Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kejahatan Korporasi di Teluk Jakarta

11 April 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPUTUSAN Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menghentikan sementara pembangunan di pulau reklamasi Teluk Jakarta mesti diikuti sanksi kepada perusahaan pembangun. PT Kapuk Naga Indah telah membuat rumah-toko di Pulau D dan menjualnya tanpa izin mendirikan bangunan. Seharusnya sanksi tak hanya berupa penyegelan, tapi juga memberi penalti dan mencabut hak eksklusif membuat bangunan pulau itu.

Apalagi induk perusahaan Kapuk Naga, Agung Sedayu, tengah disidik atas dugaan penyuapan kepada Mohamad Sanusi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta. Raksasa properti itu keberatan dengan kontribusi tambahan 15 persen dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, sehingga menyuap DPRD agar mencabut ketentuan itu.

Peraturan itu akan menjadi dasar dan legitimasi para pengembang mendirikan bangunan di pulau-pulau yang izinnya terbit pada 1995 dan diuruk mulai 2010. Gubernur Basuki menilai kewajiban pengembang menyisakan 40 persen lahan untuk ruang terbuka hijau serta 5 persen untuk fasilitas umum dan fasilitas khusus terlalu ringan.

Ia ingin pengembang juga ikut membangun fasilitas publik di daratan Jakarta dengan menyisihkan keuntungan menjual pulau lewat skema 15 persen x nilai jual obyek pajak x luas lahan yang bisa dijual. Pengembang keberatan dan meminta DPRD menurunkannya menjadi 5 persen atau menghapusnya dari peraturan daerah. Dengan total kontribusi Rp 48,8 triliun, selisih 10 persen itu setara dengan Rp 25,8 triliun.

Skenario itu tercapai seandainya Komisi Pemberantasan Korupsi tak mencokok Sanusi. Dalam draf terakhir peraturan daerah itu, kontribusi tambahan telah lenyap. Jika KPK tak menangkap Sanusi pada Kamis dua pekan lalu, bisa jadi DPRD mengesahkan peraturan daerah itu tanpa kontribusi tambahan sepekan kemudian.

Tindakan KPK itu bisa menguntungkan atau merugikan publik. Menguntungkan karena syahwat korup pebisnis melalui politikus kemaruk telah gagal. Merugikan karena korupsi ini terputus di tengah jalan. Seandainya peraturan daerah itu disahkan dan pasal kontribusi hilang, mereka yang tergaruk KPK boleh jadi bukan cuma pejabat legislatif dan pengusaha, melainkan juga unsur eksekutif. Pelaku dan fakta kejahatan akan terangkai sejak hulu hingga hilir.

Apalagi KPK menangkap percakapan antara anggota staf khusus Gubernur Basuki, Sunny Tanuwidjaja, dan bos Agung Sedayu, Sugianto Kusuma. Sunny dikabarkan menjalin komunikasi dengan Sanusi untuk meloloskan pasal itu. Ia juga bertelepon dengan Sugianto alias Aguan dan menjanjikan kontribusi tambahan tak diatur dalam peraturan daerah.

Munculnya nama Sugianto juga mengejutkan karena ia selalu disebut-sebut sebagai "Godfather Jakarta". Namanya selalu dikaitkan dengan Sembilan Naga, koneksi pengusaha yang menguasai bisnis gelap sejak Orde Baru. Pimpinan KPK bisa memakai momentum ini untuk memulihkan keragu-raguan publik akan keberanian mereka menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Terhadap Gubernur Jakarta, staf khusus, dan aparat birokrasi lain yang mungkin terlibat, KPK tak perlu ragu.

Bagi pemerintah Jakarta, peristiwa ini juga bisa dipakai untuk moratorium reklamasi. Menimbun Teluk Jakarta sebagai ruang dan pusat bisnis baru mengundang kontroversi sejak ide ini dicetuskan Presiden Soeharto pada 1995. Itu bukan hanya karena reklamasi diserahkan kepada pengusaha. Pengurukan ini pun menimbulkan tanda tanya besar tentang kerusakan lingkungan yang lebih besar di masa depan.

Apalagi Kapuk Naga—seperti pernah ditulis majalah ini—diduga mencuri pasir dari Kepulauan Seribu, taman nasional yang menyangga biota laut di Teluk Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup pun telah mengeluarkan kajian bahwa reklamasi akan merusak mata pencarian nelayan, mengubah arus laut yang membuat keanekaragaman hayatinya rusak, serta mengacaukan aliran 13 sungai yang menjadi momok banjir Ibu Kota.

Pengungkapan korupsi reklamasi ini bisa dijadikan pijakan Gubernur Basuki buat meninjau kembali reklamasi untuk menekan sekecil mungkin dampak kerusakan di kemudian hari. Basuki selalu mengatakan tak bisa menghentikan reklamasi karena amanat konstitusi. Ia memang tak bisa ujuk-ujuk menghentikan reklamasi yang diatur melalui keputusan presiden—jika ia tak ingin dituntut pengembang yang sudah mengantongi izin. Karena itu, kemungkinan gugatan terhadap keputusan presiden oleh masyarakat luas perlu dipikirkan.

Terhadap pengembang yang nakal, KPK tak boleh memberi ampun. Mereka yang memberi dan mengatur suap harus dihukum berat—termasuk pengusaha di level tertinggi. Tak berhenti hanya pada "oknum", institusi pemberi rasuah mesti pula dihukum. Suap reklamasi Teluk Jakarta harus dinyatakan sebagai kejahatan korporasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus