Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pohon Godot dan Tubuh-tubuh Menggelepar

Terinspirasi oleh naskah Waiting for Godot, Melati Suryodarmo menyajikan performance yang menguji kesabaran penonton.

19 Juni 2017 | 00.00 WIB

Pohon Godot dan Tubuh-tubuh Menggelepar
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pria itu menggotong batang pohon mati di pundaknya. Ia melangkah pelan melintasi panggung. Kakinya meninggalkan jejak lurus dan panjang di lantai panggung yang berlabur kapur putih. Di ujung panggung, batang pohon itu ia jatuhkan. Kita kemudian melihat sisi yang tak tampak sebelumnya: batang itu telah gosong penuh jelaga. Djiwo, pria itu (sehari-hari dia aktivis black metal di Solo), lalu menjerit dan meratap hebat. Di belakangnya, tiga pria berkostum serba hitam membanting-bantingkan diri ke lantai. Tubuh mereka menggelepar-gelepar di taburan bedak putih di lantai. Bedak beterbangan ke udara. Musik seperti halilintar menggelegar.

Ini salah satu adegan paling impresif dari satu jam pentas Vertical Recall karya Melati Suryodarmo di Teater Salihara, Jakarta Selatan, akhir pekan lalu. Dalam adegan-adegan lainnya, kesabaran penonton diuji lewat gerak penari yang serba lambat, menyeret-nyeret, dan terus-menerus diulang. "Karya ini memang butuh ketahanan untuk menontonnya," kata Melati.

Tari atau performance art atau teater tubuh (bisa disebut apa saja) itu terinspirasi dari naskah Waiting for Godot oleh Samuel Beckett. Namun bukan berarti Melati mengadaptasi adegan demi adegan dalam drama dua babak itu. Ia menggali sejarah saat naskah itu diciptakan, yakni pada 1940-an, saat Jerman menginvasi Prancis. "Saya menemukan bahwa saat itu ada situasi yang menekan dan membutuhkan daya tahan manusia," ujar Melati.

Situasi menekan inilah yang dieksplorasi secara terus-terusan dalam pentas yang menjadi salah satu rangkaian dalam agenda Festival Helatari Salihara itu. Diawali dengan dua penampil (penari Agus Margiyanto dan Luluk Ari Prasetya), yang saling terikat pada ujung dua tali yang terentang. Mereka saling menarik ke arah berlawanan hingga tubuh mereka terlalu doyong tapi tak juga terjatuh. Ketika sampai di ujung panggung, satu penari melepaskan diri dari tali, lalu mengejang-ngejangkan tubuh, sementara yang lain menggulung tali itu hingga membelit leher.

Dua orang itu mungkin simbol Vladimir dan Estragon, dua tokoh dalam naskah Beckett yang selalu membincangkan soal kedatangan Godot–yang tak pernah datang. Tapi mungkin juga bukan. "Para penari ini bisa jadi tokoh mana pun di dalam naskah itu," kata Melati. Ia membebaskan penari memberi makna sendiri. Begitu pula musik yang dimainkan oleh Ikbal S. Lubys. Lewat gitar yang dimodifikasi dan digesek dengan stik biola, Ikbal menghadirkan suara derum dan sayatan yang terdistorsi, memancing kegelisahan. Lain waktu, ia menaruh lempengan logam di bawah senar gitarnya, lalu keluarlah bunyi gemuruh panjang.

Melati juga menyajikan simbol dalam pertunjukannya. Di tengah babak, seorang penari (Kristiyanto) masuk sambil membopong kasur putih yang menutupi tubuh hingga lutut. Ia kemudian menjatuhkan diri dan berguling-guling di dalam kasur itu. Kasur yang dimaksudkan Melati sebagai simbol kenyamanan dan kesejahteraan sekaligus simbol manusia yang terus-menerus terbangun dari mimpi. Lain waktu, sendok-sendok diserakkan secara mengejutkan di tengah panggung.

Batang pohon turut muncul layaknya dalam naskah Waiting for Godot. Dalam naskah asli: Vladmir dan Estragon duduk di bawah pohon ranggas menunggu Godot. Pada pentas ini, pohon tak hanya jadi tempat menanti, tapi juga membawa narasi sendiri lewat bekas kehitaman tanda pernah terbakar.

Batang pohon gosong itu tak sengaja ditemukan Melati di pinggir jalan. Baru kemudian ia dan para penari merundingkan cerita yang hendak disampaikan dari batang terbakar itu. "Djiwo yang mencetuskan kalau pohon ini bisa melambangkan kebakaran hutan atau bisa juga soal petani Kendeng yang tanahnya tergusur, makanya ada ratapan dan jeritan," kata Melati. Tapi sampai ke sana mungkin maksud itu tak tertangkap penonton.

Sesungguhnya karya ini masih merupakan kelanjutan dari pentas yang ditampilkan Melati sebelumnya di Frankfurt LAB yang berjudul Sisyphus. Saat itu, Melati berbicara tentang trance dan repetisi yang membebaskan manusia dari tubuh. Kali ini pun Melati hendak memancing penonton merasakan getaran di dalam tubuh yang tinggal menunggu waktu untuk keluar. "Emosi, kegelisahan, ketidaksabaran dapat muncul semua," ujarnya.

Moyang Kasih Dewimerdeka

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus