Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Studio Seni Keramik Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung menyimpan "harta karun" langka: koleksi terbaik karya tugas akhir mahasiswa. Meski tidak semua terselamatkan—rusak, hilang, atau tak terurus—masih ada sekitar 70 karya utuh hasil pekerjaan sejak 30 tahun lalu. Karya-karya itu dipamerkan di Lawangwangi Creative Space, Mekarwangi, Bandung, hingga 10 April ini. Melalui pameran "Amorf-scape, Seni Keramik Modern Bandung" ini, seni rupa kita memiliki bukti perkembangan kemodernan dalam seni keramik. Inilah warisan formalisme (Bandung) melalui medium seni yang kerap dianggap blasteran.
Keyakinan modernis mengatakan tiap seni mesti bisa menentukan diri sendiri lewat cara kerja dan efek eksklusif seni itu. Efek eksklusif dari karya seni (rupa) menurut pandangan ini dicapai melalui kekhasan atau identitas medium. Pada seni lukis, misalnya, kekhususan itu adalah kesadaran pada warna dan bidang datar dwimatra. Hildawati Soemantri (almarhum), keramikus dan sejarawan seni, menandai bahwa perkembangan awal seni keramik Bandung ini cenderung ke "patung abstrak" ketimbang menunjukkan ciri eksklusif pengolahan medium lempung (teknik putaran, dekorasi, warna glasir).
Selanjutnya, pematung Rita Widagdo, pengajar di Studio Keramik, menyadarkan para mahasiswa keramik Bandung bahwa tanah liat adalah medium "non-identitas". Esensi karya keramik adalah blasteran, bisa menyandang karya yang mengandung ekspresi seni dan barang pajangan. Belakangan, sejumlah seniman keramik (Bandung) mengembangkan seni keramik menjadi karya instalasi atau obyek trimatra yang sangat menarik, seperti kita lihat pada Andar Manik, Hendrawan Riyanto (almarhum), Titarubi, Albert Yonathan, dan Argya Dhyaksa. Untuk menandai praktek kontemporer seni keramik yang luwes ini, para pengamat kita menggunakan istilah "adaptif". Ketaksaan seni tanah liat ini menyempal dari arus utama modernis. Muasal blasteran semestinya adalah kekayaan ranah seni keramik, bukannya dipandang sebagai yang lain atau liyan.
Perhatikan kecenderungan atau pencarian "formalisme blasteran" pada sejumlah karya tugas akhir ini yang disimpan itu. Karya-karya Ferry Pharama, Eko Wibowo, dan Susi Abdurrachman mengesankan citra wadah, bumbung, atau pot, yang pejal atau tegar—tegangan antara tertib rancangan dan raut-raut tak terduga di alam. Akan halnya teknik putaran terasa mendominasi karya keramik Anta Wijaya dan Ira Loebis, yang serupa bola atau guci terpuntir. Sedangkan raut cembung keramik Yuki seakan-akan kembali menjadi bidang-bidang sempadan, atau susunan lempengan yang bergeser. Adapun Asmudjo Jono Irianto dan Dezsiana mencampur bidang lengkung dan lurus yang saling tembus atau melantas. Kontras antara glasir biru dan tanah cokelat bertabrakan, menghasilkan efek patahan atau keterputusan ketimbang keselarasan.
Tiga seri karya Nungki tampak lebih rumit dengan rupa pemalihan (perubahan rupa). Wujud tak menentu (amorf) mencitrakan peralihan dan kesinambungan. Teknik putaran digunakan untuk lebih menonjolkan ekses tak terduga ketimbang pembentukan. Dalam khazanah formalisme, "efek" yang tak lagi memisahkan bentuk dan isi secara kaku adalah "isi". Wahyono, Ratna Rosita, dan Bambang Prasetyo menampilkan seri bentuk fragmen sebuah barang yang berulang. Raut yang mulus, licin, tanpa tepi tajam dan sudut lancip, menampilkan senyawa antara sensibilitas modernis dan alusi pada citra vernakular. Keramikus Nurdian Ichsan menulis pada pengantar pameran: seni keramik ITB terlepas dari beban sejarah untuk mengembangkan tradisi lokal ataupun mengantisipasi perkembangan industri keramik.
Hendro Wiyanto, (pengamat seni)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo