Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Mempertahankan Sebuah Pesta Sinema

Jiffest nyaris gagal digelar tahun ini karena kekurangan dana. Masyarakat turun tangan dengan memberikan sumbangan hingga Rp 200 juta.

6 Desember 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pring reketeg gunung gamping
ambrol
Ati kudu teteg ja nganti urip ketakol
Pring reketeg gunung gamping
ambrol
Uripa sing jejeg nek ra eling jebol

PUISI Ngelmu Pring karya Sindhunata itu berubah jadi salakan-salakan mengentak di panggung yang dibawakan sepasang pemuda yang bergabung dalam Rotra, kelompok hip-hop terkenal Yogyakarta. Potongan aksi mereka itu melintas dalam film dokumenter Hiphopdiningrat karya Mohammad Marzuki dan Chandra Hutagaol yang diputar perdana di arena Jakarta International Film Festival (Jiffest).

Seluruh 186 kursi di studio Audi 7 Blitzmegaplex, Pacific Place, itu penuh dengan penonton saat film ini diputar pada Ahad pekan lalu. Tawa dan seruan senang penonton mewarnai pemutaran film itu, yang dalam waktu dekat akan diputar pula di festival film dokumenter New York, Amerika Serikat. ”Alasan saya membuat film ini sederhana saja: saya punya banyak footage-nya,” kata Kill The DJ, nama panggung Marzuki.

Selain memutar film tersebut, Jiffest ke-12 ini memutar secara perdana lima film Indonesia, yakni Jakarta Maghrib karya sutradara Salman Aristo, Belkibolang karya sembilan sutradara, Di Ujung Jalan karya Tony Trimarsanto, KickStart! Palu karya empat sutradara, dan Working Girls karya lima sutradara. Bahkan Forever, film dari Singapura karya Wee Li Lin, diputar perdana secara bersamaan di Indonesia dan Festival Film Kairo. Jumlah film yang diputar perdana ini lebih banyak daripada tahun lalu, yang cuma satu film, tapi sedikit di bawah festival 2008.

Hampir semua film yang diputar di dua layar di Blitz dan satu layar di Kineforum, Taman Ismail Marzuki, itu dipadati penonton. Tiket beberapa judul film bahkan sudah habis terjual sebelum hari pertunjukan, seperti Waiting for ”Superman” karya Davis Guggenheim, yang jadi film pembuka festival, The Wedding Photographer karya Ulf Malmros, dan When We Leave karya Feo Aladag.

Namun, sebelum pesta perfilman ini digelar, kecemasan sempat hinggap di pundak panitia tetap festival. Satu setengah bulan sebelumnya, tepatnya pada 14 Oktober, dua direktur festival, Lalu Roisamri dan Nauval Yazid, menggelar konferensi pers di Galeri Cipta 3, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Mereka mengumumkan bahwa festival film tahun ini terancam batal karena kurangnya dana. Saat itu panitia baru mengantongi dana Rp 1 miliar dari sekitar Rp 2,5 miliar yang dibutuhkan.

Hal ini bermula dari berhentinya Hivos, organisasi Belanda yang memberikan dukungan keuangan untuk berbagai kegiatan kemanusiaan di seluruh dunia, sebagai sponsor utama kegiatan ini. Sejak festival pertama kali digelar pada 1999, Hivos telah membantu melalui Yayasan Mitra Mandiri Film Indonesia. Kini Hivos tetap mendukung festival ini, tapi tak lagi menjadi penaja utama, sehingga panitia harus mencari pendukung baru dan sumber pendanaan lain.

Upaya panitia meminta bantuan ke pemerintah DKI Jakarta dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata membentur dinding. Maka untuk pertama kalinya Jiffest menggalang dana publik dengan membuka rekening yang menerima donasi dari siapa pun. ”Sebuah festival bisa bertahan lebih dari satu dekade berkat dukungan para penonton dan pendukung setianya, yaitu Anda semua,” kata panitia.

Penggalangan dana masyarakat semacam ini bukan hal baru di dunia film. Yang terkenal adalah langkah pembuat film dokumenter Inggris, Franny Armstrong, yang menggalang dana lebih dari US$ 815 ribu atau Rp 7,6 miliar pada 2008 untuk membiayai pembuatan The Age of Stupid, film futuristik tentang bencana alam akibat perubahan iklim. Orang yang menyumbangkan US$ 35 akan dicantumkan di situs film tersebut dan yang memberikan US$ 9.000 atau lebih akan memperoleh persentase keuntungan—jika ada. Film itu diputar perdana serentak di 62 bioskop Inggris pada Maret 2009 melalui jaringan satelit. ”Penggalangan dana kami belum sejauh itu. Para donatur saat ini betul-betul menyumbang secara sukarela tanpa imbalan tertentu. Tapi kami sudah memikirkan bahwa nantinya perlu ada semacam imbalan bagi mereka,” kata Lalu.

Sekitar 100 orang dari media dan para pelaku industri film hadir untuk memberikan dukungan kepada Jiffest di hari itu. Artis senior Jajang C. Noer menilai festival itu sudah punya nama di kancah perfilman dunia. ”Acara ini sudah prestisius. Sayang kalau enggak bisa tampil tahun ini,” katanya. Gelombang dukungan juga berdatangan dari pengguna Facebook, Twitter, dan jejaring media sosial lain. Seruan ”mari selamatkan Jiffest” beredar secara beranting. ”Mari menyumbang! Biar bisa dengar kata ’sampai jumpa’ di Jiffest 2010,” tulis seorang pengguna di komunitas online Kaskus.

Ketua Yayasan Kelola, Linda Hoemar Abidin, menyatakan baik pemerintah maupun perusahaan swasta masih menganggap kegiatan budaya sebagai hal yang tak menarik, padahal festival ini menjadi panutan publik film di Indonesia, bahkan di kancah internasional. ”Untung masih ada kawan-kawan yang menyokong pendanaan bagi Jiffest, dan ini sangat mengharukan,” katanya.

Masyarakat rupanya tak ingin festival yang didirikan Shanty Harmayn dan Natacha Devillers ini bangkrut. Pada hari itu, dana yang terkumpul mencapai sekitar Rp 14,5 juta. Keesokan harinya, tambahan sekitar Rp 55,5 juta masuk rekening panitia, dan sumbangan terus mengalir hingga akhirnya mencapai sekitar Rp 200 juta dari sekitar 180 donatur sebelum hari penyelenggaraan.

Para penyumbang itu berasal dari berbagai kalangan, dari sineas, budayawan, mahasiswa, hingga perusahaan. Sumbangan yang masuk juga beragam nilainya, dari Rp 10 ribu hingga Rp 50 juta. Sebagai ucapan terima kasih, panitia menampilkan daftar ”Sahabat Jiffest” itu di buku panduan dan menayangkannya di layar sebelum film dimulai. ”Dukungan masyarakat dengan menonton film kami dan sumbangan dana mereka membuat kami yakin bahwa festival ini patut dipertahankan,” kata Lalu.

Namun jumlah itu jelas belum cukup. Panitia sudah siap-siap mengumumkan jadi-tidaknya festival tahun ini pada 1 November. Meski masih harap-harap cemas, mereka terus menjajaki calon-calon sponsor yang dapat mendukung. Angin segar bertiup ketika Nokia berminat menjadi penaja acara ini. Panitia pun menunda pengumuman karena perundingan dengan Nokia dilakukan pada 2 November. ”Saat itu kami sudah siap. Bila festival ini batal, semua sumbangan dari masyarakat akan kami kembalikan,” ujar Lalu.

Perundingan berakhir melegakan. Nokia setuju menjadi sponsor utama. Pada 10 November, panitia pun secara resmi menyatakan festival tetap digelar. Tahun ini Jiffest memutar 91 film dari 33 negara selama 11 hari dengan kegiatan pendukung seperti lokakarya dan seminar di Binus International University.

Jumlah film yang diputar sekarang memang sedikit di bawah film dalam festival tahun lalu, yang berjumlah 114 film, bahkan kurang dari separuh dibanding 230 film yang diputar pada 2006, film terbanyak sepanjang sejarah Jiffest. Menurut Lalu, dalam beberapa hal, besarnya anggaran agaknya berbanding lurus dengan banyaknya penonton yang datang. ”Pada 2006, kami memang punya dana Rp 5 miliar dan penontonnya mencapai 60 ribu lebih. Tahun ini, anggarannya sama dengan tahun lalu, sebesar Rp 2,5 miliar, dan jumlah penontonnya juga diperkirakan akan sama dengan tahun lalu, yakni sekitar 20 ribu orang,” katanya.

Sebagian film itu, khususnya film-film Indonesia, mengangkat tema masyarakat perkotaan. Film Hiphopdiningrat, misalnya, mengungkap bagaimana musik hip-hop mempengaruhi dan juga dipengaruhi budaya lokal. Adapun Belkibolang merupakan kompilasi sembilan film pendek karya sembilan sutradara yang mengangkat sisi lain dari gemerlap Jakarta, seperti kisah sopir taksi di malam tahun baru, perempuan yang menipu tukang ojek, dan seorang gadis tukang ojek payung.

Film dokumenter Working Girls (Perempuan Pencari Nafkah) juga berbicara secara lain. Film ini merupakan gabungan tiga film pendek yang mengangkat kisah perempuan-perempuan yang membawa perubahan di lingkungan mereka. Dalam 5 Menit Lagi Ah Ah Ah, sutradara Sammaria Simanjuntak dan Sally Anom Sari memperkenalkan Ayu Riana, gadis yang pada usia 14 tahun sudah memenangi kontes idola dangdut di televisi nasional dan menjadi tumpuan keluarganya. Yosep Anggi Noen merekam kehidupan para perempuan pemain ketoprak dalam Asal Tak Ada Angin. Adapun Nitta Nazyra C. Noer dan Daud Sumolang mengikuti perjalanan Ulfie, waria asal Aceh yang berusaha menyadarkan warga kampungnya tentang bahaya HIV/AIDS, dalam Ulfie Pulang Kampung.

Sejumlah film asing mengangkat tema besar serupa. Kita dibawa memasuki sudut-sudut kota di berbagai penjuru dunia dengan isu masing-masing. Film dokumenter Waiting for ”Superman”, misalnya, mengangkat ironi yang dialami Amerika Serikat. Davis Guggenheim, sutradara An Inconvenient Truth, menunjukkan bagaimana negara adidaya itu ternyata tak mampu menangani masalah pendidikan di sekolah negeri dengan rendahnya tingkat kemampuan membaca para pelajar, bahkan di jantung negeri itu, Washington.

Adapun film cerita Outrage karya Takeshi Kitano membeberkan lingkaran kejahatan di kalangan mafia Jepang. When We Leave karya Feo Aladag menampilkan Umay, perempuan muslim asal Turki yang mencoba hidup mandiri di Jerman bersama Cem, putranya. Film Aladag ini menguraikan bagaimana orang Turki di Jerman tetap mempertahankan budaya leluhurnya dan dalam satu segi bertentangan dengan kehidupan modern Barat. Umay kabur dari siksaan suaminya dan berharap mendapat perlindungan keluarganya, tapi keluarganya justru menganggap Umay telah mencoreng kehormatan keluarga dan harus dieksekusi.

Film-film Jiffest tahun ini masih menarik dan berbobot seperti tahun-tahun sebelumnya. Festival ini tetap akan menjadi oasis bagi para pencinta film yang mencari tontonan bermutu di luar dominasi film-film hiburan yang menyesaki bioskop. Film-filmnya, khususnya film dokumenter, masih menunjukkan semangat yang sama, yakni merayakan keragaman dari berbagai aspek.

Namun ancaman kegagalan festival tahun ini merupakan lonceng peringatan keras bagi para pencinta film dan panitia untuk menempuh cara-cara baru guna mempertahankannya. Lalu Roisamri menuturkan panitia sebenarnya telah menjajal beberapa jalur alternatif pemasukan, seperti mendirikan PT Sinema Mandiri Tanimbar, yang mendistribusikan sejumlah film asing pilihan ke bioskop, dan mempertimbangkan pergelaran sejumlah festival film dalam skala lebih kecil di luar Jiffest. Mereka juga sedang mengkaji kemungkinan memutar film-film festival di kanal televisi kabel dan layanan telepon seluler. ”Sepanjang masyarakat masih mendukung, kami optimistis untuk mempertahankan festival ini,” katanya.

Kurniawan, Dwidjo U. Maksum

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus