Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Lamang tapai, dari sum-bar ke ...

Di jalan kramat, jakarta, berderet pedagang lamang, makanan khas padang. di bulan puasa pembeli semakin ramai, membeli lamang untuk pelengkap berbuka. ibu iyar, asal pariaman sukses berdagang lamang.

7 Mei 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGAPA pemberontakan PRRI di Sumatera Barat kalah? Inilah sebuah anekdot dari zaman lebih dari 30 tahun lalu itu. Ketika TNI menyerbu pemberontak, para pemberontak kebingungan karena semua bazoka lenyap. Baru kemudian ketahuan, bazoka-bazoka itu dipakai untuk memanggang lemang, makanan khas Sumatera Barat. Memang, tampaknya urang awak tak bisa dipisahkan dari lemang, juga ketika mereka merantau. Apalagi di bulan Puasa, makanan terbuat dari ketan ini jadi istimewa: tak komplet rasanya berbuka bila tanpa lemang. Maka, di Jalan Kramat, Jakarta Pusat, tempat warung Padang kaki lima berderet, menjelang buka puasa mobil berderet parkir, memanjang di pinggir jalur cepat (parkir di jalur lambat, harap maklum, dilarang). Soalnya, memang, lemang telah menembus batas kesukuan. Lihat saja yang antre membeli, ada Betawi, Bugis, Sunda, Jawa. Maka, Bu Iyar, salah satu dari 20 penjual lemang di Kramat itu, di bulan Ramadan mesti banting tulang agar para penggemar lamang jo tapai (lemang dan tapai) tak kecewa. Di hari biasa ia cuma menjual sekitar 30 batang di warungnya yang cuma 3 x 3 meter, tapi di saat puasa kini rata-rata ia harus menyediakan 250 batang per hari. Puncaknya di malam takbiran, "Kami harus menyiapkan 750 batang," kata Bu Iyar, asal Paniagan, Pariaman, Sumatera Barat. Tiga puluh lima tahun sudah tokoh kita Bu Iyar bergelimang dengan lemang dan tapai (jodoh lemang memang tapai ketan hitam). Hampir tiap hari, bersama suami dan dua anak, ia mesti bangun dinihari, pukul 02.00. Memasukkan beras ketan (di bulan Puasa ia harus menyediakan sekuintal tiap hari) ke gulungan daun pisang, kemudian memasukkan gulungan itu ke bambu betung (yang ia pesan dari Bogor), lalu membakarnya. Pukul 10.00 biasanya baru kelar. Itulah saatnya menyambung istirahat sampai sekitar pukul dua siang, saat ia harus berangkat ke warungnya. Kini sebatang lemang harganya Rp 2.000,00. Dan itu semua tak sia-sia. Berkat kerja keras ibu sekeluarga ini, dua anak mereka menyelesaikan kuliah sampai lulus sarjana. Selain itu, sebuah rumah tergolong bagus di kawasan Kalipasir, Cikini, dan dua mobil untuk mengangkut dagangan mereka miliki. Tapi yang paling membanggakan ibu bertubuh subur ini, ia telah ikut menjaga makanan tradisional daerahnya hingga, di Jakarta, jadi kegemaran nasional. "Ada tiga pak menteri jadi langganan saya," ujarnya--tak disebutkan nama pak menteri, juga tak dijelaskan menteri kabinet lama atau baru. Yang penting, ia bangga. Lamang tapai, Ajo, lebih penting daripada perang. Burhan Piliang & Rustam F. Mandayun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus