitan yang dialami hanya terletak pada sisi teknis, terbatasnya alat-alat yang tak tersedia di Jakarta. ”Ini cukup menyita waktu karena kami harus mendatangkan alat-alatnya dari Singapura dan Jepang,” katanya.

Tak banyak permintaan dari penyanyi kelas dunia itu, termasuk urusan mobil, hotel, hingga makanan. Bocelli tak meminta sesuatu yang bersifat eksklusif dan ”wah”. Untuk hotel, seperti artis papan atas lainnya, Bocelli menginap di kamar suite. ”Mobil jemputan juga menggunakan official transportation Audi seri A8 dan Q7. Untuk makanan juga tidak ada yang khusus, hanya yang tersedia di hotel,” ujar Dewi.

Dan malam itu, vokalis tunanetra tersebut berhasil membius penonton yang harus membayar mulai Rp 2,5 juta hingga Rp 25 juta.

Suryani Ika Sari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus