Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Melumas Kantong Kanguru

Australia ingin membeli minyak caltex dari indonesia 800 ribu barrel pertahun. bagi indonesia, hasil ekspor minyak ini merupakan sekedar pelumas ketimpangan neraca perdagangan antara kedua negara.

23 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKALIPUN kunjungan 5 hari PM Malcolm Fraser di Jakarta tak menunjukkan kemajuan dalam soal Timor Timur, orang pertama Australia itu ada juga menyampaikan keinginan negeri nya untuk membeli minyak lagi dari Indonesia. Menurut Menteri Pertambangan Dr Sadli, keinginan Australia untuk membeli minyak Caltex (Minas) itu merupakan langkah pertama semenjak Australia sangat mengurangi impor minyak dari Indonesia semenjak 1970. Adapun yang ingin mereka beli sedikit sekali. "Sekitar 800 ribu barrel setahun", kata Sadli pada TEMPO pekan lalu. "Tapi tak apalah, ini baru langkah pertama untuk menghidupkan kembali ekspor minyak kita ke sana". Sebelum 1970, ekspor minyak dari Indonesia ke Australia setiap tahun bernilai sekitar A$ 50 juta, hingga praktis mengisi 25% kebutuhan minyak mentah mereka. Tapi tahun 1973 anjlok menjadi A$ 1,4 juta atau sekitar 5% dari kebutuhan kilang-kilang di Australia. Mengapa sampai Australia ingin membeli minyak lagi dari Indonesia -- selain pertimbangan jarak dan kwalitas --kabarnya disebabkan produksi minyak jenis ringan di Selat Bass sudah merosot. Bagi Indonesia, ekspor minyak ke Australia yang diperkirakan akan menghasilkan A$ 10 juta itu, merupakan sekedar pelumas bagi ketimpangan neraca perdagangan antara kedua negeri itu. Tahun 1975 - 1976, impor Indonesia dari Australia sudah mencapai AS$ 203,2 juta: hampir 7 kali ekspor Indonesia ke Australia yang selama tahun itu hanya mencapai AS$ 30,9 juta. Berbicara tentang timpangnya neraca perdagangan Indonesia - Australia, bukan semata-mata akibat kendornya ekspor ininyak ke sana. Tapi setidaknya ada tiga faktor lain yang menunjang arus ekspor Australia ke pasaran Indonesia: (1) proteksi pemerintah Australia yang menyolok bagi para pengusaha dalam negeri, (2) promosi ekspor dan investasi Australia ke Indonesia dan (3) proteksi bagi industri yang menampung modal Australia itu di Indonesia. Paling Tinggi Adapun yang pertama, proteksi dilakukan melalui tarif dan kwota impor serta adanya politik dua harga bagi produksi pertanian, kilang minyak, industri mobil dan industri logam Australia. Tak mengherankan jika baru-baru ini beberapa pejabat perdagangan di kawasan ASEAN menyebut tarif yang dipasang Australia itu "termasuk paling tinggi di antara negara maju, khususnya bagi hasil industri padat karya dari negeri berkembang". Adapun promosi ekspor dan investasi Australia -- yang ditopang oleh bantuan pangan dalam rangka IGGI (gandum) -- juga menikmati asuransi oleh EPIC (Export Payments Insurance Corporation) dan bantuan modal untuk Dairy Industry Stabilization und sebanyak A$ 1,2 juta untuk pendirian pabrik susu Indomilk di Jakarta. Khusus menyangkut EPIC, jaminan bagi investasi Australia di luar negeri hanya dapat diberikan jika 65% dari investasi itu adalah buatan Australia. Sedang faktor ketiga, contohnya adalah monopoli impor gandum oleh Bulog yang merupakan proteksi bagi pabrik-pabrik terigu di Indonesia, serta larangan impor mobil dalam bentuk CBU (complete built-up), yang merupakan proteksi bagi perakitan mobil di sini. Dengan begitu produksi perakitan mobil Holden dari Australia telah meningkat pesat dari 200 buah (1967) menjadi 5.300 buah di tahun 1970. Ketimpangan seperti itu tampaknya masih akan berjalan lama. Sekalipun banyak juga kritik yang disampaikan orang-orang Australia sendiri pada Komite Tetap Senat untuk Industri dan Perdagangan mereka. Antara lain dari badan peneliti Asian Bureau Austfalia (ABA). Lembaga yang dipelopori para padri Jesuit di Australia itu pertengahan tahun lalu mendesak supaya bantuan Australia itu lebih diarahkan untuk memperluas kesempatan kcrja di Indonesia, melalui pengembangan teknologi madya dan pengolahan hasil-hasil pertanian. Juga agar pemerintah Australia membantu memberikan informasi pasaran bagi hasil-hasil padat karya seperti kerajinan tangan, batik, rokok kretek dari Indonesia, serta menghapuskan tarif dan kwota impor bagi produk-produk mereka. Usul yang serupa juga disampaikan PM Lee Kuan Yew bertepatan dengan kunjungan PM Fraser ke Indonesia. Khusus menyoroti hambatan tarif bagi industri pakaian jadi dan sepatu yang diekspor Singapura ke Australia, PM Lee mengkritik politik proteksi itu sebelum terbang ke Canberra memenuhi kunjungan selama 2 minggu di Australia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus