PAINTED WAVES OF LOVE
Sutradara: Lie Sing
***
FILM Mandarin yang masuk di Indonesia dan dipandang dengan tak
enak oleh orang film dan para pejabat -- sekarang ini berasal
dari Hongkong dan Taiwan. Kerja sama antara kedua pusat
pembikinan film berbahasa Cina itu bukan jarang terjadi, tapi
ciri khas Taiwan dan Hongkong sering kali masih tetap bisa
dilihat. PaRa aHli film Mandarin pada umumnya cenderung melihat
Hongkong sebagai pusat film-film produksi massal yang
menyebarkan perkelahian Kung Fu, sedang Taiwan banyak
menghasilkan film-film yang lebih bermutu. Hongkong memiliki
sutradara-sutradara yang ahli dalam film action, sedang Taiwan
mempunyai sejumlah sutradara yang lihay dalam membuat film-film
drama.
Diukur dengan kaca mata Asia, film-film buatan Taiwan itu
barangkali cuma dlatasi oleh film-film buatan Jepang dahulu.ÿ20
Bahkan sebuah film Taiwan, Touch of Zen, tahun silam berhasil
menggondol sebuah piala di festival film di Cannes.
Maka agaknya menarik untuk melihat film dari sana, yang biasanya
pola ceritanya tak banyak beda dengan kita -- bahkan terkadang
lebih konyol, meskipun teknik lebih baik. Kali ini karya Ue Sing,
yang filmnya pernah diputar Kineklub, bulan lalu, dan mendapat
sambutan hangat para kritisi dan penggemar: Execution in tbe
Autumn.
Penjara
Dalam film Execution in the Autumn, tokoh wanitanya menyediakan
diri untuk kawin dengan cucu orang yang memeliharanya demi
kelanjutan keturunan. Orang yang dikawininya itu adalah
pesakitan yang hanya menanti musim gugur -- musim dijatuhkannya
hukuman di Tiongkok -- untuk mengakhiri hidupnya. Seluruh
hubungan suami isteri mereka berlangsung dalam kamar penjara
yang sempit dan apek dalam bulan-bulan menjelang datangnya maut
bagi sang suami.
Painted Waves of Love adalah film terbaru Lie Sing yang memasuki
pasaran Indonesia. Sutradara terkemuka Taiwan ini kali ini pun
tampil dengan kebiasaan lamanya. Tokoh utama film ini adalah
pelukis yang telah jadi janda (Lle Siang). Ia hidup dari
lukisannya, dan bersama dia ikut pula keponakannya, seorang
gadis (Lin Fung Chiao) yang pernah terlibat permainan sex, hamil
dan menggugurkan pada usia 16 tahun. Cerita mendapatkan
bentuknya ketika janda bertemu dengan pemilik toko barang-barang
kesenian (Kho Chun Siung). Lelaki kaya usia empat puluhan ini
kebetulan pula dekat dengan kesepian, sebab meskipun mempunyai
keluarga -- dengan dua anak yang menjelang dewasa -- isteri yang
mendampinginya cuma sibuk dengan kartu ceki dengan
kawan-kawannya.
Tidak mengherankan jika pemilik toko. yang rada seniman --
pengagum lukisan sang janda -- kemudian bersibuk dengan janda
manis itu. Cerita jadi lebih berbelit-belit oleh terlibatnya
keponakan sang janda dengan putera si pemilik toko. Bukan cuma
itu. Anak gadis si pemilik toko tersangkut pula permainan cinta
dengan seorang oknum yang sehari-harinya montir mobil yang
berbakat sastra. Bisa dibayangkan betapa kacau-balaunya fikiran
isteri sang pemilik toko ketika ia mengetahui ini fasal.
Radikal
Namanya saja orang sedang jatuh cinta. Si pemilik toko bahkan
sudah siap menceraikan isterinya untuk kemudian kawin dengan
sang janda. Dan sebagai seorang yang rada seniman, radikalnya
bahkan tidak tanggung-tanggung. Kebiasaan masyarakat Tionghoa
yang mengutamakan menantu orang terpelajar -- artinya orang
sekolahan -- serta merta dilabraknya ketika ia mendukung
hubungan puterinya dengan si montir yang pengarang itu. Ia juga
bisa mengerti keadaan gadis keponakan pacarnya yang konon hamil
lantaran keinginan tahunya saja di usia muda.
Bagi perempuan macam isteri pemilik toko itu, keluarga adalah
segala-galanya, maka ia pun meraung mendengar putusan suaminya.
Segala pengakuan rasa bersalahnya -- lantaran cuma sibuk main
ceki dan membiarkan babu mengatur keluarga -- nyaris saja
menjadikan dirinya janda kedua yang muncul dalam film ini. Ada
juga ratapan puterinya ikut ambil peranan, tapi yang lebih
menentukan gagalnya perceraian itu adalah hati mulia janda yang
pelukis itu. Setelah memberi nasehat secukupnya kepada pemilik
toko, janda itu menghilang. Katanya ia akan ke Pilipina bersama
seorang saudagar kaya. Nyatanya ia cuma ke suatu pantai, itu pun
ketahuan oleh anak-anak muda yang cinta beramai-ramai itu
direstui oleh si pemilik toko.
Nah, si janda cantik itu telah berkorban. Ini memperlihatkan
kemuliaan hati seorang yang cantik. Dan para pelukis boleh
bangga (terutama yang perempuan), sebab meski pun jenis manusia
yang suka berseni-seni itu kabarnya amat egois, dalam film ini
ia digambarkan sebagai mahluk Tuhan yang terbilang boleh juga
fiilnya.
Tontonan Taiwan muncul dalam kisah sedikit ramai. Meski pun
muaranya satu, keterlibatan banyak orang dalam urusan
cinta-cintaan rasanya ada juga dirasa menyesakkan. Di layar
memang muncul gambar-gambar yang baik, lantaran permainan yang
terjaga dan penataan artistik (art directing) yang rapi.
Tapi itulah Banyak tokoh, dengan urusan yang serupa dari
keluarga yang sama, sehingga ini film kurang serapi karya Lie
Sing yang dulu dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini