Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Charlie Hebdo dan Kita

19 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rocky Gerung*

Apakah "the other" ada dalam pertimbangan Charlie Hebdo ketika menerbitkan setiap edisi, terutama ketika satire itu menghantam nilai sakral seseorang? Tentu ini pertanyaan serius hanya setelah akibatnya terjadi, yaitu adanya balasan kekerasan atas nama agama. Sebab, dari sini muncul pertanyaan setara: bolehkah kekerasan dipergunakan secara sepihak bila nilai sakral seseorang terusik?

Nilai sakral adalah individual. Suatu keyakinan religius tidak hanya mengenai doktrin agama, tapi juga doktrin tradisi dan etika sosial, bahkan pilihan nilai si individu sendiri. Seseorang mungkin tak terhina bila doktrin agamanya direndahkan, tapi ia akan sangat murka bila pandangan moral privatnya dihina. Di situ nilai religiusnya bukan pada agama, melainkan pada susunan etika privat yang komposisinya ia tentukan sendiri. Jadi setiap orang bebas menyusun konsep religiositasnya sendiri. Kurikulum hidup setiap orang adalah tanggung jawabnya sendiri. Bila seseorang menganggap bahwa selembar daun hijau lebih sakral daripada teks kitab suci, tak ada yang berhak melarang pilihan pandangan itu. Religiositas adalah etika individual. Sekarang ini basisnya bukan hanya agama.

Cara pandang tadi memang berseberangan dengan konvensi bahwa nilai hidup seseorang hanya ada dalam proteksi dan kesepakatan komunitas. Jadi ekspresi bebas tak dimungkinkan. Religiositas adalah definisi komunitas. Dalam antropologi semacam ini, seseorang hidup dalam bawah sadar komunitas. Tindakannya adalah tindakan komunitas, demikian juga akibatnya. Tak ada tanggung jawab individu, karena total evaluasi etis adanya di komunitas. Komunitas adalah sakral karena ia memelihara keyakinan dasar yang final. Kesakralan itu bahkan harus digantungkan pada momen evaluasi tertinggi, yang nilainya harus menunggu akhir zaman. Secara konseptual, kekuasaan komunitas harus absolut. Tidak ada eksistensi individu di luar komunitas. Model sempurnanya harus begitu.

Dalil tentang kebebasan berekspresi berasumsi bahwa tak boleh atas alasan apa pun, pikiran manusia dihalangi oleh kekuasaan mana pun. Dalil ini bukan dalil metafisik, melainkan dalil sosio-historis yang berasal dari pengalaman penindasan manusia dalam sejarah panjang peradaban, entah itu penindasan oleh agama, negara, atau tiran.

Jadi asal-usulnya bukan untuk merayakan kebebasan, melainkan buat mengingatkan terus bahwa kekuasaan selalu dapat kembali merendahkan manusia, yaitu dengan menindas pikirannya. Dalam filosofi tertingginya, dalil itu memelihara pikiran bahwa sejarah masih bekerja untuk merealisasi potensi terbaik manusia, yaitu kebebasan individu.

Yang harus diingat adalah kebebasan individu tidak sama dengan kepentingan individu, seperti yang terlalu disalahpahamkan di negeri ini. Kemerdekaan individu adalah prasyarat untuk menghasilkan percakapan publik. Jadi bukan kepentingan individu yang hendak dimajukan, melainkan percakapan publik. Itulah relasi fundamental antara kebebasan individu dan demokrasi. Dalam relasi itu, tidak boleh ada monopoli pendapat. Kesementaraan dan potensi berbuat salah adalah kondisi permanen dari demokrasi.

Satire adalah bentuk kritik untuk menjaga percakapan publik agar tak dikuasai oleh berbagai arogansi: kapital, politik, kesalehan, moral, ketokohan, pengetahuan, selebritas, dan lain-lain. Satire secara terus terang mengatakan bahwa ia akan mengolok-olok semua konvensi dengan maksud kritik, tapi dengan gaya humor. Jelas bukan untuk menghina, melainkan buat mengasah daya pikir dan menghibur. Pada politik semiotika inilah disodorkan ujian kehidupan demokratis: apakah kita akan tersenyum kecut atau mengamuk.

Lalu di mana batasnya, yaitu batas agar satire tak abai terhadap perspektif "the other"? Bila batas itu ditentukan, daftar larangan akan jadi panjang dan imajinasi jurnalis akan jadi pendek.

Jadi kondisi peradaban demokrasi menentukan mutu satire. Di situ diukur kecerdasan etis redaksi sekaligus daya nalar publik. Perselisihan boleh terjadi, kekerasan jangan.

"The other" bukan mata orang lain. Itu adalah mata kita yang memandang dari nilai orang lain, untuk mengukur nilai kita. Tapi itu hanya mungkin bila masing-masing tak menganut finalitas di ruang publik.

Charlie Hebdo kini jadi monumen baru dalam percakapan teori demokrasi. Tapi ia juga menjadi momen politik justru karena dunia sudah dua dekade ada dalam ketegangan ideologis baru, yaitu antar keterbukaan dan ketertutupan kebudayaan. Bukan pada persaingan ideologi-ideologi sekuler, melainkan pada posisi-posisi religius yang mengeras.

Pada latar itulah ketegangan konfliktik pada skala lokal dan regional setiap saat dapat berakselerasi menjadi konflik global. Potensi itu juga terkait dengan adu politik realis yang berbasis keamanan wilayah dan peta energi dunia di antara negara-negara besar.

Dalam kesibukan politik kita hari ini, problem global itu kurang diperhatikan pemerintah. Dimensi kerukunan dalam negeri masih sekadar formal, tak dirawat dalam kultur demokrasi.

Ada ketegangan laten pada kehidupan keagamaan kita akibat ketaktegasan pemerintah dalam memastikan sistem bernegara. Toleransi tidak dibasiskan pada etika demokrasi, tapi sekadar diandalkan pada tokoh dan pemimpin-pemimpin informal. Kehidupan publik tak disertai etika publik. Akibatnya, institusi publik justru diisi oleh nilai-nilai primordial. Kondisi ini mempersempit pergaulan warga negara. Politik identitas justru meluas dalam kehidupan publik kita.

Sistem dunia sedang mencari konfigurasi baru, yaitu tatanan strategis dalam mengantisipasi krisis material. Etika "the other", dalam kondisi semacam itu, akan diabaikan oleh politik realis. Akibatnya, politik identitas dan doktrin komunitas akan menguasai kebudayaan politik. Artinya, akan ada pendalaman dalam konflik berbasis agama.

Indonesia adalah bagian persaingan strategi global. Kita harus membuka jendela yang tepat untuk melihat peristiwa-peristiwa dunia ini. Dan Charlie Hebdo adalah peristiwa dengan banyak jendela. *) Peneliti di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus