Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyandang disabilitas tuli mengenakan kacamata virtual reality, bersiap menonton delapan film bertema disabilitas. Salah seorang di antaranya adalah Vani. Panitia Festival Film Dokumenter membantu Vani memasang sarung tangan dan kabel-kabel sensor di tangannya. Dari alat sensor itulah Vani terhubung dengan apa yang dia lihat di layar kacamata. "Pengalaman yang menyenangkan, saya mengikuti irama musik," kata Vani melalui penerjemahnya, Selasa lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berjudul Alun, film besutan sutradara Riani Singgih ini berkisah tentang Isro, penari tuli di Jakarta yang mengajarkan tari kepada anak-anak. Vani pun sempat ikut menari, menikmati film berdurasi tujuh menit itu. Alun bersama tujuh film lain tentang kehidupan nyata penyandang disabilitas diputar dalam Festival Film Dokumenter di Taman Budaya Yogyakarta, 1-7 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film lain yang disuguhkan berjudul Menjadi Agung karya Yovista Ahthajida, Aisyah (Ahmad Syafi’i Nur Illahi), Saling (Ridho Fisabilillah), Menjadi Teman (Aji Kusuma), Bulu Mata Kaki (Firman Fajar Wiguna), Apa di Kata Nadakanlah, Apa di Nada Katakanlah (Gracia Tobing), dan Indera Kaki (Ihsan Achdiat).
Festival Film Dokumenter bertajuk "The Feelings of Reality" itu memanfaatkan teknologi virtual reality atau VR, sehingga penonton bisa merasakan apa yang dialami penyandang disabilitas. Mereka dapat merasakan pengalaman nyata dengan dimensi hingga 360 derajat. Penonton seolah-olah berada bersama penyandang disabilitas di lokasi itu.
Film dokumenter ini merupakan hasil workshop di empat wilayah, yaitu Jakarta, Bandung, Jawa Tengah, dan Sumbawa. "Untuk meningkatkan spirit difabel, advokasi, dan menyebarkan semangat inklusivitas," kata project officer The Feelings of Reality, Alwan Brilian.
Selain memutar film, festival ini menggelar diskusi bersama Gerakan Advokasi untuk Difabel (Sigab) di Auditorium IFI-LIP Yogyakarta. Ajiwan Arief dan Muhammad Ismail dari Sigab sekaligus menjadi mentor dalam festival ini. Ajiwan merupakan penyandang tunanetra dan Muhammad Ismail seorang tuli.
Simulasi dan diskusi dalam Festival Film Dokumenter tentang film-film bertema disabilitas .
Panitia mengundang pembuat film untuk menceritakan pengalaman mereka saat membuat film. Program ini digelar sekaligus untuk memperingati Hari Disabilitas Internasional setiap 3 Desember. Diskusi dimulai dengan simulasi menonton film dengan melibatkan empat sukarelawan.
Ajiwan mengatakan penyandang disabilitas ingin dilihat sebagai orang yang berinteraksi secara wajar dengan non-difabel. Itulah yang mendasari delapan film yang ditampilkan itu tersaji secara wajar. "Menempatkan difabel sebagai subyek dan kesehariannya secara wajar alias tidak lebay," kata Ajiwan.
Delapan film tersebut memberikan pesan beragam kepada publik, di antaranya akses pendidikan yang tidak setara hingga upah buruh yang minim. Dia mencontohkan film berjudul Bulu Mata Kaki garapan sutradara Firman Fajar Wiguna, yang berkisah tentang Kuswati, perempuan penyandang disabilitas (tanpa tangan) yang bekerja sebagai buruh pembuat bulu mata.
Pekerjaan membuat bulu mata alias ngidep merupakan salah satu mata pencarian sebagian besar masyarakat Purbalingga, Jawa Tengah, terutama perempuan. Upah murah yang didapat jauh dari kebutuhan hidup Kuswati.
Film lain berjudul Aisyah mengambil latar di Sumbawa. Aisyah menggambarkan minimnya akses pendidikan untuk penyandang disabilitas. Film karya sutradara Ahmad Syafi’i Nur Illahi ini berkisah tentang Aisyah, 16 tahun, siswi tunarungu sekolah luar biasa (SLB) di Sumbawa. Dia memiliki bakat di bidang seni tari. Aisyah terus memperjuangkan bakatnya dan keinginan untuk mengenyam pendidikan seperti anak lainnya.
Muhammad Ismail menyebutkan film Aisyah menggambarkan masih kurangnya akses pendidikan untuk penyandang disabilitas. Di Sumbawa, Ismail mengatakan hanya ada satu sekolah menengah pertama yang inklusif. Jarak sekolah tersebut juga jauh dari jangkauan penyandang disabilitas. "Dari film itu, saya berharap pemerintah terketuk dan punya perhatian," kata dia.
Film-film yang diputar berdasarkan realitas difabel itu ingin menggugah pemerintah dan masyarakat agar punya kepedulian lebih terhadap isu-isu disabilitas dan kesadaran akan inklusivitas. Sutradara punya pengalaman masing-masing dalam membuat film-film tersebut. Film yang mereka buat sekaligus sebagai upaya untuk memahami kebutuhan para difabel.
Riani Singgih, sutradara film Alun, misalnya, berkisah, dia mulai menggarap film itu dengan berusaha memahami dunia Isro, penari tuli dalam film tersebut. Riani juga belajar bahasa isyarat untuk pemula agar bisa berkomunikasi sedikit-sedikit dengan Isro. Usahanya untuk belajar bahasa isyarat ini ia maknai sebagai upaya untuk mencapai inklusivitas. "Pendekatan inklusivitas itu membuat Isto menjadi lebih terbuka," kata dia.
Adapun sutradara film Menjadi Teman, Aji Kusuma, mengatakan penggarapan film itu membuatnya berusaha menjadi inklusif. Ia harus melakukan pendekatan yang sabar untuk bisa berinteraksi dengan anak berkebutuhan khusus, Atika Zahra, siswa kelas V Madrasah Ibtidaiyah (MI) Inklusi Keji, Ungaran Barat, Jawa Tengah. Film ini memotret realitas, jauh dari rekayasa. Ia melakukan riset, menaruh kamera di sekitar subyek film, dan menjaga jarak dengannya.
Diskusi ini menyinggung beragam stigma yang dialami penyandang disabilitas, salah satunya dianggap tidak berguna, juga bullying, hinaan, hingga halangan menjadi inklusif dan setara.
SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo