Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keributan antargeng yang mengakibatkan tiga orang meninggal setahun lalu tidak membuat pengunjung klab ini sepi. Jumat awal Mei lalu, Blowfish Kitchen & Bar yang teretak di City Plaza, Wisma Mulia, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan itu penuh sesak oleh penggila hiburan malam atau clubbers Jakarta. Dentuman musik R&B dan hip-hop memenuhi ruangan. Suasana bertambah riuh ketika penyanyi rap bertubuh tambun, Saykoji, tampil pada pukul satu dini hari. Penyanyi yang terkenal dengan lagu Online itu membawakan karya Usher berjudul DJ Got Us Falling in Love dan Taio Cruz berjudul Dynamite. Malam terasa masih muda.
Clubbers yang terdiri dari kalangan pelajar hingga pekerja serentak bergoyang. Meja bar menjadi tambah riuh. Gelas-gelas minuman silih berganti diisi para bartender. Reva, 28 tahun, mengaku menyukai suasana malam itu. ”Musiknya seru, orang-orangnya juga asyik,” kata karyawati sebuah perusahaan asing di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan itu.
Pada pertengahan April lalu, Blowfish merayakan ulang tahun kedelapan dengan pesta meriah. Para penjelajah kehidupan malam terbukti masih setia pada klab yang terkenal dengan ikon wanita bertato naga di punggung telanjangnya itu. Salah satu aspek yang membuatnya bertahan, menurut Reva, adalah desain interiornya. ”Bersahabat, nggak seram,” ujarnya.
Perancang interior klab itu, Sonny Sutanto, berhasil menciptakan suasana eksklusif gaya oriental, jauh dari atsmosfer remang-remang ”suram” khas tempat hiburan malam umumnya. Dua arena clubbing ia bagi menjadi dua tipe. Panas dan dingin. Gelap dan terang. Cara ini berhasil menarik pengunjung perempuan berpenampilan mewah, menjinjing tas mahal, dengan sepatu tinggi karya desainer top dunia. Untuk yang laki-laki, mereka juga tampil trendi, rapi, wangi, dan sanggup merogoh kocek hingga jutaan rupiah untuk membeli minuman beralkohol.
Sonny menceritakan kepada Tempo, keberhasilan sebuah klab malam 50 persen bergantung pada desain interior. Sisanya pada promosi, pemasaran, dan kualitas makanan serta minuman. Tidak lama setelah insiden, ia tahu harus ada perubahan pada bagian pintu masuk klab. Bagian itu adalah lokasi mayat korban tawuran yang fotonya banyak beredar di Internet. Ia ubah sedikit penataan area duduk dan akses di sekitar pintu tersebut. ”Supaya orang lupa dan tidak takut datang ke sana,” katanya. Hal itu terbukti berhasil, Blowfish tetap masuk ke jajaran 10 klub malam terkeren di Jakarta pada 2011 ini.
Sonny Sutanto bukan orang baru dalam merancang bangunan dan interior. Kariernya sebagai arsitek telah lebih dari 20 tahun. Ketika masih menjadi partner di biro arsitek Denton Corker Marshal (PT Duta Cermat Mandiri), ia membangun EX Plaza, Jakarta. Bentuk kotak-kotak warna-warni yang posisinya keluar dari pakem membuatnya menjadi salah satu pionir gaya dekonstruksi di Indonesia. Bangunan nyeleneh di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, itu pun segera menjadi tetenger baru.
Pada 2003, ia mendirikan biro arsiteknya sendiri, Sonny Sutanto Architects. Salah satu proyek pertama Sonny adalah mendesain interior klab malam Dragonfly. Setelah itu, permintaan merancang interior klab malam terus berdatangan. Blowfish, Immigrant, The Only One, merupakan beberapa hasil karyanya di Jakarta.
Dalam mendesain interior, ia selalu menggunakan cara berpikir seorang arsitek. Sebab, menurut dia, seorang desainer interior cenderung hanya mendekorasi. ”Kalau saya berpikir secara spatial,” katanya. Lulusan arsitektur Universitas Indonesia dan master University of California, Los Angeles, Amerika ini memang selalu mempertimbangkan ruang dan penyebaran pengunjung di dalamnya.
Setiap klab memiliki tema menurut keinginan klien. Tapi Sonny selalu menekankan pada bentuk dan fungsi. Ia memulai desainnya dengan menentukan titik utama yang biasa menjadi tempat paling banyak didatangi pengunjung—misalnya lantai dansa—dan jalur sirkulasi.
Kedua bagian ini, menurut dia, yang tersusah. Karena itu, ia harus membayangkan gerak dan perilaku manusia. Semua pengunjung, ia mengatakan, harus bisa melihat titik utama tersebut. Selain itu, sirkulasi pintu masuk harus memberikan efek kejutan. Seperti di Dragonfly yang berupa lorong panjang dengan dinding kayu berukir dedaunan.
Setelah memperoleh titik utama dan jalur sirkulasi, ia fokus ke area pelayanan. Sonny ingin membuat pengunjung dan staf klab nyaman. Karena itu, ia selalu membuat desain meja bar panjang. Umumnya meja bar tidak lebih dari 10 meter, tapi Sonny membuatnya hingga 28 meter, seperti yang ada di Immigrant atau 21 meter seperti di Dragonfly. ”Jangan sampai ambil es saja lama,” katanya.
Dari area servis, Sonny lalu memperhatikan detail furniture. Bagian lengan dan kepala bangku harus bisa menjadi tempat duduk pengunjung. Jadi, bangku yang seolah-olah hanya cukup empat orang bisa muat sampai 12 orang. Ia juga memakai permainan material. Seperti di Dragonfly, bilah-bilah kayu yang berada di lantai dibuat seolah-olah bergerak hingga ke langit-langit. Awalnya ia ingin pengunjung juga bisa bergerak hingga ke langit-langit itu. Karena alasan keamanan, terpaksa dibatalkan.
Soal bentuk material, ia mengaku sering memiliki ide gila yang sulit dikerjakan tukang bangunan. Contohnya, bentuk toroid dan rhizoid pada langit-langit Immigrant. Tidak ada tukang yang mengerti apa yang ia inginkan. ”Gambar tiga dimensi juga tidak membantu,” katanya. Sampai akhirnya ia memakai alat bantu sebuah helm barulah para tukang bisa mengerjakan.
Langit-langit di Immigrant memiliki bentuk melengkung dua arah (toroid) dan lengkungan seperti akar (rhizoid). Lengkungan ini seolah-olah bergerak dari lantai, ke atas, hingga ke seluruh ruangan. Untuk mendapat bentuk seperti itu, Sonny memilih lembaran-lembaran baja yang disambung dengan paku. Selain untuk keperluan akustik, bentuk ini menampilkan gaya industrial. Ia menilai tidak perlu material mahal untuk memberi kesan eksklusif. Batu bata, besi untuk dekorasi, ia peroleh dari berburu barang bekas di pasar loak.
Menurut Sonny, jenis klab malam di Jakarta terbagi menjadi dua, yaitu utara dan selatan. Masa kecil yang ia habiskan di wilayah Mangga Besar membuatnya paham betul mengenai hal ini. Wilayah utara selalu identik dengan Pecinan dan klab malam dengan bisnis prostitusi. Bagian selatan lebih elitis dan eksklusif. ”Batasnya di Monas,” ujar pria berumur 47 tahun ini.
Ia menilai, pembatasan ini sudah ada sejak zaman Orde Baru. Sampai sekarang tidak ada klab malam di daerah selatan Jakarta yang terang-terangan memasukkan bisnis prostitusi. Sonny lebih memilih mengambil klab tipe tersebut. Namun, ia tidak menampik, beberapa klab malam di wilayah utara merupakan karyanya, seperti Alexis dan Illigals. ”Tapi saya hanya memperbaiki desain gedung, tidak interiornya,” kata dosen arsitektur Universitas Indonesia ini.
Umur desain interior, kata dia, hanya tiga tahun. Pekerjaannya pun hanya memakan waktu tiga setengah bulan. Perubahan penting agar tetap mengikuti tren dan pengunjung tidak bosan. Ia mengaku mendapat dilema jika harus mengganti karyanya. ”Seperti merusak karya sendiri,” katanya.
Memang tidak banyak yang tahu, arsitek yang tidak doyan pergi ke klab malam ini justru menjadi perancang klub-klub malam terkenal. ”Saya tidak pernah clubbing,” katanya. Beberapa kali Ismaya Group, pemilik Dragonfly, Immigrant, dan Blowfish, mengundangnya ke acara ulang tahun klab-klab tersebut, tapi ia tidak pernah datang. Menurut dia, seorang arsitek cukup membayangkan gerak dan perilaku manusia dalam merancang. ”Kalau mendesain penjara kan tidak perlu dipenjara dulu,” ujar Sonny sambil tertawa.
Sorta Tobing
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo