Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pak Kumicho: He, Pak Gendoet.... Kita sebagai pekerdja tak boleh malas-malasan. Semoea pekerdjaan tentoe ada toedjoeannja. Selain bermaksoed oentoek mentjari nafkah goena hidoep dengan anak bini, djoega bermaksoed melaksanakan kemakmoeran bersama....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mak Gendoet: Memang dasar malas, ada-ada sadja alasan.... Ajo, soedah diberi nasehat Pak Kumicho. Sekarang ambil patjoel, pergi matjoel....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pak Gendoet: Jang dipatjoel apa....
NASKAH sandiwara lelucon Bekerdja! karya Ananta Gaharasjah ini jarang diketahui. Bekerdja! dibuat atas perintah Keimin Bunka Shidosho (pusat kebudayaan yang didirikan Jepang pada 1943) untuk keperluan mendidik warga jajahan. Komedi ini bercerita tentang seorang pemalas bernama Pak Gendoet. Bisa dibayangkan apabila Bekerdja! dipentaskan keliling ke desa-desa di Jawa awal 1940-an, pasti membuat warga terbahak-bahak. Namun misi utamanya agar rakyat giat bekerja mudah ditangkap.
Pada Senin pekan lalu, di lobi Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, penggalan naskah ini dibacakan oleh Budi Sobar dan Rita Matumona, anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang juga pemain Teater Koma. "Naskah itu ada dalam buku Drama Panggoeng Giat Gembira yang diterbitkan Keimin Bunka Shidosho, Januari 1945," kata Fandy Hutari, peneliti arsip teater zaman Jepang. Menurut Fandy, kumpulan naskah drama itu ada tiga jilid. DKJ menerbitkan tiga naskah dari tiga buku itu. Selain naskah Bekerdja!, diterbitkan naskah Awas Mata-Mata Moesoeh karya D. Djojokoesoemo dan Kami Perempoean karya Asia Poetera. "Asia Poetera ini diduga nama samaran Armijn Pane," ujar Fandy.
Selama tiga setengah tahun di Nusantara, Sendenbu (Departemen Propaganda Jepang) yang berada dalam badan pemerintahan militer (Gunseikanbu) melalui Keimin Bunka Shidosho secara sadar memanfaatkan seni sebagai alat propaganda. Yang menarik, banyak seniman Jepang ternama datang ke Indonesia terlibat dalam proyek ini. Mereka, seperti pernah disebut sejarawan Jepang, Aiko Kurasawa, adalah bunka-jin (orang-orang budaya) Jepang kelas satu. Mereka bermitra dengan seniman ternama Indonesia mengarahkan sastra, seni rupa, musik, dan seni pertunjukan (teater, tari, film).
"Kedatangan mereka tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Bahkan ada yang datang dengan uang tabungan sendiri," kata Antariksa, kurator acara ini yang melakukan riset mendalam tentang seniman-seniman Jepang yang terlibat. Dalam pameran di lobi Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Antariksa menghadirkan seratusan nama seniman Indonesia yang menjadi anggota Keimin Bunka Shidosho. "Kerja sama seniman dengan penguasa Jepang saat penjajahan Jepang hanya terjadi di Indonesia. Di Singapura, Myanmar, dan Filipina tidak ada," ujar Antariksa.
Antariksa melakukan penelitian sampai Paris untuk melacak jejak seniman Jepang terkenal yang terlibat dalam proyek perang di Indonesia. Di antaranya Tsuguharu Foujita. Pelukis dan printmaker ini pernah tinggal di Paris serta bersahabat dengan Pablo Picasso dan Henri Matisse. Dia disebut-sebut sebagai pelukis terpenting Jepang yang pernah tinggal di Barat awal abad ke-20. "Foujita hidupnya sangat mapan di Paris. Dia pernah ke Bukittinggi membantu proyek propaganda," kata Antariksa.
KEIMIN Bunka Shidosho dalam program-programnya selalu memadukan kelompok seniman Jepang dan Nusantara. "Ketua bidang drama, misalnya, ahli teater Jepang, Yasuda, didampingi Winarno," ujar Fandy Hutari. Pada 1944, Eitaro Hinatsu memprakarsai berdirinya Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa (POSD), yang beranggotakan semua anggota kelompok sandiwara profesional, seperti Bintang Soerabaja, Tjahaja Timoer, Wanasari, dan Dewimada. Hinatsu sesungguhnya adalah orang Korea. Ia pernah belajar film di Tokyo. Di Indonesia, dia lalu dikenal dengan nama Dr Huyung. "Program POSD salah satunya keliling menghibur romusha atau Heiho," tutur Fandy.
Di POSD, Kotot Sukardi, misalnya, menulis lakon Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram, dan Benteng Ngawi. Eitaro Hinatsu sendiri menerjemahkan lakon Nora karya Henrik Ibsen dan judulnya diganti dengan Jinak-jinak Merpati oleh Armijn Pane. Jepang juga ingin mengembangkan sandiwara radio. "Tapi kurang efektif karena saat itu tidak setiap warga punya radio," kata Fandy.
Akan halnya, menurut Antariksa, di bidang seni rupa, Keimin Bunka Shidosho membuka pintu bagi tumbuh suburnya perupa Indonesia. Terjadi lonjakan jumlah pelukis di zaman Jepang. "Di zaman kolonial Belanda, pribumi tidak bisa masuk galeri sembarangan. Sementara itu, Keimin Bunka Shidosho menyediakan studio gratis, guru-guru menggambar, cat minyak, bahkan model bagi siapa saja yang mau belajar melukis."
Salah satu guru gambar di Keimin Bunka Shidosho adalah Saseo Ono. Dia yang memperkenalkan mural. Sebagai instruktur gambar, ia sangat ramah dan bahasa Indonesianya lancar. "Dia dapat menggambar dengan dua tangan sangat cepat," ujar Antariksa. Pameran yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta menyajikan contoh sketsa Saseo Ono, di antaranya sketsa pendaratan Nippon di Banten dan Bandung.
Bukan hanya seni rupa, dunia media massa juga mengalami inovasi saat para desainer Jepang didatangkan. Di antaranya dua ahli tata letak terkemuka, fotografer Natori Yonosuke dan desainer artistik Takashi Kono. Yonosuke adalah bekas koresponden majalah Life di Berlin, Jerman. Pada 1933, ia mendirikan Nippon, majalah desain fotografi pertama di Asia. Yonosuke menjabat direktur dan pengarah artistiknya adalah Takashi Kono.
"Dengan bantuan para desainer Asahi Shimbun, Takashi Kono dan Natori Yonosuke menata ulang sekitar 106 penerbitan di Indonesia. Dari desain sampul, layout, tipografi, sampai membuat logo," kata Antariksa. Mereka memperkenalkan teknologi media terbaru. Merekalah yang membuat desain cover Djawa Baroe. Rujukannya adalah majalah Nippon. Takashi Kono di Keimin Bunka Shidosho yang memperkenalkan teknik montase dan kolase kepada desainer grafis Indonesia, seperti R. Soeromo, Iton Lasmana, dan Toetoer Soemosentono, yang sebelumnya anggota Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Pameran poster propaganda yang dibikin oleh Takashi Kono juga bisa kita lihat di lobi Teater Kecil TIM. Cirinya: huruf-huruf tebal dan ada penggunaan montase.
Menurut Antariksa, pada zaman Jepang, ratusan pameran diadakan dalam jangka waktu tiga setengah tahun. "Pusat kesenian tidak hanya di Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung, tapi juga di Banda Aceh, Balikpapan, Jember, dan Dili. Pelukis terkenal Miyamoto Saburo, misalnya, pernah menggelar pameran tunggal di Manado pada 1943. Dia suka menggambar rapat-rapat dan pasukan parasut." Pasukan parasut pertama Jepang sendiri dicoba pertama kali di Palembang pada 1942.
Tapi selama masa pendudukan Jepang itu, menurut Antariksa, seniman tak boleh kritis. "Mereka boleh menggambar apa saja asalkan tidak mengkritik Jepang. Karena itu, tidak ada satu pun karya yang menyerang romusha atau jugun ianfu," katanya. Affandi, misalnya, pernah menghadiahi Angkatan Laut Jepang lukisan pengemis compang-camping, tapi ditolak.
Di bagian drama juga naskah selalu harus diperiksa dan lolos sensor Sendenbu. "Ada naskah berjudul Toean Amin karya Amal Hamzah. Naskah ini menyindir Keimin Bunka Shidosho serta Pane bersaudara (Sanusi dan Armijn) yang menjadi anggota. Keimin disimbolkan sebagai rumah sakit jiwa. Naskah ini tidak pernah diterbitkan," kata Fandy Hutari. Namun naskah Taufan di Atas Asia karya El Hakim alias Abu Hanifah lolos dari pengawasan Jepang karena kritiknya sangat simbolis sehingga tidak diketahui.
Pameran ini membuka mata kita terhadap iklim kreatif di zaman Jepang. Adalah menarik mengapa seniman sekaliber Sudjojono dan Hendra Gunawan, yang di masa Belanda melukis perjuangan, saat zaman Jepang bisa menahan diri untuk tak melukis romusha dan lain-lain. Juga yang belum jelas bagaimana di Jepang sendiri penerimaan para seniman yang terlibat proyek saat pasca-perang. Sebab, kita ketahui juga banyak seniman dissident yang menolak proyek perang. Seorang pelukis bernama Yasuo Kuniyoshi, misalnya, pernah mengkritik Tsuguharu Foujita sebagai fasis dan imperialis. Tapi, yang jelas, kontribusi seniman Jepang pada zaman pendudukan di sini cukup penting, dan ini yang banyak dilupakan. Antariksa mengatakan seni modern Indonesia tumbuh saat zaman Jepang.
Seno Joko Suyono
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo