Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OOM Pasikom, tokoh karikatur ciptaan G.M. Sudarta (Klaten, Jawa Tengah, 1946), telah memasuki usia 50 tahun. Usia ini ditegaskan lewat pameran berjudul "50 Tahun Kesaksian Oom Pasikom", yang diselenggarakan di Bentara Budaya Jakarta (9-15 Mei 2017), Bentara Budaya Yogyakarta (23-31 Mei), dan Bentara Budaya Bali dalam pekan-pekan mendatang. Angka 50 dihitung sejak tokoh karikatur itu muncul pertama kali di koran Kompas pada April 1967.
Apabila kiprah sosialnya saja 50 tahun, berapa sesungguhnya usia Si Oom? Darta--panggilan sang karikaturis--tak pernah jelas menerangkan ini. Namun sejumlah karibnya meyakini bahwa penokohan Si Oom diberangkatkan dari kekaguman Darta atas P.K. Ojong, pendiri Kompas, yang pada 1967 berumur 47 tahun. Ya, 47 adalah sekitaran usia seorang oom-oom. Maka, apabila benar ketika pertama kali muncul berusia 47 tahun, berarti Oom Pasikom sekarang berumur 97 tahun! Atas jumlah ini, siapa pun harus bilang bahwa Si Oom adalah tokoh yang bukan main saktinya. Lantaran sampai menjelang satu abad ternyata ia masih saja jeli, kritis, bijak, serta jauh dari pikun.
Nama Pasikom tentulah hasil wolak-walik dari kata Si Kompas. Dan nama Pasikom dipilih lantaran dianggap paling estetis dan bermakna positif dibanding pilihan lain. Bayangkan kalau yang dipilih adalah Sipaskom, yang mudah terpeleset ucap jadi si baskom. Kita tahu, baskom adalah wadah apa saja, dari palawija, daging mentah, sampai sampah. Atau Komsipas, yang bisa-bisa "di-hoax" jadi tukang "kompor situasi panas". Maka nama Pasikom memang paling mengena. Setidaknya setelah sejarah diam-diam membuktikan bahwa Si Oom selalu tahu kapan harus unjuk eksistensi. Maka Pasikom boleh dianggap singkatan dari: "pas situasi (untuk) komunikasi".
Yang jadi pertanyaan, mengapa Si Oom mesti menyamarkan namanya. Padahal jika ia berteriak "Gue Oom Kompas, nih!" juga tidak ada yang menukas? Selama setengah abad, Si Oom tak ingin menjawab pertanyaan ini. Namun, lewat penampilannya, ia menjelaskan bahwa sikap menyamar adalah pilihan perjalanannya. Agar dirinya bisa ke mana-mana dan bisa di mana-mana. Ini tentu sejalan dengan penuturan Si Oom dalam lelakonnya di panggung karikatur.
Di panggung Si Oom memang selalu berada dalam kelindan kiasan-kiasan mendalam, demi menghindari tutur blakblakan yang sering menawarkan kedangkalan. Njeroning samar ono damar (di dalam keremangan ada cahaya yang menyala), kata ungkapan Jawa. Apalagi ketika Si Oom terposisi sebagai pemain utama editorial cartoon, political cartoon, dan satirical cartoon koran Kompas yang bergaya alusan, moderat, dan jauh dari sikap militan. Dengan begitu Oom Pasikom adalah cahaya yang mengerdap di balik gambar umpama-umpama. Maka, di balik tingkah Si Oom yang nyata mengingat-ingatkan, muncul berlapis bayang dan dimensi perenungan.
Si Oom menyadari bahwa karikatur adalah bagian dari budaya Indonesia sejak ratusan tahun silam. Miguel Covarrubias, antropolog dan pelukis asal Meksiko, pernah menyebarkan riwayat budaya ini ke seluruh dunia ketika ia tinggal di Bali pada 1920-an. Wayang kulit kuno Bali dan Jawa ia nyatakan sebagai karikatur luar biasa tentang manusia. Gambaran visual ihwal sifat dan moralitas figur per figur ada di dalamnya, dengan pancaran simbol dan metafora. Al Hirschfeld, yang masyhur sebagai karikaturis New York Herald Tribune, berpendapat sama.
Sifat, moralitas, dan gaya metaforis yang digambarkan dalam wayang tersebut dipahami oleh Si Oom sebagai pangkal dari etika sosial dan budaya. Sementara itu, pemahaman atas etika menjadikan Si Oom memiliki sensibilitas yang terukur. Pemahaman ini menjadi dasar dari tingkah laku Si Oom ketika punya kesempatan berlagak-lagak selama setengah abad.
Itu sebabnya Si Oom jauh terhindar dari hasrat yang menyinggung aspek-aspek sensitif dan dogmatis, seperti suku, ras, agama, dan antargolongan. Maka karikatur SARA ala Jens Jorgen Thorsen atau Jyllands-Posten adalah ruang tanpa cahaya yang sama sekali tak hendak ia buka pintunya. "Saya adalah Si Oom yang sangat Pancasila," ujarnya. Walaupun ia merasa sebagai homo indonesiensis produk semikolonial, sehingga mengenakan jas bertambal, dasi, pantalon kuno, dan topi ala detektif Sherlock Holmes (Darta mengatakan bahwa kostum Si Oom diilhami oleh gaya penampilan pengarang Gerson Poyk).
Karikatur, atau caricature (Inggris), caricatuur (Belanda), caricare (Italia), adalah seni rupa yang dibuat dengan tujuan menyindir atau mengkritik dengan cara yang jenaka. Subyek utamanya adalah wajah dan sosok seseorang yang dikaitkan dengan konteks. Sindiran dan kelucuan itu diformulasi lewat upaya mendeformasi (atau mendistorsi) wajah atau gestur subyek. Sedangkan kerja mendeformasi diam-diam disepakati sebagai upaya untuk menggayuh efek lucu, yang jadi roh karikatur.
Di sisi lain dipahami bahwa keindahan karikatur tidak hanya diangkat oleh kemampuan seniman dalam menggarap gambar. Tapi juga diusung oleh iktikad positif yang sudah diniscayakan sebagai muatan khas seni karikatur. Iktikad itu adalah upaya untuk membuat perubahan: dari yang buruk menjadi baik, dari yang bengkok menjadi lempeng. Dengan begitu, keindahan sebuah karikatur terpancar lewat kualitas moral yang tergambar. Maka, sudah kadung dipercaya, muatan keindahan moral dalam gambar yang lucu akan menghadirkan caricature effect yang maksimal.
Dalam 50 tahun perjalanan, Oom Pasikom beserta putranya yang spontan dan masih bocah (lambang hati nurani) dan istrinya yang genit-konsumtif (lambang zaman kekinian) berhasil menjalankan misi itu. Si Oom menjadi host dari ribuan tamu yang datang ke panggungnya untuk diperkenalkan sekaligus disindir, dikomentari, dikritik, dan digelitik di depan publik. Sambil sekali waktu ia (dan keluarganya) menyamar jadi orang lain. Atau malah Si Oom memerankan dirinya sendiri.
Mari kita ingat peran Si Oom dalam karikatur yang dimuat Kompas edisi 9 September 1998. Di situ tampak Si Oom yang berperut buncit, berwajah tenang, bermata sabar, bersenyum manis bagai presiden kita dulu, sedang berdiri sempurna di depan baliho bertulis: "Pasikom & Sons & Grandsons Co – Multi Usaha: Dari Jalan Tol sampai Tanda Tangan". Di depan Si Oom terlihat putranya, yang dengan polos melakukan demo dengan membawa pamflet: "Usut Kekayaan Pasikom!" Si Oom bukannya terkejut, tapi malah menjawab dengan teduh: "Saya ini rijk van huis uit, koq...!", yang artinya: "Saya ini sudah kaya sejak dulu sekali...!".
Dalam pentas ini, Si Oom sedang memerankan siapa? Dan mengapa anaknya sendiri mendadak mendemo? Ada yang harus kita tafsirkan, ada dimensi yang ditawarkan.
Namun tak jarang Si Oom enggan untuk masuk panggung. Bersamaan dengan itu, ia lantas menjebloskan tokoh yang dikarikaturkan untuk dipaksa beraksi sendiri di bidang gambar. Ingat karikatur "Bakar, Hajar, Bunuh, Cincang!" yang dipublikasikan pada 11 Desember 1999. Karikatur itu menggambarkan sekelompok masyarakat menyerbu sasaran dengan golok, parang, dan celurit terhunus. Gerombolan itu terlihat dengan mudah melintas cepat lewat selangkangan aparat keamanan, yang tak mampu menjinakkan anarkisme dan brutalisme yang memaksakan kehendak.
Agaknya, kalau ada yang ganas dan garang, Si Oom pintar bersiasat untuk menghilang. "Tapi, kalau ada koruptor, Si Oom selalu tampil," kata Darta. Sebuah pilihan momentum yang tepat. Lantaran di Indonesia koruptor luar biasa banyak, Si Oom pun menampang diri ratusan kali.
Daya hidup Si Oom menjadikan ia tersanjung sebagai tokoh karikatur yang paling tua di Indonesia, dan paling mampu terus bergaya di atas panggung dalam tempo lama. Maka tokoh Keong di koran Sinar Harapan dan Suara Pembaruan serta tokoh Mang Ohle di koran Pikiran Rakyat (yang dikerjakan oleh empat kartunis dalam waktu berbeda) harus mengaku kalah. Sementara itu, estetika gambar Si Oom menjadikan Darta sebagai karikaturis terbaik di Tanah Air, di samping Augustin Sibarani; Pramono; Priyanto S., sang karikaturis majalah Tempo; dan sedikit yang lain.
G.M. Sudarta adalah keluaran Akademi Seni Rupa Indonesia Yogyakarta 1967. Sebagai karikaturis, ia telah berkali-kali memenangi Hadiah Jurnalistik Adinegoro sejak 1983. Reputasi ini memikat sejumlah penerbitan Jepang untuk mempublikasikan karikatur dan kartunnya. Dari situ, Darta lantas diundang menjadi dosen di Cartoon Department Kyoto Seika University di Kyoto, Jepang. Ribuan karikaturnya telah diseleksi dan dibukukan dalam Indonesia 1967-1980 (1981) dan Reformasi (2000). Sementara itu, Pasikom Oji-san (1985) adalah kumpulan kartun yang diterbitkan oleh Sinjuku Shobo Ltd, Jepang. Di tengah kesibukan berkarikatur, ia juga melukis di kanvas dan membuat cerita pendek.
Sekarang, dalam kondisi tubuh yang ringkih lantaran sakit, Darta mempersiapkan buku besar karikaturnya. Yang jadi pertanyaan: adakah Kompas telah memiliki penerus roh karikatur Oom Pasikom, seandainya Darta memilih tidak lagi aktif?
Agus Dermawan T., Kritikus Seni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo