TANPA dukungan Dewan Kesenian Jakarta, Soegeng memperlihatkan 50
buah lukisan lempera di Ruang Pameran TIM, 1 - 8 September ini.
Tempera, sejenis cat plakat, digunakan dengan semangat kerja
yang tinggi oleh pelukis muda ini (lahir di Juana 3 tahun lalu)
di kertas. Soegeng pada mulanya seorang pembuat spanduk di TIM.
Memasuki Akademi Sinematografi LPKJ, tapi kemudiall lebih
dikenal sebagai pemain drama.
Potret-potret perahu yang dibuatnya (sering muncul di harian
Kompas) menunjukkan perhatiannya yang besar pada lingkungan. Ia
selalu dapat menangkap suasana, terutama segi dramatik dan puisi
dari kumpulan perahu di Pasar Ikan atau Kalibaru. Sementara
lukisan-lukisannya sangat intuitif: seakan tanpa teknik. Begitu
Iugunya, akan tetapi sangat unik, sehB1gga sering menimbulkan
surprise.
Sesudah mengikuti Sardono ke Eropa dengan Dongeng Dari Dirah,
Soegeng mulai dikenal sebagai orang pentas yang mahir bikin
improvisasi. Spontanitasnya serta humor-humornya meskipun
sedikit meniru Johny Gudel selalu terasa segar. Kesegaran
seperti itu masuk pula dalam kanvasnya: juga dalam pameran ini,
meshi sudah memperlihatkan perbedaan watak. Barangkali ini
akibat hampir setahun ia di Perancis.
Lukisan Soegeng sekarang, yang dipres di balik kaca -- tanpa
bingkai-memperlihatkan kekayaan warna. Ia nampak begitu mudah
mempermainkan, menyebar, menempel, menata warna, hingga kita
dihadapkan pada komposisi yang kadang aneh tapi menarik.
Keberaniannya, kebebasannya, hegairahannya pada warna, bagai
orang buta yang baru melek yang rmelihat segalanya penuh warna.
Bukan warna sebagai simbol, juga bukan hanya penyedap, tapi
warna sebagai cahaya yang mewakili emosi dan watak.
Perahu
Semua lukisan Soegeng dekoratif. Bebeapa di antaranya (Odalan,
Upacara di Pura, Cremation), seperti kubisme, mengingatkan kita
pada lukisan Salim. Ia mengambil beberapa obyek Bali, tetapi di
samping kegesitannya pada warna kita merasakan kini ia melihat
seperti seorang turis. Ia menemukan hal-hal aktraktif tetapi
kehilanan misteri. Pada lukisan Tari laris misalnya, ia memang
dapat mencatat getaran, dinamik tarian tersebut, tetapi di latar
dunia pariwisata. Mungkin sekali Soegeng tidak dapat disalahkan,
karena memang demikianlah keadaannya sekarang di Bali.
Dalam lukisan A lam Benla dan Bouquet 1, garis-garis itu patah
dan bersilangan membangun bidang-bidang segitiga yang
berpancaran, mengingatkan pada lukisan Oesman Effendi. Sementara
lukisan Pura 1 dan Pura 2 warnanya menampilkan kegairahan
pribumi sebagaimana warna-warna yang melantun dari lukisan
Nashar. Soegeng meloncat dari satu pengaruh ke pengaruh lain,
meskipun hampir semua lukisan menunjukkan angka 1977. Ini
menampilkan kegairahan yang bukan main untuk berekspresi. Rasa
sendu, melankolik yang dulu pernah ada dalam kanvasnya, telah
terbuka. Ia menjadi bergelora dan keluar dengan bebas.
Beberapa lukisan yang berdasar tarian balet modern,
memperlihatkan studinya pada gerak serta bentuk. Dari sini
kelihatan bahwa teknik baginya semakin penting. Harmoni,
keseimbangan, makin ia perhatikan. Usaha untuk menjadi
ornamentik, lebih atraktip. Soegeng yang semula menonjol karena
keluguannya mulai pintar dengan berbagai variasi, aksentuasi
serta berbagai kemungkinan yang bisa memberi efek. Meski
keluguannya tetap muncul pada lukisan seperti Jukung 4, di mana
terlihat sejumlah jukung dengan warna merah, biru merah -
kombinasi yang sangat pribumi. 4 buah lukisan jukung lainnya
memiliki temperamen warna yang lain.
Pada lukisan Tari Modern 9, Soegeng mencoba warna-warna dengan
garis-garis lengkung. Sesuatu yang sangat berbeda dengan lukisan
Perempuan dan Buah-buahan atau Boneka-boneka yang dekoratif.
Pada Tari Modern itu Soegeng telah menjadi abstrak. Ia telah
meninggalkan intuisinya dan menjadi rasionil, sebagai umumnya
lukisan modern Barat.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini