Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOENARTO Pr. berhalusinasi di tempat tidurnya. Terbaring gering, seolaholah ia sedang melakukan rapat dengan temanteman senimannya di Sanggarbambu."Membentuk panitia untuk membuat bangunan sanggar," ujar Mirah Maharani, anak bungsunya, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soenarto Prawirohardjononama lengkap perupa ituikut mendirikan dan menjadi ketua pertama Sanggarbambu. Dibentuk pada 1 April 1959, Sanggarbambu tidak pernah memiliki gedung sendiri. Kerap berpindah tempat, kini komunitas yang turut melahirkan Danarto, Mulyadi W., dan Untung Basuki itu mengontrak rumah kayu beralas tanah di tepi Kali Bedog, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setahun lalu, Totok Buchori, Ketua Sanggarbambu 20092019, menemui Soenarto. Ia mengusulkan pembentukan kepanitiaan untuk mengumpulkan serta menjual lukisanlukisan karya seniman Sanggarbambu dan simpatisannya sebagai modal membangun sanggar."Beliau sering menanyakan kepanitiaan yang belum bisa direalisasi itu," kata Totok.
LAHIR di Bobotsari, Purbalingga, Jawa Tengah, 20 November 1931, bakat melukis Soenarto menurun dari ayahnya, Moe’id Prawirohardjono, guru bantu sekolah dasar yang suka menggambar. Soenarto gemar menggambar sejak usia tiga tahun."Saya selalu minta oleholeh kapur dari Bapak," ucap Soenarto kepada Tempo, tahun lalu."Lantai rumah pun saya penuhi dengan aneka coretan."
Ayah Soenarto juga mengoleksi lukisan dari para seniman Sokarajasaat itu kawedanan di Purwokertoyang sebagian besar warganya melukis. Saat itu, lukisanlukisan mereka dijual hingga ke Ambon.
Soenarto berulang kali menjuarai lomba melukis tingkat sekolah dasar. Menginjak usia sekolah menengah pertama, semasa pendudukan Jepang, ia ikut memanggul senjata sebagai prajurit Tentara Pelajar. Soenarto melukis rumah yang menjadi markas gerilya. Selepas penjajahan Jepang, ia menjalani demobilisasi. Ia mendapatkan pesangon tiga tahun untuk kembali bersekolah. Soenarto memilih melanjutkan ke sekolah pertanian menengah atas di Malang, Jawa Timur.
Bakat Soenarto kian terasah setelah masuk ilmu seni murni di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta pada September 1953. Ia diajar melukis oleh tiga maestro: Trubus Soedarsono, Soedarso, dan Affandi. Trubus mengajarnya melukis di dalam dan luar studio. Soenarto juga sempat nyantrik sekitar tiga bulan di rumah Trubus di Pakem, Sleman. Hingga suatu saat Trubus ditangkap dan tak pernah kembali karena dituduh terlibat dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), onderbouw Partai Komunis Indonesia."Tapi, selama saya bersama Trubus, dia tak pernah mempengaruhi saya untuk masuk Lekra," ujar Soenarto.
Affandi menjadi dosen melukis ketika Soenarto di tingkat III. Bagi Soenarto, dalam cara mengajar, Affandi mempunyai daya pikat tinggi dibanding Trubus dan Soedarso, yang lebih banyak diam. Misalnya saat mahasiswa seni murni tingkat III diajak Affandi melukis sampai ke suatu desa di Yogyakarta dengan menumpang bus. Mereka berhenti di pinggiran sungai besar yang jernih. Para mahasiswa mencari lokasi sendiri untuk melukis. Affandi memilih mandi di sungai. Lukisan mereka dibahas esok hari di kelas.
Lulus dari ASRI, Soenarto ikut membidani lahirnya Sanggarbambu. Sanggar itu bermula dari obrolan ringannya dengan Kirdjomuljo, penyair dan pegiat teater, serta Heru Sutopo, seniman dari Akademi Seni, Drama, dan Film Yogyakarta.
Suatu malam, Kirdjomuljo bertanya kepada Soenarto."To, jadi pelukis kok tidak punya sanggar?" kata Soenarto mengutip Kirdjomuljo. Belum sempat Soenarto menjawab, Heru Sutopo menyahut,"Iya, To. Kalau butuh tempat, di tempat ibuku. Boleh tinggal satu tahun."
Soenarto pun menyambut usul itu dan menempati rumah ibu Heru di Jalan Gendingan Nomor 115, Yogyakarta. Nama Sanggarbambu muncul saat ia diminta membuat dekorasi pementasan Teater Indonesia di Malang berjudul Puisi Rumah Bambu. Selain melahirkan sejumlah seniman, Sanggarbambu menghasilkan karyakarya monumental. Di antaranya Monumen Jenderal Gatot Soebroto di Purwokerto, Monumen Jenderal Ahmad Yani di Jakarta, rangkaian patung dada pahlawan di Gedung Joang ’45 Jakarta, dan Monumen Latuharhary di Ambon.
"RAPAT kepanitiaan pembangunan Sanggarbambu" itu berlangsung seusai salat isya terakhir Soenarto, Selasa, 24 Juli lalu, sekitar pukul 20.00. Slang oksigen melintang di wajahnya. Tubuhnya hanya bisa terbaring sejak habis Lebaran lalu akibat pembengkakan jantung sejak 2016. Pukul 23.07 hari itu, Soenarto berpulang.
Pito Agustin Rudiana
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo