Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENIMAN ronggeng gunung atau Kembang Bale di kawasan Priangan Timur, Jawa Barat, kini menyisakan dua nama tokoh. Mereka adalah Bi Raspi di daerah Banjarsari, Kabupaten Ciamis, dan Bi Pejoh yang bermukim di Desa Panyutran, Kabupaten Pangandaran. Keduanya telah berusia 70-an tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut produser teater Sang Kembang Bale garapan Titimangsa, Pradetya Novitri alias Tya, seniman ronggeng gunung yang kini masih tampil berkeliling adalah Bi Raspi. Sedangkan Bi Pejoh sudah kurang aktif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari hasil riset tim produksi ke senimannya langsung di lokasi, kedua peronggeng gunung itu punya kesamaan sekaligus perbedaan ketika tampil. Kesamaannya adalah mengikuti pakem di bagian awal dengan menembangkan tiga lagu warisan peronggeng leluhur sesuai dengan ajaran guru mereka.
Adapun gaya bernyanyi, urutan lagu, dan gerakan menari keduanya juga serupa. Walau begitu, warna suara mereka punya karakteristik individu. Perbedaan lainnya adalah pada improvisasi lirik dan tarikan vokal.
Bi Pejoh, yang menghafal irama musik ronggeng gunung hingga 20-an lagu, terbiasa melontarkan lirik yang spontan sesuai dengan kondisi di arena pertunjukan. Menurut penulis Toni Lesmana yang telah lama berkenalan dengan seni ronggeng gunung, improvisasi itu sesuai dengan ajaran guru yang setidaknya berjumlah tiga orang.
Sementara itu, Bi Raspi, yang lebih muda beberapa tahun, awalnya belajar dari pemain musik. Ketika mengalami kesulitan menembangkan sebuah lagu, ia pergi belajar juga kepada peronggeng gunung. Dia lebih memilih menyanyikan lirik sesuai dengan yang dipelajarinya sebanyak 16 lagu. “Lengkingan suaranya juga ada improvisasi ketika bernyanyi. Kalau Bi Pejoh tidak begitu,” kata Toni, Senin, 12 Agustus 2024.
Selepas tiga lagu wajib yang dinyanyikan di bagian awal pertunjukan, urutan tembangnya tidak baku. Penonton sekaligus penggemar biasanya suka meminta lagu-lagu kesukaan mereka. Menurut Toni, yang membuat regenerasi sulit adalah anak-anak muda kurang tertarik dan menyanyinya dinilai sulit.
Faktor lain adalah ronggeng gunung sudah jarang diundang untuk tampil. Harapan penerus kini berada pada anak Bi Raspi yang kabarnya sudah tertarik belajar. “Modal awal untuk menjadi peronggeng atau Kembang Bale itu nyanyian,” ujarnya.
Toni mengatakan awalnya ronggeng gunung bukanlah pertunjukan hiburan, melainkan kesenian dalam acara ruwatan. Kearifan lokal itu khususnya dimainkan di kalangan masyarakat di sekitar Ciamis dan Pangandaran, yang tadinya merupakan kesatuan wilayah sebelum pemekaran.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo