Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak selamanya film perang mesti kolosal, menyaksikan ribuan orang beradu strategi dan senjata serta berbicara di antara desing peluru. Sam Mendes (American Beauty, Skyfall, Revolutionary Road) menyuguhkan kisah lain dari medan perang lewat prajurit pengirim pesan, Kopral Lance William Schofield (George MacKay) dan Kopral Lance Tom Blake (Dean-Charles Chapman), dalam garapan anyarnya, 1917, berlatar Perang Dunia I.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penonton disuguhi ketegangan dan emosi tokoh utama yang berupaya bertahan hidup di tengah kekacauan, kehilangan, dan upaya memenuhi tugas. Film dibuka dengan cerita yang menarik penonton untuk mengikuti perjalanan tokoh utama. Sorotan kamera dengan teknik pengambilan gambar yang panjang seolah-olah tanpa putus-seperti dalam The Revenant dan Birdman-serta adegan yang ada kalanya seperti permainan game, membuat penonton ikut menyadari ancaman bahaya. Juga memperkirakan langkah bersembunyi dari tembakan dan ledakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah ini bermula dari dua prajurit, William dan Blake, yang dibangunkan di tengah istirahat siang. Mereka diminta menghadap jenderal mereka untuk menjalankan tugas, di tengah kabar tentara musuh yang mundur. Sang jenderal (Colin Firth) memerintahkan Blake lantaran ia dikenal punya kemampuan membaca peta yang baik.
Blake mengajak Will begitu saja karena keduanya sedang bersandar di bawah pohon yang sama. Blake dan Will menyusuri parit berliku serupa labirin nyaris tanpa ujung. Perjalanan dua kawan itu punya satu tujuan, yakni menyampaikan pesan agar dua batalion di garis depan membatalkan menyerang tentara Jerman, yang dikabarkan sudah mundur ke garis Hindenburg, Jerman. Kakak Blake, yang juga prajurit, turut berada di barisan depan itu.
Perjalanan Blake dan Will disorot Sam Mendes dan sinematografer Roger Deakins demikian dramatis. Menyaksikan 1917, para tokohnya begitu terasa berpacu dengan waktu. Dalam beberapa adegan, pengambilan gambar menempatkan penonton seolah-olah turut terlibat menjadi kawan dalam perjalanan yang sesungguhnya serupa misi bunuh diri itu.
Dua kopral ini punya misi penting menyelamatkan sekitar 1.600 nyawa tentara dari upaya penyerangan yang sesungguhnya sia-sia. Sebab, hal itu hanya mengantarkan ribuan prajurit tersebut pada jebakan Operasi Alberich yang sedang dijalankan pasukan Jerman.
Kedua tokoh ini punya karakter berbeda. Blake gemar berbicara dan penuh semangat. Will lebih banyak menyimak segala ucapan yang keluar dari mulut Blake. Apa yang mereka temui sepanjang jalan jadi bahan pembicaraan: dari bungker musuh yang terlihat lebih baik dan dibangun matang, sampai soal tikus yang ditemui yang berukuran lebih besar ketimbang di bungker mereka. Dua prajurit ini nyaris mati saat terjebak dalam bungker yang sudah disiapkan untuk meledak kapan saja sesudah ditinggal pasukan guna menghilangkan jejak.
Perjalanan Blake dan Will menelusuri jalur parit sepi akhirnya menjumpai ujung: tanah-tanah kosong tak bertuan di daratan Prancis. Mereka melihat tanah-tanah lapang, bangunan hancur berantakan, pohon-pohon tumbang, hingga ternak tanpa tuan yang turut dibinasakan. Belum lagi mayat-mayat bergelimpangan di antara kubangan lumpur.
Misi yang dijalankan Blake dan Will tampak berkebalikan dengan kisah dalam Saving Private Ryan (1998), yang mengantarkan Steven Spielberg sebagai sutradara terbaik Academy Awards ke-71. Sekelompok tentara di bawah arahan Kapten John Miller (Tom Hanks) ini mendapat tugas menyelamatkan seorang prajurit bernama Private James Ryan di tengah kecamuk perang. Namun keduanya punya kemiripan: menghargai nyawa dan tak menihilkan nilai kemanusiaan.
Kisah beralur maju yang sederhana ini dirajut Mendes berdasarkan kisah yang diceritakan kakeknya, Alfred Mendes, yang pernah bertugas sebagai pengantar pesan antarpos saat menjadi prajurit Inggris dalam Perang Dunia I. Lorong parit nan panjang menjadi tempat tinggal dan berlindung para prajurit dalam waktu lama. Tubuh yang akrab dengan lumpur menjadi memori yang melekat pada Alfred, yang kerap mencuci tangannya hingga tua.
Bersama Roger Deakins, Mendes pun mendatangi sejumlah lokasi keberadaan parit-parit panjang, berliku, tempat para prajurit itu tinggal. Roger Deakins menciptakan lanskap perang dan tanah-tanah sisa pertempuran dengan meyakinkan. Parit kering, kubangan lumpur, sertaledakan di tengah gelap dan terang tampak begitu nyata menguatkan visualisasi atas mimpi buruk sebuah perang. Semua itu melengkapi sejumlah ketegangan yang dialami dua prajurit, meski fokus cerita seperti itu membuat penonton tak bisa begitu mengenali jauh sosok pahlawan dalam film ini kecuali apa yang ia alami sepanjang film berlangsung.
Dongeng Mendes yang baru ini cukup mengundang banyak perhatian, bahkan memenangi Directors Guild of America (DGA) untuk kategori Penyutradaraan Terbaik Layar Lebar, dan juga menang di Producers Guild of America (PGA) untuk kategori Produser Film Layar Lebar terbaik. Penghargaan ini diterima Sam Mendes, Pippa Harris, Jayne-Ann Tenggren, dan Callum McDougall. Awal Januari 2020, film 1917 diganjar penghargaan Sutradara Terbaik dan Film Drama Terbaik Golden Globe Awards. Selain itu, 1917 turut mengantongi sembilan nominasi Academy Awards 2020, yang bakal diumumkan pada 9 Februari mendatang. AISHA SHAIDRA
1917
Sutradara:
Sam Mendes
Produser:
Sam Mendes, Pippa Harris, Jayne-Ann Tenggren, dan Callum McDougall
Sinematografer:
Roger Deakins
Pemain:
George McKay, Dean-Charles Chapman, Colin Firth, Benedict Cumberbatch
Durasi:
119 menit
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo