Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah Rempah Rasa Ketimun

Ketika cinta antarbudaya menyelinap dalam logika dunia rempah, mestinya menjadi santapan yang nikmat dikunyah. Sayang, film ini gagal mengimbangi kekuatan novelnya.

13 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The Mistress of Spices Sutradara: Paul Mayeda Berges Skenario: Gurinder Chadha, Chitra Banerjee Divakaruni, Paul Mayeda Berges (dari novel berjudul sama karya Chitra Banerjee Divakaruni) Pemain: Aishwarya Rai, Dylan McDermott, Nitin Ganatra

Di sepotong wilayah di San Francisco yang hiruk-pikuk, Tilottama (Aishwarya Rai), pemilik toko rempah Spice Bazaar, menemukan takdirnya. Dia bersirobok pandang dengan Doug (Dylan McDermott), insinyur macho yang sedang mengerjakan proyek properti tak jauh dari tokonya.

Tapi Tilo bukan pedagang yang cuma berkutat dengan kalkulasi harga kapulaga, jintan, kayu manis, atau lada hitam, agar tokonya bisa terus berjalan. Lebih dari itu, si molek bermata manikam ini adalah seorang ”puan rempah-rempah” (the mistress of spices), profesi langka dalam masyarakat India yang harus melalui serangkaian inisiasi, termasuk dengan ujian menginjak bara api, sebelum jiwanya bisa ”bercakap-cakap” dengan rempah jenis mana pun yang disentuhnya.

Lewat pelbagai adegan kilas balik, dengan layar menyajikan gambar-gambar eksotik India, kita dibawa pada suasana pendidikan Tilo kecil sebagai seorang calon puan. Selain menghafal di luar kepala nama-nama tumbuhan itu, Tilo juga mempelajari khasiat mereka, terutama fungsinya dalam penyembuhan, penenteram pikiran, dan pengendali perasaan.

Dan itulah yang terjadi kelak di San Francisco. Tilo menjadi tempat mengadu Haroun (Nitin Ganatra), imigran Kashmir yang yakin betul gadis itu juga seorang cenayang jempolan yang mampu membaca nasib. Pengunjung toko lainnya, kebanyakan berdarah India, datang bukan hanya untuk berbelanja tapi juga curhat tentang problem masing-masing. Tiap persoalan dijawab Tilo dengan memberikan satu jenis rempah tertentu. ”Setiap orang memiliki rempah masing-masing, seperti halnya setiap orang punya tradisi,” ujar Tilo kepada Doug dalam pertemuan mereka yang kedua. Tapi Tilo tak kunjung menyebut apa rempah paling cocok untuk Doug, meski berulang kali lelaki itu menanyakannya.

Apa boleh buat, Tilo mengingatkan kita pada Vianne Rocher, tokoh yang diperankan oleh Juliette Binoche, pemilik kedai cokelat La Chocolaterie Maya dalam film elok Chocolat. Dua-duanya membuat perubahan pada penduduk kota. Tapi justru dari sinilah masalahnya dimulai: The Mistress of Spices (2005, edar di Indonesia pada 2007) tak memiliki greget sekuat Cho-colat (2000), apalagi meninggalkan kesan yang mencengkeram hati penonton setelah lampu bioskop kembali menyala.

Dan ini mengherankan. Pertama, film ini berdasarkan novel berjudul sama karya kelima Chitra Banerjee Divakaruni, 51 tahun, profesor sastra Inggris di Universitas Houston. Selain itu, novel ini— terbit pada 1997 alias dua tahun sebelum novel Chocolat karya Joanne Harris keluar—ditabalkan Los Angeles Times sebagai Best Book 1997. Kedua, skenario filmnya, selain digarap oleh sang novelis, juga oleh pasangan suami-istri Paul Mayeda Berges dan Gurinder Chadha, yang cukup sukses membuat Bend It Like Beckham dan Bride and Prejudice (di dua film itu Chadha sebagai sutradara dan Berges sebagai penulis skenario). Dua faktor itu saja sebetulnya sudah lebih dari cukup untuk membuat film ini mengungguli Chocolat.

Namun di tangan Berges sebagai sutradara—ini film layar lebar pertamanya—The Mistress berubah dari sekumpulan rempah hangat menjadi cacahan ketimun dingin yang membuat goyah selera. Kendati tetap menarik sebagai santapan visual, ceritanya sendiri terasa melompat-lompat karena editing yang ganjil seakan-akan ingin berpacu dengan waktu. Alhasil, dialog-dialog romantis pada versi novelnya terdengar ampang begitu diucapkan para tokoh di layar.

”Dan apakah jenis rempahku yang belum pernah kau sebutkan itu?” tanya Doug di akhir adegan, beberapa jenak setelah mereka bermandi keringat terbakar gairah.

”Tilo,” jawab sang gadis dengan mata manikamnya yang kian temaram. ”Tilo, biji wijen.”

Alih-alih mengharukan, rasanya seperti mendengar tebakan penuh seloroh anak-anak sekarang.

Akmal Nasery Basral

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus