Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewa Kwan Kong tegak menjulang di tengah ruangan. Tingginya yang mencapai 3,5 meter terasa mengancam. Mukanya berkerut, jenggotnya meliuk, tangan kanannya menggenggam golok panjang. Terkesan lebih mengintimidasi karena seluruh tubuh dewa perang Cina itu terbuat dari kolase benda metal berwarna kelabu yang berlubang atau bergeligi. Adalah blok mesin sepeda motor dan mobil yang dipereteli oleh perupa Ichwan Noor untuk membentuk tubuh sang dewa. "Sekitar 400 kilogram material saya kumpulkan dari tempat pengumpulan limbah rongsokan di Yogyakarta," kata Ichwan.
Karya Ichwan berjudul Chinese God of War itu khusus dia buat untuk pameran Trienal Seni Patung Indonesia di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Bertema "Skala", pameran jilid III ini berlangsung hingga 26 September nanti. Ada 46 perupa yang diundang secara khusus untuk berpartisipasi dalam pameran patung kontemporer ini.
Ichwan membuat patungnya hingga utuh di Yogyakarta. Melihat karya ini, mulanya kita bisa mengira Ichwan merespons diprotesnya monumen Kwan Kong di Tuban, Jawa Timur. Sekelompok masyarakat di Tuban, kita tahu, hendak merobohkan patung yang didirikan umat Konghucu. Hal itu menyebabkan pihak vihara ketakutan, lalu menutupi patung Kwan Kong dengan kain sampai sekarang. Tapi ternyata maksud Ichwan bukan mengkontemplasikan kasus tersebut. Karya itu dibuat Ichwan karena refleksinya tentang kebangkitan ekonomi dan industri di Cina telah mendominasi dunia. "Hampir semua barang di badan kita dibuat di Cina, dari gadget hingga sepatu. Mengagumkan tapi juga menakutkan bagi saya," ujarnya.
Karya ini diletakkan di depan karya Yuli Prayitno: Nama Saya Hitam. Karya Yuli yang bernuansa gelap itu memenuhi dinding di belakang sang Kwan Kong. Karyanya berupa bentuk-bentuk pemiuhan kursi hitam yang terbuat dari karet silikon. Karya Yuli yang ditempel berjajar di dinding itu, entah bagaimana, terasa cocok menjadi latar Kwan Kong. Sekilas kita bisa mengira dua karya itu merupakan satu kesatuan.
Trienial seni patung ketiga ini memberi kesempatan bagi para perupa untuk menafsir secara bebas dan luas tentang definisi monumen. Kurator Rizki A. Zaelani dan Asikin Hasan menghendaki pematung yang terlibat kembali menjejaki tradisi seni patung yang berawal dari monumen. "Bukan hanya yang konkret seperti monumen orang, tapi juga monumen ilusif yang berasal dari citra," ujar Rizki.
Memang masih banyak yang menampilkan monumen dalam sosoknya dalam pengertian paling konvensional atau setengah konvensional. Patung karya Ichwan Noor di atas masih tergolong konvensional meski materinya lain daripada yang lain. Juga patung resin RJ Katamsi karya Wahyu Sentosa. Karya ini menampilkan sosok utuh RJ. Katamsi, pendiri Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta. Karya ini boleh dikatakan mewakili pengertian paling umum tentang monumen.
Beberapa karya menampilkan sosok-sosok figuratif dengan skala alit. Misalnya karya Wilman Syahnur: Pengembala Negri, yang membuat sosok Joko Widodo dengan domba-domba dalam suatu bidang sebuah maket. Atau karya Wiyoga Muhardanto: Plugging The Leak. Sesosok laki-laki kecil berdiri di atas tabung elpiji. Sejumlah karya mencoba menggabungkan figur-figur kecil dengan media lain. Karya Wayan Upadana berjudul Water, misalnya, terdiri atas sosok-sosok kecil manusia transparan berbahan resin yang hanya kelihatan bagian pinggang ke atas. Bagian bawah tubuh mereka seolah-olah tenggelam dalam air yang dimunculkan lewat layar LED yang menampilkan video lautan berdebur.
Sejumlah deformasi atas sosok diperlihatkan beberapa pematung. Nyoman Adiana, misalnya, menampilkan serangkaian patung sosok manusia berwarna-warni dari pelat galvanis berjudul Taman Kota, yang diletakkan di halaman luar Galeri Nasional. Tapi yang kuat adalah karya Budi Kustarto. Ia menyajikan sesosok laki-laki dengan kepala terbuat dari bohlam-bohlam lampu yang merunduk menyangga sebuah tangga.
Beberapa karya berusaha melepaskan diri dari sosok monumen figuratif-tapi masih menyuguhkan monumen dalam bentuk simbol-simbol atau imitasi benda-benda yang memiliki konteks sosial yang kuat. Simaklah karya Teguh S. Priyono berjudul LOVE. Teguh membuat empat benda dari aluminium yang membentuk huruf L-O-V-E di dinding. Namun huruf tersebut terbuat dari simbol militer atau kekerasan. Huruf L terbentuk dari pistol laras pendek, O dari helm tentara, V dari pisau lipat, dan E dari garu. "Saya mencoba menghindari konvensi patung pada umumnya yang monolit, masif, dan dingin," ucap Teguh.
Di sudut lain, Awan P. Simatupang menghadirkan 60 rangkaian senapan AK-47 yang tergantung di langit-langit dan membidik satu titik. Dalam karya berjudul Eat Shit and Die itu, Awan membalut senapan dengan tempelan tuts-tuts keyboard komputer. Untuk karyanya itu, Awan menggunakan 300 papan tik komputer bekas. Karya Awan itu menyimbolkan apa yang kini dikenal sebagai keyboard warrior, orang-orang yang berlindung di balik identitas anonim di dunia maya untuk menyebarkan kebencian dan kekerasan. "Seperti AK-47 yang digunakan teroris, media sosial kini digunakan sebagai senjata yang ampuh dan menjangkau seluruh dunia," ujar Awan.
Ada yang betul-betul berani-lepas bebas menafsirkan monumen dalam bentuk abstrak. Karya Ivan Sagito, The Body Line in the Body, berupa tumpukan ramping belitan, tusuk-menusuk kayu-kayu sonokeling terasa kuat dan enak dipandang mata. Ada juga karya Budi Adi Nugroho berjudul In Search of Gold. Budi menampilkan semacam bandul besar yang satu sisinya datar berwarna keemasan, sedangkan sisi lainnya cembung berwarna merah jambu. Bandul ini terus berputar dan memantulkan cahaya dari kedua sisinya.
Edwin Windu Pranata membuat rupa-rupa bentuk berwarna cerah dari barang sehari-hari, seperti kepala sikat WC, cetakan lontong, dan tali-temali. Benda-benda ini ditaruh di rak tiga tingkat berlapis kaca. Kurator pameran, Rizki A. Zaelani, menyebut karya ini sebagai satu bentuk pendekatan baru dalam seni patung yang mampu menampilkan konsep monumen dari benda sehari-hari. "Aspek monumental ternyata dapat juga dibentuk dalam proses seketika," kata Rizki.
Sejumlah pematung senior turut serta dalam pameran ini. Karya Rita Widagdo berjudul Interwoven Energy menjadi penyambut di pintu masuk. Karya ini berupa lempengan stainless steel yang membentuk sebuah gelombang. Tak jauh, ada dua seri pahatan di atas marmer karya Sunaryo berjudul Let Your Boat of Life be Light 1 & 2. Ada pula karya Putiaso yang dibuat Nyoman Nuarta pada 2005 berupa monumen jantung raksasa yang terbelah tepat di tengah sehingga menampakkan daging berwarna merah.
Moyang Kasih Dewimerdeka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo