Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Lewat prancis, penuh warna

Pelukis soegeng memamerkan 50 lukisannya di tim. teknik lukisannya memperlihatkan kekayaan warna, sangat unik, menimbulkan surprise. lukisannya dipengaruhi gaya prancis, karena ia setahun ia di sana.

17 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANPA dukungan Dewan Kesenian Jakarta, Soegeng memperlihatkan 50 buah lukisan lempera di Ruang Pameran TIM, 1 - 8 September ini. Tempera, sejenis cat plakat, digunakan dengan semangat kerja yang tinggi oleh pelukis muda ini (lahir di Juana 3 tahun lalu) di kertas. Soegeng pada mulanya seorang pembuat spanduk di TIM. Memasuki Akademi Sinematografi LPKJ, tapi kemudiall lebih dikenal sebagai pemain drama. Potret-potret perahu yang dibuatnya (sering muncul di harian Kompas) menunjukkan perhatiannya yang besar pada lingkungan. Ia selalu dapat menangkap suasana, terutama segi dramatik dan puisi dari kumpulan perahu di Pasar Ikan atau Kalibaru. Sementara lukisan-lukisannya sangat intuitif: seakan tanpa teknik. Begitu Iugunya, akan tetapi sangat unik, sehB1gga sering menimbulkan surprise. Sesudah mengikuti Sardono ke Eropa dengan Dongeng Dari Dirah, Soegeng mulai dikenal sebagai orang pentas yang mahir bikin improvisasi. Spontanitasnya serta humor-humornya meskipun sedikit meniru Johny Gudel selalu terasa segar. Kesegaran seperti itu masuk pula dalam kanvasnya: juga dalam pameran ini, meshi sudah memperlihatkan perbedaan watak. Barangkali ini akibat hampir setahun ia di Perancis. Lukisan Soegeng sekarang, yang dipres di balik kaca -- tanpa bingkai-memperlihatkan kekayaan warna. Ia nampak begitu mudah mempermainkan, menyebar, menempel, menata warna, hingga kita dihadapkan pada komposisi yang kadang aneh tapi menarik. Keberaniannya, kebebasannya, hegairahannya pada warna, bagai orang buta yang baru melek yang rmelihat segalanya penuh warna. Bukan warna sebagai simbol, juga bukan hanya penyedap, tapi warna sebagai cahaya yang mewakili emosi dan watak. Perahu Semua lukisan Soegeng dekoratif. Bebeapa di antaranya (Odalan, Upacara di Pura, Cremation), seperti kubisme, mengingatkan kita pada lukisan Salim. Ia mengambil beberapa obyek Bali, tetapi di samping kegesitannya pada warna kita merasakan kini ia melihat seperti seorang turis. Ia menemukan hal-hal aktraktif tetapi kehilanan misteri. Pada lukisan Tari laris misalnya, ia memang dapat mencatat getaran, dinamik tarian tersebut, tetapi di latar dunia pariwisata. Mungkin sekali Soegeng tidak dapat disalahkan, karena memang demikianlah keadaannya sekarang di Bali. Dalam lukisan A lam Benla dan Bouquet 1, garis-garis itu patah dan bersilangan membangun bidang-bidang segitiga yang berpancaran, mengingatkan pada lukisan Oesman Effendi. Sementara lukisan Pura 1 dan Pura 2 warnanya menampilkan kegairahan pribumi sebagaimana warna-warna yang melantun dari lukisan Nashar. Soegeng meloncat dari satu pengaruh ke pengaruh lain, meskipun hampir semua lukisan menunjukkan angka 1977. Ini menampilkan kegairahan yang bukan main untuk berekspresi. Rasa sendu, melankolik yang dulu pernah ada dalam kanvasnya, telah terbuka. Ia menjadi bergelora dan keluar dengan bebas. Beberapa lukisan yang berdasar tarian balet modern, memperlihatkan studinya pada gerak serta bentuk. Dari sini kelihatan bahwa teknik baginya semakin penting. Harmoni, keseimbangan, makin ia perhatikan. Usaha untuk menjadi ornamentik, lebih atraktip. Soegeng yang semula menonjol karena keluguannya mulai pintar dengan berbagai variasi, aksentuasi serta berbagai kemungkinan yang bisa memberi efek. Meski keluguannya tetap muncul pada lukisan seperti Jukung 4, di mana terlihat sejumlah jukung dengan warna merah, biru merah - kombinasi yang sangat pribumi. 4 buah lukisan jukung lainnya memiliki temperamen warna yang lain. Pada lukisan Tari Modern 9, Soegeng mencoba warna-warna dengan garis-garis lengkung. Sesuatu yang sangat berbeda dengan lukisan Perempuan dan Buah-buahan atau Boneka-boneka yang dekoratif. Pada Tari Modern itu Soegeng telah menjadi abstrak. Ia telah meninggalkan intuisinya dan menjadi rasionil, sebagai umumnya lukisan modern Barat. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus