DANA pensiun karyawan tak luput dari obyek penyelewengan. Bekas Direktur Keuangan Taspen, Anas Nawawi, selaku ketua Yayasan Sejahtera Persero Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen), pekan-pekan ini diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan tuduhan telah mengorupsi dana yayasan karyawan sebesar Rp 2,986 milyar. Selam itu, ia juga didakwa menerima hadiah Rp 50 juta dari rekan usahanya yang "membisniskan" uang karyawan itu. Menurut Jaksa M. Siagian, yang membawa perkara itu ke sidang Selasa pekan lalu, Yayasan Sejahtera Taspen (YST) sekitar Janual 1982 mengembangkan dananya ke usaha pembangunan rumah jenis BTN. Selaku ketua yayasan, Anas menjalin kerja sama dengan Wong Tjan Tjung alias Chan Ratulangi. Mereka mendirikan PT Puri Asih Sejatera (PAS), masing-masing punya saham Rp 100 juta. Wong menjadi dirut PAS, sementara Anas tetap di yayasan. Sebagai modal kerja, kedua pihak masing-masing harus menyediakan tanah seluas 27,5 hektar dan uang Rp 400 juta. Ternyata, menurut jaksa, belakangan Anas menyerahkan dana yayasan sebesar Rp 617 juta kepada Wong. Uang itu, untuk pembayaran ganti rugi tanah seluas 55 hektar di Desa Jaka Setia, Bekasi, yang disediakan Wong dan diperhitungkan sebagai modal kerja. "Padahal, kenyataannya tanah itu hanya seluas 14 hektar," kata Jaksa M. Siagian, membacakan dakwaannya. Selain itu Anas dituduh menyerahkan lagi uang yayasan Rp 125 juta kepada Wong. Ia juga mengambil pinjaman atas nama yayasan di bank, masih untuk kepentingan PAS, sebesar Rp 500 juta. Bersama Wong, Anas juga berspekulasi membeli tanah seluas 16 hektar di Desa Sepanjang Jaya, Bekasi, untuk nantinya dijual lagi ke Perumnas. Untuk itu, Anas menyerahkan uang Rp 425 juta kepada Wong. Ternyata, tanah itu hanya seluas 9 hektar. Padahal, selain uang di atas, Anas juga mengorek dana yayasan sebesar Rp 167,5 juta untuk mengurus surat-surat tanah tersebut melalui calo. Sampai perkara di pengadilan ternyata urusan itu gagal. Semua uang yayasan itu dikeluarkan Anas, "tanpa persetujuan direktur Taspen yang membawahkan Kesejahteraan Pegawai," kata M. Siagian. Akibatnya, Taspen, sebuah persero di bawah naungan Departemen Keuangan, dirugikan sekitar Rp 2,986 milyar - termasuk bunga pinjaman bank. Jaksa memang tidak menyebutkan berapa persisnya uang negara yang dinikmati Anas. Bekas pejabat Taspen itu hanya ketahuan menerima imbalan berupa cek senilai Rp 50 juta dari Wong. Uang itu, diberikan Wong sebagai imbalan dari kelebihan menaikkan harga beli tanah spekulasi tadi. Tapi ketua yayasan yang baru, Abdul Kodir, menganggap Anas hanya salah langkah dalam menginvestasikan dana yayasan. "Dia terlalu berani berspekulasi, hingga gagal," kata Abdul Kodir, yang kini hanya menanamkan dana yayasan dalam bentuk deposito. Yayasan yang didirikan 1973 itu kini mengelola dana pensiun 1.522 orang pegawai Taspen, dengan kekayaan sekitar Rp 7,8 milyar. Tapi, menurut sumber TEMPO di Taspen, kasus Anas itu bukan sekadar salah langkah. "Selain kena tipu Wong, ia memang menyalahgunakan uang yayasan," kata sumber itu. Buktinya, Anas mengambil pinjaman-pinjaman bank tanpa seizin dirut - waktu itu R.S. Rahardjo. Kasus itu tidak cepat ketahuan, katanya, karena Anas menjabat ketua yayasan, sejak 1980, sekaligus direktur keuangan, dari 1979. Kasus itu baru terbongkar sekitar 1984, karena tagihan itu sampai ke direktur utama. Anas Nawawi, 49 tahun, menyatakan tak satu sen pun dana tersebut masuk kantungnya. "Semua uang itu masuk kekas PAS, dalam tanggung jawab Wong," ujar Anas. Ia mengaku dikecoh Wong dalam kerja sama itu. Menurut Anas, semua dana itu diserahkannya ke Wong karena ia sangat percaya kepada pengusaha itu. Bahwa kemudian kerja sama tak mulus, "Itu benar-benar di luar kekuasaan saya," kata ayah tiga orang anak ini. Menurut Anas, ia curiga kepada Wong sejak Oktober 1983. Ketika itu banyak penduduk protes atas pembebasan tanah yang belum seluruhnya diselesaikan Wong. "Tiga kali saya mengirim surat penngatan kepada Wong, tapi tak ditanggapi," kata Anas, akuntan lulusan UI tahun 1967, bekerja di Taspen sejak 1968. Pengacaranya, T.M. Abdullah, malah menyatakan kasus itu tidak termasuk korupsi, tapi perdata murni. "Itu terbukti dari akta kerja sama berupa pendirian PT PAS," ujar Abdullah. Semua pengeluaran uang itu, katanya, tak ada kaitannya dengan jabatan Anas selaku direktur keuangan. Menurut Abdullah, Anas diangkat menjadi ketua yayasan dalam status sebagai pegawai biasa. "Kalau saya bersama teman sekerja yang bukan pegawai negeri mengumpulkan sebagian gaji, lantas berkerja sama dengan orang lain, tapi uangnya dimakan orang itu, apa itu korupsi?" kata Abdullah. Sebaliknya, Wong Tjan Tjung, 49 tahun, menamplk tudingan Anas. "Dia boleh ngomong sebakul. Nanti di pengadilan saya bongkar semua kebrengsekannya," ujar Wong, yang sedang istirahat sakit karena penyempitan pembuluh darah di jantung. Bagi Wong, usaha PAS belum bisa dikatakan gagal. Hingga kini kekayaan PAS sekitar Rp 40 milyar, dengan 60 karyawan. Di lokasi tanah 55 hektar di Bekasi, kata Wong, kini telah berdiri 200 rumah. Sebagian telah dihuni pembeli. Bahwa belakangan usaha PAS macet, ujar Wong, tak lain akibat dikacaukan Anas. "Padahal, lebih dari Rp 800 juta uang saya ludes untuk investasi tanah dan bangunannya," tuturnya. Anas, masih menurut Wong, telah mengantungi dana pembangunan 33 buah rumah para pegawai Taspen di Pondok Bambu. Ternyata, pembangunan itu terkatung-katung. Karena karyawan Taspen terus menagihnya, Anas meminjam uang di tiga bank, Rp 300 juta sampai Rp 500 juta. Selain itu, spekulasi pembelian tanah 16 hektar itu, kata Wong, tanpa diketahuinya. "Setelah semua itu gagal, ia berusaha menutupi semua uang yang telah dimakannya dengan melibatkan PAS," kata Wong. Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Himawan, hanya tertawa mendengar dalih kedua orang itu. "Mereka kerja sama cari untung. Tidak dapat untung malah buntung, sekarang saling tuduh," ujar Himawan. Menurut Himawan, keuangan negara jelas dirugikan akibat ulah mereka. Hanya saja, berapa persisnya yang dikutip Anas, "Ya, tunggu saja hasil pemeriksaan saksi ahli di persidangan," katanya. Happy Sulistyadi dan Yopie Hidayat (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini