Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERUMBU karang cantik berwarna-warni mencolok itu seperti sedang melambai-lambai tersapu air laut. Benda-benda berbahan benang rajut itu membentuk pulau-pulau. Serombongan ikan mini beterbangan, berkumpul hilir-mudik. Seekor paus buatan berupa kerangka berwarna putih teronggok berselimut terumbu karang. Kehidupan bawah samudra itu berpayung benda raksasa berbentuk berlian yang terbuat dari ram plat besi dilapisi plastik kaca film.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perupa Mulyana menyulap halaman Jogja National Museum menjadi dunia bawah laut penuh terumbu karang, ikan, dan rumput laut. Rajutan benang raksasa ciptaan seniman asal Bandung itu menjadi karya utama dalam ArtJog yang digelar di Jogja National Museum, Yogyakarta, sepanjang 4 Mei-8 Juni 2018. Bursa pasar seni rupa yang berlangsung untuk ke-11 kalinya itu mengambil tema Pencerahan: Menuju Berbagai Masa Depan. Pencerahan sesuai dengan perhatian pemerintah terhadap pantai, pesisir, bandara, dan pelabuhan, kata kurator ArtJog, Bambang Toko Witjaksono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ArtJog tahun ini melibatkan 54 seniman dari Indonesia dan mancanegara yang menyuguhkan karya patung, lukisan, dan seni instalasi. Pasar seni rupa ini juga ber¡©inovasi dengan memperkuat konsep seni pertunjukan yang sudah dimulai pada tahun lalu. Mereka memiliki kurator untuk setiap seni pertunjukan, seni tari, dan teater harian yang digelar selama ArtJog berlangsung. Djaduk Ferianto bertugas mengkurasi musik, sedangkan Bambang Paningron menjadi kurator seni tari. Tahun lalu, ArtJog belum punya kurator seni pertunjukan harian.
Seperti tahun sebelumnya, berbagai pameran di ratusan galeri di Kota Gudeg dalam kemasan Jogja Art Weeks turut meramaikan hari raya seni rupa Yogyakarta. Setidaknya ada 105 pameran di Yogyakarta selama sebulan ini. Pasar seni rupa yang dikomandoi Heri Pemad ini menelan anggaran Rp 6-7 miliar atau naik dibanding tahun lalu, yang sebesar Rp 5 miliar. Penyediaan infrastruktur, di antaranya panggung pertunjukan, paling banyak menyedot duit, ujar Bambang.
Karya rajutan Mulyana menyambut pengunjung di bagian depan halaman Jogja National Museum. Dalam penggarapannya, karya berjudul Sea Remembers itu menggunakan pendekatan seni kriya. Ia melibatkan 70 ibu-ibu perajut sebagai artisan untuk membantunya. Waktu pengerjaannya lima bulan. "Saya terkesima oleh keguyuban ibu-ibu di Yogyakarta dan mereka punya jiwa tolong-menolong yang kuat," ujar perupa kelahiran Bandung pada 1984 ini.
Ibu-ibu itu merajut dan menjahit benang-benang di rumah masing-masing. Mulyana dibantu ibu-ibu yang menjadi koordinator untuk mengumpulkan hasil rajutan mereka. Lalu ia berkeliling mengambil hasil rajutan dengan mendatangi ibu-ibu yang tinggal di Jalan Kaliurang, Minomartani, Condong Catur, dan Sorogenen.
Mulyana mulai berkenalan dengan ibu-ibu perajut sewaktu dia datang ke Yogyakarta pertama kali pada 2014. Ia aktif datang ke Festival Kesenian Yogyakarta dan melihat ada banyak potensi seni dalam acara tersebut. Dari Festival Kesenian itu, ia tergerak untuk bekerja sama dengan ibu-ibu tersebut. "Spirit kebersamaan bersama ibu-ibu paling penting dalam karya ini. Bagi saya, kerja bareng itu barokah," kata Mulyana.
Sea Remembers menghabiskan dana sekitar Rp 1 miliar, yang dia peroleh dari bantuan Museum Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN). Mulyana menyebutkan tema bawah laut dalam karyanya merupakan bentuk kekagumannya terhadap makhluk ciptaan Tuhan. Kehidupan bawah laut, menurut dia, juga menyimpan misteri. Misalnya, orang menemukan ikan-ikan dengan bentuk yang aneh-aneh atau keluar dari pakem keindahan, seperti ikan-ikan yang mirip monster.
Selain itu, karyanya tersebut bisa diartikan sebagai sentilan terhadap kerusakan laut. "Terumbu karang banyak yang rusak akibat aktivitas manusia," tuturnya.
Mulyana adalah alumnus Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur, dan Pendidikan Seni Rupa Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Ia pernah bekerja di Toko Buku Kecil atau Tobucil Bandung, komunitas dan wadah berbagi ilmu. Di Tobucil, terdapat kelas-kelas hobi seperti merajut. Ia pernah menggelar pameran tunggal berjudul "Mogus World" di Bandung pada 2012. Pada 2016, karya Mulyana berjudul Imaginarium: Over the Ocean Under the Sea ditampilkan di Singapore Art Museum.
Tim ArtJog mengamati sepak terjang Mulyana sejak 2015. Dari karya-karyanya, Mulyana dinilai mampu mengubah kesan seni kriya rajutan dari hanya pekerjaan remeh ibu-ibu menjadi karya seni yang bernilai tinggi. Mulyana adalah satu dari sedikit perupa yang memakai material benang rajut dengan teknik kriya. "Tema bawah laut yang Mulyana bawa kuat," kata Bambang.
SELAIN karya Mulyana, deretan karya perupa lawas langganan ArtJog menghiasi ruang pameran. Perupa Nasirun menerjemahkan tema pencerahan dalam karya lukisan berkarakter rajah pada gulungan tisu dan kertas sepanjang 100 meter dan video. Gulungan tisu tersebut menghampar mirip karpet terbang. Karya berjudul Hutan Dilipat itu dipasang pada atap serupa pergola di lantai satu ruang pamer.
Nasirun banyak menghasilkan lukisan dengan kanvas berukuran besar. Lukisannya bergaya abstrak, khas dengan spiritualisme Jawa. Nasirun membutuhkan waktu enam bulan untuk merampungkan Hutan Dilipat. Selama mengerjakan karya itu, ia dibantu tiga artisan. Gulungan tisu bergambar rajah berbahan cat akrilik itu dikolase, lalu dilem. Nasirun menggunakan warna-warna alam yang dioplos, yakni merah, kuning, biru, yang dicampur warna hitam dan cokelat.
Karya perupa kelahiran Cilacap, Jawa Tengah, ini merupakan kritik terhadap masifnya perusakan hutan. Dia menyentil keserakahan orang-orang yang membabat hutan secara serampangan demi kebutuhan ekonomi semata dengan mengabaikan dampak kerusakan lingkungan. Masifnya penebangan pohon digunakan sebagai bahan baku pembuatan tisu.
Menurut Nasirun, rajah-rajah pada tisu menggambarkan mantra-mantra sebagai pelindung hutan. Dulu, orang menebang pohon secara tradisional dan memperhatikan etika. Setelah menebang, mereka menanam pohon untuk menjaga kehidupan. Tapi sekarang cara-cara tradisional itu mulai ditinggalkan. "Karya ini bicara pencerahan secara batiniah. Mengajak orang kembali sadar untuk tidak merusak alam," kata Nasirun.
Pada karya seni instalasi Heri Dono, orang diajak berimajinasi melalui citraan lima malaikat yang sedang terbang dan tersenyum. Kelima malaikat bersayap itu bergincu dan membuka mulutnya dengan raut muka riang gembira. Bila Anda menyentuh sekring di dekat karya itu, benda-benda tersebut akan bergerak dan berbunyi disertai dengan sorot lampu.
Heri Dono memberi judul karyanya Smiling Angels from the Sky. Ini merupakan bagian dari karya bertema malaikat lainnya. Menurut Heri Dono, angel atau malaikat dalam karyanya tidak ada sangkut-pautnya dengan agama tertentu. Bagi dia, angel menjadi inspirasi. Bidadari yang tersenyum dalam karyanya melambangkan antusiasme dalam menghadapi masa depan. "Para bidadari membawa ’cakra’ dari para dewata sebagai pembawa api kehidupan (eros)," tuturnya.
Lima seni instalasi yang masing-masing berukuran 98 x 95 x 50 sentimeter yang dipajang itu menggunakan bahan fiberglass. Selama ini Heri Dono dikenal menghasilkan karya berukuran jumbo khas dengan seni kinetis, memadukan keindahan seni dan gerak mekanik mesin. Ia menghidupkan karyanya dengan suara nyaring yang dibunyikan melalui bel. Ia juga menaruh lampu-lampu untuk menarik perhatian. Heri juga dikenal kerap mengembangkan karakter Jawa kontemporer yang terinspirasi dari wayang kulit tradisional.
Perupa Eko Nugroho menampilkan tujuh karya seni instalasi berjudul Carnival Trap. Karya-karyanya mendaur ulang barang-barang bekas, di antaranya plastik dan kaleng. Ia membuat obyek manusia yang dikepung pernak-pernik benda. Seperti pada karnaval, sekujur tubuh mereka diselimuti benda-benda itu hingga yang terlihat hanya separuh kaki. Kepala mereka menyembul, hanya mata, alis, dan dahi yang terlihat. Di dinding, terdapat poster bertulisan "demokrasi" dan "nasionalisme".
Eko menyoroti fenomena masyarakat yang merayakan euforia demokrasi terlalu berlebihan sehingga muncul anarki di mana-mana. Ia menggambarkan euforia itu sebagai hiruk-pikuk seperti karnaval. Dalam karnaval, ada kemeriahan yang mengundang masyarakat untuk merayakannya. Tapi karnaval kemudian dipermainkan menjadi sesuatu yang politis. "Karnaval menjadi jebakan oleh kekuatan besar untuk mewujudkan mimpi-mimpi politisnya. Kekuatan tersebut bisa mengacaukan masyarakat," ujar Eko.
Adapun seniman Handiwirman menggunakan citraan karet dalam seni instalasinya. Karya berukuran jumbo dipajang seperti karet gelang tak beraturan yang tertambat pada atap dan menyelampir ke bawah. Ada juga benda berbentuk kotak. Karya berjudul Toleranintoleransi itu menggunakan bahan resin fiber, akrilik, cat, dan besi. Menurut Handiwirman, karet memiliki sifat lentur serta mampu beradaptasi dengan berbagai gesekan, tekanan, dan panas. Karet gelang sangat populer sebagai alat pengikat bungkusan makanan dan rambut. "Karet gelang menjadi perumpamaan dari persoalan toleransi dan intoleransi," tuturnya.
DI bagian karya seni mancanegara, seniman Jepang-Australia, Hiromi Tango, menari di taman bunga kertas berkelir terang. Ia tersenyum dan memeluk bunga seperti sedang merawat anaknya penuh kasih sayang. Hiromi membaui dan meniup bunga yang disusun bergelantungan seperti air terjun. Perempuan 42 tahun ini menggenggam erat bunga dan menggesek-gesekkan pinggirannya. Ia melemparkan bunga itu ke arah langit. Dua pipi Hiromi tersaput riasan berwarna merah muda. Satu rangkaian bunga melingkari bahunya. Kalung bunga menghiasi lehernya. Bunyi kerincing mengiringi gerakannya ke sana-kemari.
Hiromi berulang kali menempelkan telinganya ke rimbunan bunga dan memejamkan mata seperti sedang berkomunikasi intens dengan kembang-kembang itu. Bersuara lembut, Hiromi mengundang pengunjung masuk ke sudut ruang pamer lantai satu Jogja National Museum, Jumat malam, 4 Mei lalu. "Welcome, welcome, welcome, welcome," ucap Hiromi, yang selalu tersenyum.
Taman bunga kreasi Hiromi Tango menyihir pengunjung. Mereka antre dan betah berada di sana. Seni instalasi Hiromi menjadi yang paling favorit dikunjungi selama pembukaan bursa pasar seni rupa itu berlangsung. Hiromi ditemani lima tukang kebun berbaju putih yang ikut memberikan workshop membuat bunga. Orang dewasa dan anak-anak ikut membuat bunga berbahan kertas krep, menambatkan pada tali yang penuh kembang. Mereka juga boleh membawa pulang bunga-bunga yang mereka buat.
Rombongan anak-anak dari sekolah tari di Yogyakarta mengerubuti Hiromi. Mereka memanggil Hiromi sebagai mama garden. Puluhan bocah itu ikut membantu Hiromi membuat ratusan bunga. Hiromi sangat tertarik pada dunia anak-anak. "Saya senang menciptakan suasana alam untuk mereka," tuturnya.
Hiromi memberi nama karyanya sebagai Healing Garden. Selain rangkaian bunga yang digantung hampir memenuhi ruangan, ia membuat instalasi bunga yang mengelilingi kaca cembung dan cermin bercahaya. Selama sebulan mengerjakan Healing Garden, ia melakukan riset tentang bunga lokal Yogyakarta. Yogyakarta kaya akan bunga seperti mawar, melati, amarilis, dan kenanga. Bunga-bunga itu, menurut Hiromi, berperan penting untuk penyembuhan, memberi kehangatan, kenyamanan, dan kegembiraan.
Orang-orang Asia menempatkan bunga sebagai pembawa energi, seperti pada anggrek ungu. Amarilis digunakan sebagai obat tradisional untuk menyembuhkan penyakit kanker dan luka. Mawar dikenal karena aromanya yang harum. Minyak mawar memiliki berbagai manfaat untuk kesehatan, yakni menurunkan tekanan darah dan kadar kolesterol serta memperkuat sistem pertahanan tubuh. Kenanga banyak digunakan dalam pengobatan tradisional untuk sakit kepala dan serangan kecemasan serta merawat gangguan pernapasan.
Menurut Hiromi, warna mempunyai peran penting untuk mempengaruhi perasaan manusia. Misalnya warna oranye amarilis membuat orang bersemangat serta sering dikaitkan dengan keberanian dan kebulatan tekad. Warna merah muda bunga mawar membuat orang berpikir tentang kelembutan dan cinta. Putih pada bunga melati sering dikaitkan dengan cahaya, kepolosan, dan kesucian. Hijau bunga kenanga (ylang-ylang) menenangkan, membangkitkan perasaan kesehatan lahir dan batin, serta dekat dengan alam.
Selain melakukan riset, Hiromi bertemu dengan lima pekebun dalam waktu singkat dan klop dengan mereka untuk berkolaborasi memberikan workshop membuat bunga. Bunga-bunga dari pengunjung dikumpulkan selama workshop hingga pameran berakhir.
Healing Garden merupakan bagian dari seri proyek partisipatif karya Hiromi. Ia dikenal sebagai seniman yang menciptakan instalasi, patung, seni pertunjukan, dan fotografi. Karya-karyanya berfokus pada penyembuhan trauma dengan cara interaktif.
Sejak 2009, Hiromi berkolaborasi dengan berbagai macam komunitas dalam membuat karya-karya yang sifatnya menyentuh emosi terdalam manusia, terasa kontemplatif. "Tentu saja ide-ide karya saya tidak muncul tiba-tiba," ucapnya. Jepang juga kesohor dalam penghormatannya terhadap bunga dan alam. "Karya saya terinspirasi dari Nenek yang juga suka berkebun (pekebun)."
Dalam berbagai proyek seninya, Hiromi banyak mengeksplorasi tema alam, perawatan, ilmu saraf, neuroplastisitas, dan genetik. Karyanya juga berbicara soal pengaruh warna secara kognitif terhadap emosi, seperti depresi dan kecemasan. Membuat bunga dari kertas, melipat, memilih, dan membungkus bunga berdasarkan warna membantu proses pemulihan dari trauma, mengurangi kecemasan, depresi, dan mengontrol emosi. Ia merujuk pada esai psikiater Sydney, Australia, Dr Patricia Jungfer, yang menyebut seni bisa menjadi pengalaman transformatif.
Kurator ArtJog, Ignatia Nilu, mengatakan konsep penyembuhan pada karya Hiromi menggambarkan bagaimana orang-orang di Timur percaya pada penyembuhan trauma sebagai obat. Cara penyembuhannya lewat seni pertunjukan, tari, dan lokakarya membuat bunga. "Orang percaya pada kekuatan spiritualisme," kata Nilu.
Karya seniman Filipina, Ronald Ventura, kembali menghiasi ArtJog. Ia menampilkan 12 gambar berjudul Human Study, yang dipasang pada clipboard. Karya-karya Ronald memang tak biasa. Ia menggunakan grafit dan cat minyak di atas kanvas pada stainless steel.
Dalam karya itu, Ronald memadukan kepala manusia yang berjenggot panjang dan buta pada mata kanannya dengan mata burung hantu. Ada juga mata manusia berkacamata yang dikombinasikan dengan mata burung dan berparuh. Manusia setengah burung itu mulutnya terbuka, lengkap dengan senjata api.
Ciri khas karya Ronald memang menggabungkan anatomi tubuh manusia dengan binatang. Ronald secara khusus mendatangkan tim kuratorialnya dari Filipina ke ArtJog untuk menjelaskan karyanya kepada pengunjung. Ryan Francis Reyes, dari tim kuratorial Ronald Ventura, mengatakan karya Ronald menggabungkan budaya Barat dengan Timur.
Selain itu, karyanya memadukan hal-hal yang berhubungan dengan masa lalu dan masa depan sebagai gambaran karya yang kontemporer. Ia banyak menggambar manusia, mesin, binatang, dan teknologi gadget. Kebanyakan karya Ronald bicara tentang budaya pop. "Ada kesenangan, sarkasme, dan ironi," ucap Ryan.
Ronald menggambarkan betapa manusia dan binatang sangat dekat. Mereka memiliki tingkah laku yang hampir serupa. Misalnya manusia juga suka melakukan kekerasan seperti binatang. Karya Ronald yang menggabungkan teknologi dengan tubuh manusia berbicara tentang ketergantungan manusia pada teknologi.
Ronald juga memajang seni instalasi berbentuk perahu berbahan fiberglass, resin, kayu, dan logam. Selain itu, ia menyertakan video dan suara laut. Karya Ronald berbentuk perahu berukuran 140 x 411,5 x 76 sentimeter ini menggambarkan bagaimana manusia melakukan pencarian panjang dan berliku menuju pencerahan. "Ronald terinspirasi dari artefak Filipina. Selain itu, perahu cocok dengan Indonesia yang juga negara kepulauan," tuturnya.
Karya seni instalasi perahu ini sempat tertahan di Bea dan Cukai. Panitia ArtJog sempat panik karena mereka khawatir karya itu tidak bisa dipamerkan saat pembukaan berlangsung. Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf kemudian membantu panitia dengan mengontak Menteri Keuangan Sri Mulyani supaya pengurusan bea-cukai lancar.
Perupa asal Cina, Kexin Zhang, menampilkan seni instalasi berupa layang-layang putih yang dipasang pada sekujur kayu berbentuk manusia. Layang-layang itu ada yang ditutupi dengan kurungan burung. Selain menyajikan seni instalasi, Kexin menampilkan lukisan, video, dan foto. Video dan foto Kexin menggambarkan Kexin sedang berjalan di sekitar Kelenteng Sam Poo Kong di Semarang. Tubuh Kexin penuh layang-layang. Ia berjalan dengan merentangkan kedua tangannya layaknya burung yang mengepakkan sayap.
Ignatia Nilu mengatakan seniman mancanegara yang terlibat dalam ArtJog kali ini punya posisi penting di Asia Tenggara. Tim ArtJog kembali mendatangkan karya-karya Ronald Ventura karena dia menjadi ikon yang kuat di Asia Tenggara.
Karya-karya Ronald beraliran realisme dan ia memiliki kemampuan yang luar biasa. Ronald menggunakan sifat binatang pada figur manusia dengan teknik yang bagus. Lukisannya menggunakan garis-garis yang tegas untuk menggambarkan gabungan binatang dengan manusia. Ronald dinilai menghasilkan karya yang kontekstual. "Dia punya konsep, teknik, dan imajinasi yang kuat. Material karyanya juga berkualitas bagus," ucapnya.
Shinta Maharani
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo