Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pementasan drama Rumah Boneka (A Doll’s House) karya Henrik Ibsen oleh Neo Teater Bandung yang disutradarai Fathul A. Husein di gedung teater Toga Sanbo, Jepang, pada 7 September lalu, mendapat sejumlah pujian dari dewan kritik Suzuki Company of Toga (SCOT). Dalam forum diskusi, dewan kritik, yang terdiri atas tujuh orang dan dipandu Oriza Hirata, menyatakan pementasan Neo Teater dalam perhelatan SCOT Summer Season 2017 itu sangat "well made play" dan indah. Penggarapan teaternya baik, setiap perubahan adegan atau setiap bagiannya berjalan sangat bagus. Penyutradaraannya sangat teliti dan jalinan sebab-akibat tiap peran begitu terasa, sangat bisa dinikmati dan dipahami kendati bahasanya tidak dimengerti.
Forum "Asia Theatre Directors" Festival Toga 2017 yang diselenggarakan SCOT di kawasan Toga Art Park of Toyama Prefecture ini menghadirkan sutradara dari lima negara. Tiap negara menggunakan bahasa pengantar negara masing-masing, yaitu bahasa Indonesia, Cina, Taiwan, Korea, dan Jepang sebagai tuan rumah. Kelimanya membawakan naskah yang sama, yaitu babak terakhir dari lakon Rumah Boneka yang ditulis Ibsen pada sekitar 1879.
Neo Teater, yang mewakili Indonesia, dan kelompok dari Cina tampil di Toga Sanbo, sebuah gedung teater bergaya Kabuki yang "dikeramatkan" dan telah berusia 150 tahun. Kelompok dari Taiwan dan Jepang berpentas di panggung terbuka, Rock Theatre. Adapun wakil dari Korea tampil di teater kotak hitam di bagian gedung Center for Creative Exchange. Kawasan Toga Art Park, yang menyatakan diri sebagai "The Mecca of Theatre", lengkapnya memiliki enam panggung teater yang sangat bagus-bagus. Selebihnya, yaitu Toga Dai-Sanbo, New Toga Sanbo, dan Toga Open Air Theatre, beralas sebuah danau dan berlatar kerimbunan hutan.
Oriza Hirata menyatakan pementasan Rumah Boneka oleh lima negara itu berlandaskan alasan kesejarahan, di samping SCOT sendiri berkeinginan melihat ragam tafsir berdasarkan "tubuh budaya" tiap negara terhadap naskah yang sama. Alasan kesejarahan ini lebih dijelaskan lagi oleh Shuji Ishizawa sebagai penasihat keseluruhan program. Sesepuh yang pernah menjadi guru besar jurusan teater di Toho Gakuen ini menyampaikan bahwa Jepang sebelumnya tak mengenal Henrik Ibsen. Namanya muncul justru beberapa hari setelah ia wafat pada 23 Mei 1906 dalam bentuk berita kecil di koran Jepang.
"Sejak itulah diketahui ada dramawan dari Norwegia bernama Ibsen. Karya-karya lakonnya pun mulai dipelajari, dan Rumah Boneka mendapat perhatian utama," ujar Shuji Ishizawa. Naskah drama tiga babak itu pun, menurut Ishizawa, mulai dipentaskan dan sangat diterima masyarakat yang memang saat itu sedang semangat-semangatnya melakukan perubahan besar, terutama sangat menginspirasi kaum perempuan sehingga bisa dikatakan sebagai penanda awal bangkitnya feminisme di Jepang.
Lakon Rumah Boneka memang sangat berpihak kepada eksistensi perempuan melalui tokoh utamanya, Nora, sekaligus seperti umumnya naskah Ibsen yang penuh kritik halus atas kemunafikan. Irama tragis (poema,pathema, mathema) keseluruhan lakon berjalan atas perkembangan karakter istri tokoh Helmer ini. Nora (diperankan Sari Mulyati), yang begitu dikasihi Helmer (Dedi Warsana), semula menyembunyikan rahasia beriktikad dan melakukan tindakan pemalsuan tanda tangan demi uang pinjaman dari Krogstad (Heksa Ramdono) untuk menolong ayah yang sakit dan suami yang masih melarat, poema. Di kemudian hari, karier Helmer meningkat menjadi pejabat bank. Krogstad, yang berpasangan sekaligus dilatari perseteruan dengan Linde (Yani Mae), mulai mengotak-atik rahasia Nora demi mendapatkan pekerjaan di tempat Helmer.
Irama dramatik berkembang, bahkan rahasia Nora itu terbongkar lewat secarik surat Krogstad. Nora mulai bergelut dengan iktikad dan tindakannya, pathema. Ia mendapatkan kenyataan bahwa hukum sosial, hukum positif yang berlaku, bahkan agama tak berpihak kepada dirinya yang bermaksud menolong orang tua dan suaminya. Di pengujung, mathema, Nora, yang secara tersirat terilhami pula oleh kehidupan dan keputusan hidup Dr Rank (Joko Kurnain), memutuskan pergi untuk menjadi dirinya sendiri, keluar dari rumah boneka meski harus membawa kesakitan karena meninggalkan anak dan cinta terhadap suaminya.
Dewan kritik SCOT menilai gambaran yang disampaikan Neo Teater saat Nora mengambil keputusan di akhir lakon itu sangat jelas dan terasa keperihannya. Mereka pun menilai musik yang disusun dan dimainkan oleh Yoko Nomura sangat menjelaskan perasaan tiap tokoh, titik utama atau "core" teatrikalnya dikatakan bermuara di adegan akhir. Yang lebih menarik adalah pendapat bahwa garapan Fathul A. Husein ini sebagai garapan yang tanpa "hero" di atas panggung, semua keberadaan manusia menjadi setara atas kebenaran sekaligus kesalahannya, maka impaknya sangat dialektis.
Hal ini berbeda dengan garapan kelompok dari Korea yang disutradarai seorang perempuan, Lee Eun-jun, yang begitu keras memperlihatkan tekanan Helmer (Park Wan-kyu) terhadap Nora (Kang Ji-eun). Di tengah dan di akhir lakon, sosok Nora versi Korea tampil heroik meski di akhir pengadeganan tambahan kembali "terjebak" pada hukum sosial yang membelenggunya.
Ketika ditanyakan mengapa permainan dramatik Korea cenderung dalam tempo cepat hingga pada beberapa bagian menimbulkan efek komedi, Kim Eun-woo selaku pemeran tokoh Krogstad mengatakan, "Itulah Korea." Kehidupan sehari-hari di Korea, menurut Kim, umumnya berjalan dalam tempo cepat. Adapun tentang "heroisme" perempuan, dijawab oleh Lee Eun-jun selaku sutradara, motivasi itulah yang saat ini sangat mendesak bagi Korea.
Lee Eun-jun menyatakan dia bukanlah seorang feminis. Namun ia tak menyangkal bahwa perempuan di Korea masih cenderung tertindas, bahkan masih ada kecenderungan berbagai tindakan kekerasan lelaki terhadapnya, termasuk dalam hal perilaku seksual domestik. Itu pulalah yang mendorong dia membuat pengadeganan kekerasan Helmer terhadap Nora, meskipun tidak berupa kekerasan fisik, kecuali terhadap peralatan pentas (stage props) dan sedikit penggambaran "nafsu" Helmer di atas meja.
Sementara itu, Fathul A. Husein mengatakan dia membawakan "irama Indonesia" yang mengalir, melodius, dan romantik, tapi tidak tergelincir menjadi melodramatik. Pengajar filsafat seni di Universitas Parahyangan dan kritik seni di ISBI Bandung ini mengatakan tidak berkehendak membawakan drama Ibsen itu menjadi gambaran pertengkaran rumah tangga. "Drama-drama Ibsen itu bersifat universal meski latar kejadiannya bermula dari rumah tangga," ujar Fathul.
Terjadinya perbedaan-perbedaan tekanan dari tiap negara, menurut Fathul, menandakan teater itu penuh kebinekaan, pluralisme, dan demokrasi yang menakjubkan. Pesan Ibsen melalui Rumah Boneka tentu menyadarkan kita akan arti pentingnya jati diri yang beragam dan saling menghargai serta pembebasan diri kita dari kerangkeng norma-norma, batasan-batasan sempit di ranah sosial, moral, pemikiran filosofis, hingga hukum, bahkan agama. Ibsen menulis Rumah Boneka bukan untuk bangsa tertentu, melainkan buat "kemanusiaan sejagat" (humanisme universal). Lakon-lakon Ibsen sangat bernas untuk "menghajar" hal yang jelek-jelek yang berlangsung dalam kemanusiaan kita.
Herry Dim
Pemerhati Seni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo