Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sasti Gotama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi saya, tak masalah ia meminjam gaun malam atau kebaya Avantie atau celana capri saya, asalkan bukan kaus putih ini. Meski kaus ini sudah lusuh, bernoda di lengannya, dan beraroma saus tiram, tak akan saya biarkan ia meminjam, apalagi mencurinya. Walaupun sesungguhnya ia memang pencuri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya tidak tahu sejak kapan ia berubah tabiat menjadi pencuri. Dulu, ia hanya suka meminjam. Awalnya, saya kehilangan satu gaun malam berwarna merah dengan taburan kristal di bagian dada. Saya pikir, mungkin saya lupa dan meninggalkannya di satu tempat, misalnya di hotel atau rumah kawan saya. Setelah satu minggu, saya berhenti mencari. Namun kemudian saya menemukannya tanpa sengaja di Instagram. Ia mengunggah foto tengah mengenakan gaun itu dan berpose seolah-olah ia menghadiri perjamuan makan malam bersama petinggi negara.
Esok paginya, ia datang pukul lima tiga lima seperti biasa; memasak nasi dan kari seperti biasa (ia mengeluh jika bawang merah sudah banyak yang busuk dan ia perlu membeli yang baru di tukang sayur); menyiapkan sepatu sekolah Luna seperti biasa; dan menjemur baju seperti biasa. Tak ada yang di luar kebiasaan, seperti permintaan maaf, misalnya. Dan sorenya, gaun merah saya sudah tergantung rapi di lemari.
Seperti saya katakan sebelumnya, itu bukan masalah bagi saya. Orang kadang tergoda meminjam hanya karena ingin, bukan karena butuh. Saya malah jatuh kasihan kepadanya, karena ia ingin sesuatu yang tak bisa ia raih. Malamnya, gaun itu saya buang ke tempat sampah.
Tak hanya masalah meminjam, saya juga tak pernah mempermasalahkan ketika ia berbohong di luar sana. Petang itu, saat sore dilumuri gerimis, satu jam setelah Luna menyelesaikan les pianonya, bel rumah berdering. Seorang lelaki muda dengan jaket lembaga kursus bahasa Inggris dan sepatu bot hitam berdiri di depan pintu dan membuat genangan air di teras. “Aleksandra ada?” Suaranya terdengar angkuh. Tak ada yang bernama Aleksandra di rumah ini. Namun, melihat jaket yang dikenakan lelaki itu, saya jadi mafhum. Satu-satunya orang yang kursus di sana adalah Ekarini Kusumaningrum. Namun saya tidak suka menyebut namanya. Cukup saya sebut “iya” saja. Ia anak yang malang, dan dengan kursus bahasa, mungkin bisa mengurangi kemalangannya.
“Dia tidak ada. Sedang keluar.” Saya tak tega mengatakan kalau ia sudah pulang ke rumah mungilnya di tepian sungai beraroma limbah pabrik yang diisi 13 orang. Setiap manusia pernah berdusta, dan karena berdusta, jadilah ia manusia.
Lelaki itu memindai daster longgar yang saya kenakan. “Oh, ya sudah, Bik. Sampaikan kalau tadi Erik mampir.” Setelah itu, ia segera menghilang di balik hujan yang menderas.
Esoknya, ia datang pagi seperti biasa, memasak nasi seperti biasa, dan menyiapkan seragam Luna seperti biasa. Pesan dari lelaki yang kehujanan itu tidak saya sampaikan. Untuk apa? Itu akan membuatnya malu, dipermalukan oleh kedustaannya sendiri.
Dulu, ia tak pernah berdusta. Saya masih ingat kala ia datang lima tahun yang lalu. Kaus kuning lusuh bergambar lambang partai kepala biawak membalut tubuh pucatnya yang kurus dan gemetaran, membuatnya tak jauh berbeda dengan anak kucing yang kehujanan di bulan Juli. Saat itu, usianya 15 tahun. Tanpa sebersit pun dusta, ia bercerita kalau ia harus bekerja. Jika tidak, ia akan dinikahkan dengan tengkulak dusun sebelah.
Kata ayahnya, daripada ia menghabiskan beras di rumah, lebih baik menghabiskan nasi di rumah mertuanya. Dua dari sebelas adiknya terkena busung lapar. Ayahnya berkukuh, Tuhan menyukai manusia yang beranak pinak dan mengutuk mereka yang membatasi punya anak. Itulah kenapa ayahnya melabrak bidan desa yang menganjurkan istrinya pasang spiral, tapi menerima uang bantuan bagi dua anaknya yang menderita gizi buruk.
Sekarang, selain lihai meminjam barang, ia mahir berdusta. Mungkin karena saya tidak pernah menegur, maka ia merasa aman. Dan memang, bagi saya tak mengapa, asalkan ia tak mencuri. Mencuri adalah perbuatan yang dilaknat Tuhan.
Bertahun-tahun lalu, saya pernah membaca kisah tentang pencuri di kolom pojok koran pagi. Ada seorang anak yang menginginkan sebuah kotak pensil bergambar robot seperti yang ia lihat di etalase toko buku tiap pulang sekolah. Setiap malam, tak henti-hentinya ia berlutut dan berdoa, tapi Tuhan tak mengabulkan. Setiap pagi, tak henti-henti ia berbuat baik kepada siapa pun, tapi Tuhan tak mengabulkan. Lalu ia sadar bahwa kasih Tuhan tak bekerja seperti itu. Jadi, ia mencuri kotak pensil itu, memohon ampun kepada Tuhan setelahnya.
Saat membaca itu, saya merasa geram. Itu bukan kisah yang bajik dan saya berdoa agar tak ada orang lain yang membacanya. Namun doa saya tak terkabulkan, karena saat itu, di setiap teras rumah, orang-orang tentu sudah membacanya sambil menyesap kopi. Seharusnya koran berisi berita-berita yang baik agar bumi ini diisi orang-orang yang baik dan takut kepada Tuhan. Lagi pula, Tuhan menganjurkan agar kita berbuat baik. Salah satunya dengan ringan hati meminjamkan barang.
Maka, saya tak mempermasalahkan ketika ia meminjam gaun saya, sepatu saya, atau suami saya. Saya tahu kadang mereka bermalam diam-diam di hotel kecil pinggir kota setelah sebelumnya suami saya menelepon kalau ia harus lembur untuk mengerjakan laporan.
Selama gadis itu hanya meminjam dan mengembalikan sesudahnya, tak masalah bagi saya. Suami saya tetap pulang ke rumah dan gaun saya kembali ke dalam lemari. Seperti halnya meminjamkan bulan kepada pagi, malamnya, bulan kembali bersinar. Saya akan menutup mata dan semua akan baik-baik saja. Namun, seperti biasa, barang-barang yang ia pinjam, saya masukkan kantong plastik, lalu saya buang ke keranjang sampah.
Sayangnya, saya tidak bisa melakukan hal yang sama kepada suami saya. Saya masih membutuhkannya. Jika tidak, Luna tak akan bisa berlatih piano lagi atau belajar di sekolah internasional lagi, atau kursus berkuda lagi. Jadi, selama ia dikembalikan ke rumah, bagi saya tak masalah. Namun, sebagaimana baju yang pernah dipinjam, saya tak bisa membayangkan diri saya mengenakannya lagi. Hanya dengan memikirkannya, perut saya bergejolak dan kulit saya gatal-gatal. Saya tidak bisa menyentuh atau disentuh barang yang sudah dipinjam.
Akhirnya suami saya menyadari dan bertanya kenapa akhir-akhir ini saya gatal-gatal. “Sepertinya kumat,” kata saya, “mungkin karena stres.” Dokter kulit memang mengatakan bahwa gatal-gatal di kaki saya itu psoriasis yang dipicu oleh banyaknya pikiran.
Semakin lama, ruam itu semakin luas saja, apalagi jika suami saya pulang tengah malam atau sering dinas luar. Dengan prihatin, suami saya menyarankan agar saya banyak beristirahat dan tidak berpikir macam-macam. “Mungkin kamu butuh teman. Minta saja Eka menginap di rumah kita, tak perlu pulang-pergi seperti biasa,” kata dia memberi usul dari balik koran, pagi ini di meja makan. Saya tahu, mungkin maksudnya agar ia bisa dipinjam kapan saja.
Namun rupanya gadis itu tahu, meminjam tak sama dengan memiliki. Ia tak memiliki hak-hak sebagai pemilik. Ia seperti anak lelaki yang menginginkan kotak pensil bergambar robot dan tidak puas hanya memandanginya dari balik kaca. Ia ingin memiliki. Dan ia tahu, jika ia benar-benar menginginkannya, ia harus mencuri.
Malam itu, suami saya meredupkan lampu kamar, lalu memandang mata saya lekat-lekat. “Aku tahu, kamu pasti lelah sekali mengurusku hingga gatal-gatalmu kambuh. Mungkin kamu butuh orang lain untuk membantumu mengurusku. Eka akan membantumu. Lagi pula, Tuhan menjanjikan surga bagi istri yang rela berbagi. Dan aku tahu, kamu adalah wanita yang baik.” Saya tidak menjawabnya. Tidak mampu. Bagaimana bisa saya menentang apa yang diizinkan Tuhan? Saya masih terdiam selama bermenit-menit yang terasa selamanya, dan ia pun menganggap itu sebagai persetujuan.
Mereka menikah di Juli yang gerimis, walau matahari bersinar cerah. Saya duduk di sana, tepat di sebelah suami saya, dan memberikan pelukan kepada keduanya setelah akad selesai diucapkan. Tak masalah bagi saya menghidu aroma mawar di ruangan itu, asalkan esok Luna masih bisa les piano atau bahasa atau berkuda.
Namun setelahnya, saya butuh waktu sebentar untuk menyendiri. Hanya saya dan kaus putih yang bernoda di lengannya dan beraroma saus tiram. Ini adalah kaus suami saya saat ia belum pernah dipinjam. Dulu, jika ia sedang tugas luar dan kami harus lama terpisah, saya menyimpan satu kaus yang jenuh dengan aromanya: seperti saus tiram.
Kaus putih itu seperti memahami saya dan mengajak saya berpelesir ke selatan: ke laut bebas. Saat kami datang, aroma laut segera menyapa seperti kawan lama. Sepenjulat mata, hanya ada biru di atas dan biru di bawah. Kaus putih itu menggenggam tangan saya dan mengajak saya menari di semesta biru tanpa batas. Biru yang pekat memeluk saya, membawa saya pergi ke batas langit dan samudra, dan saya paham tabiat laut. Seperti halnya manusia, ia tak pernah meminjam. Ia mencuri. ***
Sasti Gotama adalah seorang dokter umum yang suka menulis. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa, baik cetak maupun daring. Ia tinggal di Cilacap, Jawa Tengah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo