PERTEMUAN WARNA
Penata Tari: Bagong Kussudiardjo
Produksi: Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardjo.
YANG istimewa pada Bagong Kussudiardjo, ia sering menemukan
gerak yang enak ditarikan. Tapi kedalaman rasa dan kepekatan
citranya berbeda-beda. Agaknya itu tergantung temanya,
tergantung kepaduannya dengan musik dan kelihatannya juga
tergantung pada suasana batinnya.
Kali ini, dalam Pertemuan Warna di Teater Arena TIM, 19 dan 20
Mei, ia memperlihatkan semacam ketenteraman. Dan bertolak dari
itu ia menemukan bentuk-bentuk gerak dan suara yang seperti
lahir dengan sendirinya.
Panggung remang-remang. Sukmawati Sukarno, dengan rambut
terurai, menari pelan, mengangkat pedupaan. Ia mendekat dan
mengelilingi sapu lidi besar yang terpancang di tengah pentas.
Pedupaan, diletakkan, dan selesailah bagian pembukaan itu. Baru
kemudian sentakan komposisi Pertemuan Warna dimulai. Suatu
sentakan yang tidak lazim: pembacaan kidung dilakukan bersama
dengan pocapan, penuturan berirama seperti yang dilakukan dalang.
Kedua sumber suara itu bercerita dengan temperamen berbeda.
Terasa sedikit berdesakan, tetapi tidak mengganggu. Sementara itu
sesosok penari dengan rambut terurai dan dandanan bersih bergerak
dengan hening.
Komposisi tari ini berlangsung sekitar satu setengah jam. Bagong
sendiri menciptakan tari maupun musiknya. Dan musik itu, terasa
mempunyai kadar intensitas sama dengan tarinya -- tidak
memberati dan juga tidak tertatih-tatih di belakang. Ansambelnya
pun unik beberapa pencon bonang, sebuah beri besar, gender,
seruling besar, rebab, gong kemodong, seuntai klintingan,
sejumlah kotekan bambu, sejumlah kendang, dan suara-suara vokal.
Suatu saat pentas gelap. Muncul suara anak perempuan, agak
serak, meneriakkan emak. Hampir dua menit suara panggilan itu
diulang-ulang: mengeras dan menuntut, atau putus asa. Dan pentas
itu gelap terus, tapi suara tidak terputus.
Sekelompok penari laki-laki enam orang dengan dada terbuka dan
berkain sederhana, menarikan watak kambeng (putra gagah-tangguh)
dalam ritme yang padu pekat, meskipun tak sedenting suara pun
mengiringi tarian mereka.
Kelompok ini pada bagian-bagian selanjutnya menampilkan pula
jenis gerak yang berlainan, tak terbatas pada perbendaharaan
gerak tari Jawa. Dalam posisi duduk seluruh tubuh dan lengan
diayunkan ke depan. Lalu telapak tangan berjingkat, dibalik,
ditekuk dan berpapasan. Ada sedikit rasa Janger pada bagian ini,
tetapi tak hanya itu.
Pada bagian lain, mereka menari ringan, berputar di arena.
Langkah-langkah gontai, kadang disendat, ditegur oleh bunyi
jentakan jari tangan mereka.
Pada bagian lain lagi, kelompok pria ini merupakan suatu satuan
ketat, menghadapi tokoh wanita perkasa pembawa tongkat tinggi.
Atau mereka melingkar bertautan lengan seperti pagar yang amat
kuat.
Nusyawati, penari perempuan itu, dengan tongkatnya yang berhias
topeng kecil, rumbai-rumbai dan klintingan, menarikan
gerak-gerak yang mengisyaratkan kekerasan, kekuatan dan
kegarangan. Sangat menarik perpaduan geraknya dengan gerak
penari wanita yang selalu mengiringkannya, yang ditarikan
Ruliati: selalu membayangi, membuntuti atau mengelilingi sang
pembawa tongkat.
Terenggut Jatuh
Geraknya aneh. Menimbulkan rasa ngeri. Sambil jalan atau lari
berjingkat cepat, ia menggetarkan pundaknya. Rambutnya yang amat
keriting dijuraikan ke atas. Dan bila ia berbaring di lantai,
geraknya penuh kerut dan ketegangan.
Pada satu saat ia terenggut jatuh, dikerumuni penari-penari
lelaki. Mereka menyobek betisnya, mengupas lengannya, dan
seperti mau memakannya.
Ada satu peran lagi yang merupakan bagian komposisi panjang ini:
seorang anak perempuan, yang dandanan maupun tariannya
melambangkan kemurnian dan kejernihan. Kelenaannya yang gembira
dipertentangkan dengan kemarahan dan kekuasaan yang digambarkan
tokoh wanita perkasa.
Sayang, keasyikan Bagong mencari dan menemukan ini terasa rusak
karella bagian akhir yang bermaksud dramatis. Tokoh 'baik'
menang dan dipuja, tokoh 'jahat' terlempar dan minta ampun.
Dengan potensi menciptakan gambar-gambar baru yang ada pada
Bagong, sebenarnya tidak perlu lagi memakai gambaran klise yang
hitam-putih.
Edi Sedyawati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini