SEKALIPUN kunjungan 5 hari PM Malcolm Fraser di Jakarta tak
menunjukkan kemajuan dalam soal Timor Timur, orang pertama
Australia itu ada juga menyampaikan keinginan negeri nya untuk
membeli minyak lagi dari Indonesia. Menurut Menteri Pertambangan
Dr Sadli, keinginan Australia untuk membeli minyak Caltex
(Minas) itu merupakan langkah pertama semenjak Australia sangat
mengurangi impor minyak dari Indonesia semenjak 1970. Adapun
yang ingin mereka beli sedikit sekali. "Sekitar 800 ribu barrel
setahun", kata Sadli pada TEMPO pekan lalu. "Tapi tak apalah,
ini baru langkah pertama untuk menghidupkan kembali ekspor
minyak kita ke sana".
Sebelum 1970, ekspor minyak dari Indonesia ke Australia setiap
tahun bernilai sekitar A$ 50 juta, hingga praktis mengisi 25%
kebutuhan minyak mentah mereka. Tapi tahun 1973 anjlok menjadi
A$ 1,4 juta atau sekitar 5% dari kebutuhan kilang-kilang di
Australia. Mengapa sampai Australia ingin membeli minyak lagi
dari Indonesia -- selain pertimbangan jarak dan kwalitas
--kabarnya disebabkan produksi minyak jenis ringan di Selat Bass
sudah merosot.
Bagi Indonesia, ekspor minyak ke Australia yang diperkirakan
akan menghasilkan A$ 10 juta itu, merupakan sekedar pelumas bagi
ketimpangan neraca perdagangan antara kedua negeri itu. Tahun
1975 - 1976, impor Indonesia dari Australia sudah mencapai AS$
203,2 juta: hampir 7 kali ekspor Indonesia ke Australia yang
selama tahun itu hanya mencapai AS$ 30,9 juta. Berbicara tentang
timpangnya neraca perdagangan Indonesia - Australia, bukan
semata-mata akibat kendornya ekspor ininyak ke sana. Tapi
setidaknya ada tiga faktor lain yang menunjang arus ekspor
Australia ke pasaran Indonesia: (1) proteksi pemerintah
Australia yang menyolok bagi para pengusaha dalam negeri, (2)
promosi ekspor dan investasi Australia ke Indonesia dan (3)
proteksi bagi industri yang menampung modal Australia itu di
Indonesia.
Paling Tinggi
Adapun yang pertama, proteksi dilakukan melalui tarif dan kwota
impor serta adanya politik dua harga bagi produksi pertanian,
kilang minyak, industri mobil dan industri logam Australia. Tak
mengherankan jika baru-baru ini beberapa pejabat perdagangan di
kawasan ASEAN menyebut tarif yang dipasang Australia itu
"termasuk paling tinggi di antara negara maju, khususnya bagi
hasil industri padat karya dari negeri berkembang". Adapun
promosi ekspor dan investasi Australia -- yang ditopang oleh
bantuan pangan dalam rangka IGGI (gandum) -- juga menikmati
asuransi oleh EPIC (Export Payments Insurance Corporation)
dan bantuan modal untuk Dairy Industry Stabilization und
sebanyak A$ 1,2 juta untuk pendirian pabrik susu Indomilk di
Jakarta.
Khusus menyangkut EPIC, jaminan bagi investasi Australia di luar
negeri hanya dapat diberikan jika 65% dari investasi itu adalah
buatan Australia. Sedang faktor ketiga, contohnya adalah
monopoli impor gandum oleh Bulog yang merupakan proteksi bagi
pabrik-pabrik terigu di Indonesia, serta larangan impor mobil
dalam bentuk CBU (complete built-up), yang merupakan proteksi
bagi perakitan mobil di sini. Dengan begitu produksi perakitan
mobil Holden dari Australia telah meningkat pesat dari 200 buah
(1967) menjadi 5.300 buah di tahun 1970.
Ketimpangan seperti itu tampaknya masih akan berjalan lama.
Sekalipun banyak juga kritik yang disampaikan orang-orang
Australia sendiri pada Komite Tetap Senat untuk Industri dan
Perdagangan mereka. Antara lain dari badan peneliti Asian Bureau
Austfalia (ABA). Lembaga yang dipelopori para padri Jesuit di
Australia itu pertengahan tahun lalu mendesak supaya bantuan
Australia itu lebih diarahkan untuk memperluas kesempatan kcrja
di Indonesia, melalui pengembangan teknologi madya dan
pengolahan hasil-hasil pertanian. Juga agar pemerintah Australia
membantu memberikan informasi pasaran bagi hasil-hasil padat
karya seperti kerajinan tangan, batik, rokok kretek dari
Indonesia, serta menghapuskan tarif dan kwota impor bagi
produk-produk mereka.
Usul yang serupa juga disampaikan PM Lee Kuan Yew bertepatan
dengan kunjungan PM Fraser ke Indonesia. Khusus menyoroti
hambatan tarif bagi industri pakaian jadi dan sepatu yang
diekspor Singapura ke Australia, PM Lee mengkritik politik
proteksi itu sebelum terbang ke Canberra memenuhi kunjungan
selama 2 minggu di Australia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini