Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Toast dan Duel Kipas

Padnecwara menyuguhkan empat koreografi di Taman Mini Indonesia Indah. Berulang kali ditampilkan, Kumolo Bumi tetap menarik.

18 September 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Enam perempuan mengenakan kostum penari serimpi mengambil empat gelas wine di belakang mereka. Mereka lalu menari sambil memegang gelas. Tangan kanan mereka mengangkat gelas, kemudian sedikit menyorongkannya ke arah penonton. Lalu, dengan posisi tubuh merendah, mereka seolah-olah meneguknya. Retno Maruti, koreografer senior, memberi judul tarian "seloki" garapannya tersebut Pradapa Ngambar. Artinya: aroma yang semerbak.

Serimpi dan gelas wine. Sebuah ungkapan indies. Campuran antara budaya Jawa dan kultur Belanda. Malam itu, 8 September 2017, melalui karyanya tersebut, Retno Maruti bersulang menghormati tamu Padnecwara yang datang memenuhi Sasono Langen Budoyo Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Tari itu merupakan ungkapan rasa syukur Maruti bahwa Padnecwara- kelompok tari klasik yang didirikan bersama suaminya, Sentot Sudiharto, pada 1976- masih bertahan sampai sekarang.

Betapa pun sekadar tarian sambutan, sesungguhnya sumber tarian itu memiliki sejarah panjang. "Itu toast kepada para tamu Belanda," kata Sulistyo Tirto Kusumo, penari senior sekaligus Direktur Program Taman Mini Indonesia Indah. "Aslinya itu tarian Serimpi Sangupati karya Pakubuwono IV yang ditarikan empat orang. Para penari menyambut tamu Belanda dengan membawa seloki. Ini sebuah asimilasi."

Pakubuwono IV, seperti kita ketahui, memerintah Keraton Surakarta pada 1778-1820. Nama Serimpi Sangupati mulanya berasal dari sangapati. "Sang apati" merupakan sebutan bagi pengganti raja. Ketika Pakubuwono IX memerintah Keraton Surakarta (1861-1893), tarian Sangapati diberi makna baru menjadi Sangupati, yang bernuansa perlawanan.

Pemerintah kolonial saat itu memaksa Pakubuwono melakukan perundingan menyerahkan tanah pesisir Pulau Jawa. Pada saat pertemuan di keraton, Pakubuwono menyajikan tari Serimpi Sangupati. Namun tari itu bukan sekadar sebuah hiburan, tapi juga disiapkan sebagai bekal kematian bagi Belanda. Para penari Serimpi Sangupati syahdan dilengkapi pistol sungguhan yang diisi peluru. Para penari menyuguhkan gelas berisi arak untuk tamu Belanda. Pakubuwono berharap, bila banyak tamu Belanda yang mabuk, perundingan tak akan terjadi.

Seterusnya memang Serimpi Sangupati menggunakan properti pistol mainan dan gelas minum arak. Pada awalnya tarian yang terbatas untuk kalangan keraton ini pasti berdurasi lama. Namun sekarang bisa menjadi lebih-kurang 15 menit saja. Tentu tidak ada arak atau wine dalam gelas. Enam penari Padnecwara hanya berpura-pura meneguk. Namun perpaduan gelas wine dan kelembutan para penari terasa pas. Serasi. Tidak ada keganjilan pada gerakan mereka.

Malam itu, hampir semua generasi Padnecwara diikutkan. Termasuk yang berusia muda. Nomor Enggar-enggar ditarikan Retno Proborini dan Landung Anandito. Ini semacam "love dance". Hampir semua karya besar Padnecwara diselipi adegan tarian percintaan. Sebut saja Suropati, Dewa Brata, dan Sekar Pembayun. Kita ingat dalam Suropati, misalnya, ada adegan duet percintaan Surapati dengan perempuan Belanda, Suzane. Dimulai dengan konflik, lalu berakhir dengan romansa. Retno Maruti menyajikan "love dance" secara anggun dan halus. Tidak vulgar, meledak-ledak, atau voluptuous.

Enggar-enggar bukan karya Retno Maruti, melainkan karya Wahyu Santosa Prabowo dan Sunarno. Wahyu bergabung dengan Padnecwara sejak awal grup berdiri. Karya ini pernah ditarikan Retno dan Wahyu beberapa tahun lalu. Tarian ini menceritakan adegan Damarwulan pamit kepada Anjasmara, sang istri. Ia hendak melawan Menakjingga, Adipati Blambangan, yang tak mungkin dimenanginya. Toh, ia harus tetap pergi memenuhi tugas perang Kencanawungu, Ratu Majapahit. Sebuah "love dance" mengenai perpisahan.

Selanjutnya, koreografi Sekar Puri, yang menampilkan delapan penari. Semuanya membawa payung. Unsur payung diambil dari khazanah tari gambyong. Pada nomor ini, anggota-anggota baru Padnecwara yang belia dilibatkan, termasuk si kecil Kanyaka, cucu pasangan Retno Maruti-Sentot Sudiharto yang baru berumur 7 tahun. Lalu ada juga Dhea, putri pendidik anak Kak Seto Mulyadi. "Dia baru beberapa bulan ikut Padnecwara. Dasarnya malah balet," kata Sentot.

Payung yang dipakai adalah payung model keraton buatan industri kerajinan payung Juwiring Solo. Awalnya para penari membentuk lingkaran, kemudian berpisah menjadi dua. Lalu membentuk dua baris dengan posisi serong saling berseberangan. Satu kelompok menampilkan posisi bundaran payung ke muka. Satu kelompok lain menampilkan bulatan payung ke belakang. Permainan payung yang kontras diperhitungkan.

Nomor puncak adalah Kumolo Bumi, yang menunjukkan kemampuan tafsir Rury Nostalgia sebagai koreografer. Karya ini sudah beberapa kali ditampilkan, tapi tetap menarik. Koreografi ini terilhami tari Adaninggar Kelaswara, tari putri Surakarta yang bertolak dari kisah Serat Menak. Dewi Adaninggar, putri dari Cina, melakukan perjalanan ke Jawa hendak meminang Wong Agung Jayeng Rana. Ternyata, di tanah Jawa, Wong Agung telah memiliki istri bernama Kelaswara. Pertarungan dua perempuan tidak terelakkan.

Tari ini dalam versi keraton biasanya cukup dibawakan dua perempuan. Rury mengembangkan tari ini dengan materi sembilan penari. Semuanya penari senior Padnecwara. "Di Padnecwara, bedhaya menjadi titik tolak," ucap Sentot. Tidak ada perbedaan rias busana antara pasukan Cina dan Jawa. Semua dengan atasan putih yang tertutup hingga agak leher dan bawahan merah. Berbau kostum Cina.

Perbedaan karakter agaknya tak ingin ditunjukkan Rury melalui kostum, melainkan melalui emosi dan gerak. Blocking diawali dengan posisi Nungki Kusumastuti (Adaninggar) dan Yuni Swandiati (Kelaswara) berdiri sejajar agak berjauhan. Di belakang mereka, para penari lain duduk bersimpuh dengan formasi 3-1-3. Saat berganti gending, gerak unsur "silat" Cina mulai tampak. Sabetan-sabetan selendang merah dan adegan para penari bersama-sama melakukan kayang- membengkokkan badan ke belakang seperti tarian Legong atau tari topeng Indramayu- menjadikan tari terlihat dinamis.

Sekali waktu, Nungki Kusumastuti berada di tengah lingkaran. Pada saat para penari terpisah duduk bersimpuh diagonal dengan formasi 3-5, dari samping ia menembang sendirian. Menyatakan kasmarannya kepada Jayeng Rana.
- Tumanem ing cipta
- Wening ing prasetyo
- Gumelar bumi langit
- Weh edining bawono
- Sunaring kasetyan jati

Adanya tembang individual dan kelompok yang silih berganti merupakan khas Padnecwara. Dalam versi keraton, saat adegan peperangan, penari biasanya membawa properti cundrik, keris, atau gandewa. Namun Rury menggunakan kipas. Di sini inovasi dia terlihat. Di tangan Rury, kipas berubah menjadi alegori senjata tajam. Harus diakui suara "prakkk" gemeretak kipas yang dibuka dan ditutup serta deru sabetan membuat suasana gereget dan tak hambar. Juga membangkitkan imajinasi tentang perang itu.
- Kusumo mung paduko
- Kang pantes ambo sumawinto
- Kebas trabas ing ngayudho
- Sirno kang candolo
- Toto raharjo

Para penari dari dua kelompok sama-sama menyanjung Wong Agung. Sampai akhirnya terjadi duel. Duel yang berakhir kematian juga menjadi kekuatan Padnecwara. Cara Rury kini membawa adegan duel ke arah kematian menjadi hal yang menarik. Terakhir kali saat menggarap Arka Suta, ia bisa menghadirkan kematian Karna secara mengharukan. Karna rebah di tangan Kunti, sebagaimana Kristus rebah di lengan Maria dalam pose-pose pieta.

Hal itu mengingatkan pada Retno Maruti, sang ibu yang juga biasanya membawa karyanya ke klimaks kematian menggigit. Liris. Sekaligus tragis. Kita ingat Ki Ageng Mangir dalam Sekar pembayun. Ia duduk menghadap Panembahan Senapati, sang raja, ayah Pembayun. Ia bersimpuh. Dan panggung langsung berwarna merah. Seperti terpotong, tarian pun selesai. Sebuah akhir yang menghunjam. Tanpa diperagakan pun, kita akan tahu itu darah Mangir.

Malam itu, kita melihat adegan Yuni dikepung dan Kelaswara dikeroyok. Berbagai formasi duel berjejer, diagonal, atau melingkar ditampilkan Rury. Sampai akhirnya Kelaswara dan Adaninggar saling mendekat menyentuhkan ujung kipas dan mengangkat kipas dengan gerakan kayang. Duel tak jatuh pada pertarungan fisik. Lebih merupakan pertarungan batin di antara keduanya.

Dalam pertunjukan versi keraton, kematian Adaninggar biasanya dimulai ketika Kelaswara membentangkan busur panah. Dan kemudian Adaninggar rebah tanah. Suasana menjadi pilu karena sebetulnya Wong Agung juga mencintai Adaninggar. Duel antara Kelaswara dan Adaninggra dalam Kumolo Bumi akhirnya memakai kipas. Tiap penari memegang kipas di tangan kanan dan kiri.

Sebuah tusukan dihunjamkan Yuni lurus ke tubuh Nungki. Kipas yang dipegang Nungki jatuh satu per satu. Dan Nungki berputar-putar. Tangannya mengembang. Lampu padam. Adaninggar tewas. Sebuah kematian yang juga cukup indah.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus