Ternyata pameran KIASMA-01 lebih banyak menampilkan karya instalasi dengan elemen utama kitsch dan video-art. Media-media ini hadir menuju ke dua arah, di satu sisi sebagai parodi terhadap modernisme, di sisi lain memperlihatkan pandangan baru dalam seni rupa masa kini.
Franco Mondini-Ruiz, 40 tahun (AS), misalnya, menggunakan karyanya untuk mengolok-olok dengan mengembalikan kata "tinggi" pada pengertian harfiah, yaitu menempatkan sesuatu di tempat yang betul-betul tinggi. Instalasi Finlandia High Yellow (2001) memanfaatkan konstruksi baja pada salah satu sudut bangunan museum untuk menempatkan ratusan botol dengan pelbagai ukuran dan hiasan. Tentu saja barang-barang buatan Franco itu adalah salah satu produk yang selama ini dihujat dengan keji sebagai kitsch. Karya ini mengasosiasikan pandangan yang berlawanan dari modernisme, yang menempatkan kitsch sebagai seni rendah tak memiliki jejak emosi. Dan, karenanya tak cukup bernilai.
Masih dekat dengan itu adalah produk massal dari industri besar. Seperti terlihat pada Cildo Maeireles, 53 tahun (Brasil), yang mengangkut sekitar satu truk berjenis-jenis radio dengan macam-macam desain dan ukuran. Dalam ruang pameran ia membangun konstruksi dari batangan baja, dan menggantungkan ratusan radio yang menyiarkan berita dari seluruh dunia dengan puluhan bahasa, termasuk Indonesia. Inilah (Menara) "Babel" 2001. Satu jenis kitsch yang lain lagi.
Di sudut lain ada karya Mella Jaarsma, 42 tahun (Belanda/Indonesia). Ia membawa kulit ular kobra dan kulit tupai—binatang yang lazim dibasmi petani di Jawa Tengah karena dipandang sebagai hama perusak tanaman. Kulit itu diolah dan dirangkai hingga menjadi sesuatu seperti pakaian. Lalu karya I Fry You 1&2 itu diperagakan dua orang model. Karya ini memiliki lebih dari satu sudut pandang, kendati banyak orang tak tahan untuk menghubung-hubungkannya dengan satu isu tertentu. Jenis karya seperti ini selalu menyatakan sesuatu secara tak langsung. Jadi, apa yang ditampilkan belum tentu sesuatu yang langsung ingin dikatakan sang seniman. Ada keyakinan bahwa persepsi orang akan berbeda-beda ketika melihat realitas yang sama.
Menampilkan media-media seni baru merupakan ciri lain yang kuat dalam pameran ini. Performance yang sebelumnya menampilkan pertunjukan sesaat kini memiliki usia yang lebih panjang dengan membuat duplikat lewat rekaman video, sehingga dapat dipertunjukkan di banyak tempat dalam waktu bersamaan.
Lihat antara lain I am Milica Tomic (1999), karya Milica Tomic, 41 tahun (Yugoslavia). Melalui sebuah layar, Milica berputar sangat pelan seperti peragawati, memperlihatkan tubuhnya yang berbungkus gaun putih dipenuhi sayatan seperti luka. "I am Milica Tomic," ujarnya berkali-kali dalam sejumlah bahasa, sampai kemudian "Saya Milica Tomic" dan "Saya Orang Indonesia".
Mungkin tak terlalu sulit menangkap sinyal yang disampaikan Milica pada kita, yaitu pernyataan bimbang tentang identitas, kewarganegaraan, warna kulit, dan lain sebagainya. Seperti ia mempertanyakan secara retoris mengenai Indonesia, Yugoslavia, Montenegro, Rusia, Pakistan, Afganistan, Cina, Jepang, Amerika, yang tak lain hanya nama-nama dalam peta bumi. Inilah sebuah fantasi yang dikonstruksikan sebagai realitas. Atas nama-nama itu pula, lahir horor sangat mencekam dalam kehidupan manusia.
Krisna Murti, 44 tahun (Indonesia) dan Araya Rasdjarmreansook, 44 tahun (Thailand), juga tak jauh berbeda dengan Milica, memproduksi peristiwa atau mungkin informasi. Perbedaannya, kedua seniman ini menggunakan lebih dari satu proyektor dan menggunakan elemen lain di dalamnya. Karya inilah yang dikenal umum sebagai instalasi video.
Baik Araya maupun Krisna menampilkan karya lama yang diperbarui. Araya dengan Reading for Female Corpses (2001), yang menggambarkan pengalamannya berhari-hari di hadapan mayat, membacakan cerita cinta dan seks dalam bahasa Thai. Krisna dengan Losing Face, yang pernah ditampilkan di Biennale Bangladesh dan Biennale Havana, tapi ini versi baru. Karya ini memperlihatkan performance Krisna di sejumlah tempat di Fukuoka-Jepang dan Havana-Kuba, dengan pakaian tari dan topeng Bali, berjalan-jalan ke ruang publik tak tentu arah. Sebuah keadaan disorientasi.
Seluruh realitas yang disajikan dalam pameran ini bagaikan perpanjangan dari kehidupan sehari-hari. Kita membaca per-soalan kebudayaan lewat karya dan riwayat para seniman. Ini mungkin yang dimaksud kurator Maaretta Jaukkuri: seni dan kehidupan di satu sisi, dan seni dalam kehidupan di sisi lain.
A.H.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini