Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Berita Tempo Plus

Mencari menemukan dan hitam-putih

Penata tari: bagong kussudiardjo produksi: pusat latihan tari bagong kussudiardjo resensi oleh: edy sedyawati.

31 Mei 1980 | 00.00 WIB

Mencari menemukan dan hitam-putih
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PERTEMUAN WARNA Penata Tari: Bagong Kussudiardjo Produksi: Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardjo. YANG istimewa pada Bagong Kussudiardjo, ia sering menemukan gerak yang enak ditarikan. Tapi kedalaman rasa dan kepekatan citranya berbeda-beda. Agaknya itu tergantung temanya, tergantung kepaduannya dengan musik dan kelihatannya juga tergantung pada suasana batinnya. Kali ini, dalam Pertemuan Warna di Teater Arena TIM, 19 dan 20 Mei, ia memperlihatkan semacam ketenteraman. Dan bertolak dari itu ia menemukan bentuk-bentuk gerak dan suara yang seperti lahir dengan sendirinya. Panggung remang-remang. Sukmawati Sukarno, dengan rambut terurai, menari pelan, mengangkat pedupaan. Ia mendekat dan mengelilingi sapu lidi besar yang terpancang di tengah pentas. Pedupaan, diletakkan, dan selesailah bagian pembukaan itu. Baru kemudian sentakan komposisi Pertemuan Warna dimulai. Suatu sentakan yang tidak lazim: pembacaan kidung dilakukan bersama dengan pocapan, penuturan berirama seperti yang dilakukan dalang. Kedua sumber suara itu bercerita dengan temperamen berbeda. Terasa sedikit berdesakan, tetapi tidak mengganggu. Sementara itu sesosok penari dengan rambut terurai dan dandanan bersih bergerak dengan hening. Komposisi tari ini berlangsung sekitar satu setengah jam. Bagong sendiri menciptakan tari maupun musiknya. Dan musik itu, terasa mempunyai kadar intensitas sama dengan tarinya -- tidak memberati dan juga tidak tertatih-tatih di belakang. Ansambelnya pun unik beberapa pencon bonang, sebuah beri besar, gender, seruling besar, rebab, gong kemodong, seuntai klintingan, sejumlah kotekan bambu, sejumlah kendang, dan suara-suara vokal. Suatu saat pentas gelap. Muncul suara anak perempuan, agak serak, meneriakkan emak. Hampir dua menit suara panggilan itu diulang-ulang: mengeras dan menuntut, atau putus asa. Dan pentas itu gelap terus, tapi suara tidak terputus. Sekelompok penari laki-laki enam orang dengan dada terbuka dan berkain sederhana, menarikan watak kambeng (putra gagah-tangguh) dalam ritme yang padu pekat, meskipun tak sedenting suara pun mengiringi tarian mereka. Kelompok ini pada bagian-bagian selanjutnya menampilkan pula jenis gerak yang berlainan, tak terbatas pada perbendaharaan gerak tari Jawa. Dalam posisi duduk seluruh tubuh dan lengan diayunkan ke depan. Lalu telapak tangan berjingkat, dibalik, ditekuk dan berpapasan. Ada sedikit rasa Janger pada bagian ini, tetapi tak hanya itu. Pada bagian lain, mereka menari ringan, berputar di arena. Langkah-langkah gontai, kadang disendat, ditegur oleh bunyi jentakan jari tangan mereka. Pada bagian lain lagi, kelompok pria ini merupakan suatu satuan ketat, menghadapi tokoh wanita perkasa pembawa tongkat tinggi. Atau mereka melingkar bertautan lengan seperti pagar yang amat kuat. Nusyawati, penari perempuan itu, dengan tongkatnya yang berhias topeng kecil, rumbai-rumbai dan klintingan, menarikan gerak-gerak yang mengisyaratkan kekerasan, kekuatan dan kegarangan. Sangat menarik perpaduan geraknya dengan gerak penari wanita yang selalu mengiringkannya, yang ditarikan Ruliati: selalu membayangi, membuntuti atau mengelilingi sang pembawa tongkat. Terenggut Jatuh Geraknya aneh. Menimbulkan rasa ngeri. Sambil jalan atau lari berjingkat cepat, ia menggetarkan pundaknya. Rambutnya yang amat keriting dijuraikan ke atas. Dan bila ia berbaring di lantai, geraknya penuh kerut dan ketegangan. Pada satu saat ia terenggut jatuh, dikerumuni penari-penari lelaki. Mereka menyobek betisnya, mengupas lengannya, dan seperti mau memakannya. Ada satu peran lagi yang merupakan bagian komposisi panjang ini: seorang anak perempuan, yang dandanan maupun tariannya melambangkan kemurnian dan kejernihan. Kelenaannya yang gembira dipertentangkan dengan kemarahan dan kekuasaan yang digambarkan tokoh wanita perkasa. Sayang, keasyikan Bagong mencari dan menemukan ini terasa rusak karella bagian akhir yang bermaksud dramatis. Tokoh 'baik' menang dan dipuja, tokoh 'jahat' terlempar dan minta ampun. Dengan potensi menciptakan gambar-gambar baru yang ada pada Bagong, sebenarnya tidak perlu lagi memakai gambaran klise yang hitam-putih. Edi Sedyawati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus