Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Melihat islam dalam peradaban

Bandung: pustaka, 1987 resensi oleh: julizar kasiri.

19 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASA DEPAN ISLAM Oleh: Ziauddin Sardar Penerbit: Pustaka, Bandung, 1987, 401 halaman (dan indeks) DOKTOR Ziauddin Sardar, pengarang buku ini, bukanlah dari kalangan tradisionalis, yang selalu menggambarkan Islam sebagai jalan hidup yang sempurna, tanpa menyentuh semua aspek kehidupan. Dan bukan pula dari kalangan modernis, yang senang mengkaji Islam dengan batasan-batasan: kesalehan pribadi, iman, dan rilus. Tetapi, ia adalah salah seorang dari mereka yang memandang Islam sebagai sebuah peradaban. Sebagai seorang futuris mungkin satu-satunya di kalangan Islam saat ini -- Sardar bukan seperti cendekiawan Muslim lainnya, yang juga berbicara tentang Islam sebagai sebuah peradaban, membatasi diri pada peradaban masa lampau, tanpa pernah menyorot peradaban masa kini dan masa depan. Lebih lagi, perhatian mereka hanya terfokus pada aspek-aspek Islam yang sudah jelas seperti: etika, iman, fiqh, dan filsafat skolastik yang telah mandek itu. Tidak demikian dengan Sardar. Bagi konsultan pada Lembaga Riset Haji di Jeddah ini, masa lalu dan masa kini mempunyai kaitannya dengan masa depan. Dengan melakukan analisa terhadap pengalaman-pengalaman masa lalu, dan menginventarisasikan masalah-masalah masa kini, masa depan peradaban Islam dapat direncanakan. Tentu bukan berarti bahwa dalam buku ini kita temukan suatu kesimpulan tentang bentuk peradaban Islam masa depan. Tidak demikian. Sebab, seperti yang diungkapkannya dalam bukunya yang lain, The Future of Muslim Civilization, kajian masa depan yang dilakukannya itu bukanlah untuk memproduksi masa depan, seperti yang diduga banyak orang. Kajiannya ini dilakukan untuk menyelidiki alternatif-alternatif yang bisa diwujudkan di masa depan, yang timbul sebagai akibat keputusan-keputusan dan sikap-sikap masa kini. Mungkin di sini persamaannya dengan Alvin Toffler, pengarang Future Shock yang terkenal itu -- dan mereka pernah bertemu dalam suatu perdebatan di layar TV di Washington, D.C. Mereka berdua bukanlah peramal masa depan seperti Orakel Delphi. Tapi mereka adalah dari kelompok futuris yang menghabiskan banyak waktunya untuk mempelajari masa kini, menyarankan berbagai pilihan, menunjukkan risiko bila suatu keputusan tidak diperhatikan, dan sedikit ramalan. Dan perbedaannya, Toffler melakukan kajian masa depannya didasarkan pada pandangan khalayak dunia, tetapi Sardar melihat menurut pandangan dunia Islam. Pandangan dunia Islam, yang dimaksud Sardar, terdiri atas prinsip-prinsip dasar dan konsep-konsep kunci peradaban yang terdapat dalam Quran dan Sunah. Prinsip-prinsip dasar yang dimaksud adalah kesalingimbangan, kesalingterikatan, dan pembagian kembali -- yang merupakan dasar seluruh sistem perkembangan alam. Dan ini berfungsi membentuk aturan-aturan umum dalam peri laku dan menetapkan batasan-batasan umum, ditempat mana peradaban Islam tumbuh dan berkembang. Sedangkan susunan konseptual, yang merupakan ladang bagi pencarian alternatif-alternatif masa depan, bertindak sebagai ukuran bagi keislaman dari suatu perkembangan, dan juga bertindak sebagai dasar untuk menjelaskan pandangan dunia Islam. Salah satu ciri yang menarik dari pandangan dunia Islam ini adalah bahwa ia mengetengahkan suatu pandangan interaktif dan terpadu. Setiap konsep -- lebih dari seratus buah konsep kunci peradaban yang disarikan Sardar dari Quran dan Sunah -- mempunyai hubungan satu sama lain dan tidak bersifat unidisipliner. Artinya, satu konsep tak hanya mempunyai relevansi dengan satu disiplin ilmu, melainkan dapat diterapkan untuk semua disiplin. Oleh karena itu, suatu pemahaman masa kini terhadap satu konsep, katakanlah misalnya istishlah (kepentingan umum), akan menuntun kita pada suatu pemahaman teoretis terhadap ekonomi, sains, teknologi, lingkungan, dan politik. Dalam bentuk nyata peradaban -- politik, sosial, ekonomi, sains, teknologi, dan lingkungan -- pandangan dunia Islam diwakili oleh epistimologi Islam dan syariah, dan itu masing-masing berperan memberikan dasar teoretis dan sains pedoman metodologi bagi peradaban Islam. Peranan epistimologi modern yang berlaku selama ini, yang selalu menolak pertimbangan "nilai" dalam pencarian pengetahuan, tidak mungkin diharapkan lagi. Ia telah memperlakukan obyek pencariannya sebagai benda semata yang dapat diperas, dimanipulasi, dan dihancurkan atas nama sains. Akibatnya, timbul krisis ekologi, misalnya. Karena itu, perlu dikembangkan suatu epistimologi Islam masa kini yang pragmatis. Yaitu mengangkat kembali dan diberi bentuk modern karya-karya sarjana Muslim klasik seperti: al-Ghazali, al-Biruni, al-Farabi, yang telah meletakkan fondasi kuat bagi epistimologi Islam praktis. Ini merupakan tugas paling mendesak bagi sarjana Muslim saat ini. Seperti epistimoloi Islam, syariah juga merupakan suatu pemikiran pragmatis yang menyentuh setiap aspek kehidupan masyarakat Muslim. Dia adalah hukum dan etika yang dijadikan satu. Dalam kaitan ini, Sardar tak berbicara tentang syariah yang berkaitan dengan doa dan ritus, hubungan pribadi dan masyarakat, perkawinan dan perceraian, dan sebagainya -- karena soal itu semua sudah ditangani secara mengagumkan oleh Imam Ja'afari, Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Tapi, yang diperlukan adalah perluasan syariah kepada bidang-bidang masa kini yaitu perencanaan lingkungan dan perkotaan, kebijaksanaan pelaksanaan sains dan teknologi, dan lain-lain. Untuk itu diperlukan pemahaman syariah yang mendalam dan terinci untuk masa kinl dan masa depan. Tanpa ini, kata Sardar, janganlah diharapkan masyarakat Muslim mampu memecahkan masalah-masalah lokal, nasional, dan internasional. Mengapa masa depan Islam? Tampaknya di samping faktor-faktor luar yang berpengaruh pada ummah, yang mendorong Sardar melakukan kajian masa depan adalah ajaran Islam itu sendiri. Quran, katanya, telah mncul sebagai Kitab Petunjuk, yang mempengaruhi tindakan-tindakan individual dan sosial masa kini untuk membentuk masa depan tertentu. Ini dipraktekkan dengan baik oleh Umar bin Chatab, sewaktu ia khalifah, dalam menghadapi kasus tanah Sawad di Irak. Ia menolak permintaan kaum Muslimin yang baru saja menaklukkan tanah itu, lalu minta dibagi sebagai harta rampasan perang (ghanimah). Tentu saja hal ini bertentangan dengan yang pernah dilakukan Nabi sebelumnya ketika menghadapi kabilah-kabilah Arab. Tetapi, pertimbangan Umar, bagaimana nasib generasi Muslim berikutnya apabila semua tanah yang menjadi sumber hidupnya dibagikan kepada sekelompok orang. Sayangnya, contoh ini tak berlanjut di kalangan sebagian besar umat Islam. Akibatnya, timbul kemandekan pada peradaban Islam pada berapa abad terakhir. Barulah pada abad ke-20 ini dimulai oleh Muhammad Iqbal, melalui karyanya The Reconstruction of Thought in Islam, diletakkannya dasar bagi kajian masa depan peradaban Islam. Setelah itu, muncul lagi para sarjana Muslim yang melakukan kajian masa depan Islam -- walau karya mereka itu baru terbatas dalam bentuk artikel, dan belum ada kerangka pemikiran futuristik sama sekali seperti karya Sardar ini. Tetapi terlepas dari kekurangannya, usaha ini memberi indikasi kcpada kita bahwa telah tumbuh kesadaran akan masa depan, di kalangan cendekiawan muslim. Di tengah hangatnya orang berbicara tentang reaktualisasi ajaran Islam, yang terbatas pada masalah fiqh, Sardar lewat buku ini, dan karyanya yang lain, sebenarnya melangkah lebih jauh dari hanya soal itu. Ia berbicara tentang sesuatu yang mendasar yang diperlukan masyarakat Islam saat ini dan masa depan. Misalnya: epistimologi Islam, sains dan teknologi Islam, ekonomi Islam, lingkungan Islam, dan syariah sebagai suatu metodologi pemecahan terpadu terhadap masalah-masalah. Dan itulah yang ia ungkapkan dalam buku Masa Depan Islam. Tentu usaha besar ini tak bisa ditangani sendiri oleh Sardar, karena di dalamnya tersangkut banyak bidang ilmu. Maka, diperlukan sarjana-sarjana dari berbagai disiplin. Dan keberhasilan itu, akhirnya, juga terpulang kepada ummah. Julizar Kasiri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus