Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Leo, Miss Tjitjih, dan Kue Tart

30 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA berdiri di depan bangku bundar yang tergeletak di tengah panggung. Kaki kanannya terangkat ke atas bangku, memangku badan gitar kopong. Ia sibuk menyetem senar-senar. ”Aku hati-hati sama setrum, sudah dua orang jadi korban,” ujarnya.

Celetukan Leo Imam Soekarno, yang lebih dikenal sebagai Leo Kristi, itu tak ditanggapi serius. Para penonton, yang telah berserak hingga ke lantai depan panggung, justru tertawa. ”Aman, Mas,” teriak seseorang.

Kendati telah ”tenteram” di Bali, Leo tetap melakukan aktivitas bermusiknya secara rutin. Beberapa bulan sekali ia muncul di panggung kecil dan tak populer di Ibu Kota, seperti yang dilakukannya untuk pertama kali di Gedung Kesenian Miss Tjitjih, Gang Kabel Pendek, Cempaka Baru, Jakarta Pusat, pada Sabtu malam dua pekan lalu. Untuk kesekian kalinya, pertunjukan gratis untuk rakyat ini dipenuhi LKers, sebutan untuk para penggemar lagu-lagu Leo Kristi.

LKers mengubah konser itu menjadi ajang kumpul-senang. Bak semut, para penonton, yang hadir membawa anak, istri, suami, dan kerabat, selalu berjabat tangan dan berpelukan ketika berpapasan. Tiba-tiba ada yang berseloroh, ”Ada yang ulang tahun, si Mas Wasis.” Sebuah kue tart sederhana pun digiring ke muka panggung, dipotong, dan dimakan bersama saat jeda konser.

Tak sekadar ”kumpul kosong”, komunitas ini memprakarsai konser sang idola mereka. Konser kali ini menjadi salah satu wujud kecintaan mereka, karena didanai dari hasil penjualan CD di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta Selatan. Sepanjang konser, mereka selalu ”berisik”. Lagu-lagu yang dibawakan Leo bersama biduanita Dhisa tak lagi syahdu. LKers mendadak jadi kelompok paduan suara dan menyanyi bersama Leo. Sayatan biola Lilik, petikan bas Wiyana, dan ketukan perkusi Sena menjadi pengiring yang tertelan celetukan penonton.

Penampilan Leo malam itu tak kalah nyentrik dengan konser-konser lalu. Ia pernah mengenakan celana ketat merah muda dan sepatu perak berujung runcing di panggung Taman Ismail Marzuki, pada 2009, sedangkan kini ia mengenakan kaus ketat dengan warna merah muda.

Di babak kedua konser, Leo kian meriah dengan konsep ”Negeri Mainan Anak-anak”. ”Seiring hiruk-pikuknya bola, inilah negeri mainan anak-anak,” ujarnya. Leo menutup wajah dengan topeng putih berbulu dengan daun telinga panjang bak kelinci. Ia berbalut kaus dan celana ketat hitam serta bot cokelat. Sang biduanita, Dhisa, bergaya laiknya koboi perempuan.

Setelah dua jam penuh, konser pun berakhir. ”Konser sudah selesai, sekarang acara foto-foto keluarga,” ujar Leo. Dengan sigap, LKers berkumpul di panggung dan sekitarnya bersama Leo. Konser pun ditutup dengan menyanyikan dua ”lagu kebangsaan” Leo, yakni Salam dari Desa dan Gulagalugu Suara Nelayan.

Aguslia Hidayah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus