MARI bercinta dengan angin. Di langit Jakarta, para penari Australia melabur warna. Mereka menari waltz dengan Pucini di udara. Badut-badut itu, para penari itu, berdiri di atas galah lentur dari fiber glass setinggi empat meter. Tiba-tiba, seorang seperti tersorong jatuh. "Tiang ajaib" itu melengkung 180 derajat. Oh…, penonton memekik ngeri. Sang penari melepas topi, menyodorkan bunga. Pasangan-pasangan di ketinggian itu sudah berdekapan mesra. Love is a joy…, demikian mereka mendendangkan kabaret asmara.
Inilah kelompok Strange Fruit dari Australia, yang membuat langit Jakarta penuh warna. Pada suatu sore di Plaza Senayan, mereka memoles langit. Empat joker berbusana tuxedo necis mulanya bergandengan dengan empat perempuan berambut warna-warni bak kembang gula bonbon yang berkostum ala penari flamenco. Mereka lalu memanjat tiang. Lonceng berdentang. Berdiri lurus di atas galah, mereka menatap ufuk memerah memasuki senja. "Jika angin terlalu kencang, Anda tak bisa berdiri lurus di tiang," tutur Grant Charles Mouldey, seorang pemain. Kecepatan angin di lokasi Senayan 5-20 knot. Yang tak disangka, mereka tak hanya membiarkan diri seperti bendera yang di-geliat-geliutkan angin, mereka juga bisa melakukan berbagai variasi.
Inilah sebuah koreografi di udara. Pasangan-pasangan itu membentuk lingkaran, bergandengan tangan, membikin jajaran genjang, mengepak-ngepakkan tangan seolah ingin terbang seperti Icarus—tapi gagal. Mereka memainkan karakter badut yang sedih, riang, dan romantis. Tak syak, ini mem-butuhkan keterampilan tubuh luar biasa, sebuah kocokan antara lelucon dan disiplin tubuh yang datang dari spirit karnaval: akrobat, pantomim, komedi del'arte, dan harlequin. "Bila saya menggerakkan kepala ke depan, tiang itu akan bergerak. Untuk menghentikan gerak tiang itu, saya cukup diam," tutur Kathryn Irene Jameson.
Sering kelompok ini menunda pementasan karena angin terlalu keras. Syarat utama, kecepatan angin tak boleh melebihi 70 knot. Tubuh, tiang, dan besi penyangga juga harus selaras. Mereka memiliki bermacam tipe tiang dengan besi-besi penahan beban. Untuk melatih keelastisan tubuh, mereka mengundang pelatih untuk merancang latihan menguatkan perut dan punggung. Mereka juga memperoleh variasi dari eksplorasi petilan-petilan Bach, Maurice Chevallier, Fats Walker, dan klip film Hollywood klasik.
Memang, bagi pemain gimnastik ataupun sirkus, berjumpalitan di udara tak menjadi soal. Melbourne memang dikenal sebagai gudangnya pemain sirkus. Simaklah yang dilakukan Scott Andrew. Ia berani melakukan spin berputar-putar 360 derajat di udara karena memang sebelumnya dia anggota Flying Fruit Fly Circus, sirkus anak Australia.
Kelompok Strange Fruit menggolongkan diri dalam gerakan "theatre of physical", perpaduan antara seni, akrobat, dan patung hidup (live sculpture). Ini memang kelebihan perkembangan teater Australia dibanding Eropa saat ini. Australia kini tengah subur dengan berkembangnya gerakan teater-sirkus semacam ini, seperti Circus Oz atau Legs on the Wall. Menurut kritikus Peta Tait di dalam Theatre Journal, sejak abad ke-19, di Australia, konsep aerial bodies (tubuh udara) amat berkembang. Memerdekakan diri di angkasa bebas sejatinya adalah suatu bentuk pembebasan dari kultur Eropa-sentris. Penari-penari trapeze pertama, misalnya, adalah orang aborigin. Maka, tidaklah mengherankan jika eksplorasi di udara begitu subur. Strange Fruit adalah salah satu dari kelompok itu. Mereka adalah penghibur semua usia. Lahannya bukan di auditorium. Mereka adalah komedian yang menghibur di tanah lapang, mal, pantai, bahkan di barisan orang mengantre tiket. Mereka mencoba-coba berbagai "public space" di belahan dunia. Tak aneh, mereka menjadi "ekspor kesenian" Australia paling laris.
Sirkus, akrobat, "theatre of physical", atau apa pun namanya sesungguhnya bisa dikembangkan oleh tradisi seniman-seniman egrang di Pasuruan, Cilacap, dan Ponorogo. Di daerah sekitar Tuban dan Bojonegoro, kita pernah mengenal permainan sandur, yang menampilkan dua bilah bambu yang lebih tinggi dari empat meter dan dihubungkan dengan tali. Atraksi ini jauh lebih berbahaya karena pemain naik dan menari tanpa pijakan kaki. Tapi, pada sekitar 1965, kesenian ini musnah karena dianggap menjadi bagian dari PKI. Mungkin itu masih menjadi nasib teater jalanan di Indonesia, yang jauh berbeda dengan keriangan penari udara Melbourne.
Seno Joko Suyono dan Arif Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini