Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekitar 12 tahun silam, Olle Tornquist sudah memberi peringatan dini perihal akan lahirnya ”demokrasi kaum penjahat” di negeri ini. Itulah demokrasi yang disusun dan terjalin rapi oleh ulah para ”penjahat”. Para begundal yang kemudian menyaru menjadi pengkhotbah demokrasi dengan tanda kutip, karena bukan demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi itu sangat formal, tanpa partisipasi rakyat. Demokrasi yang ditempuh dengan cara jahat, atau demokrasi yang akan membenarkan perilaku jahat.
Boleh jadi, beberapa variabel penting yang dijadikan ukuran oleh Torquist sudah sedikit bergeser. Tapi rasanya tidak kurang relevansinya pada konteks fakta saat ini, yakni untuk menolak bahwa partai politik ikut menjadi penyumbang keterpurukan negara ini. Sebagai negara demokratis, partai memegang posisi strategis. Hampir seluruh posisi strategis pengambilan kebijakan negara, baik di pusat maupun daerah, memiliki jejak dan bau partai.
Kemampuan partai menemukan orang baik dan bersih sangat berkorelasi dengan pembentukan arah kebijakan negara. Selama ini kegagalan partai menyediakan orang baik telah menimbulkan berbagai persoalan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah implikasi yang paling tampak dari para begundal politik berbaju kewenangan di berbagai posisi jabatan ini.
Pada saat yang sama, proses pembangunan negara dan penyusunan kebijakan negara selalu melalui saringan elite parpol yang sekaligus memegang posisi kunci di pemerintahan negara. Tidak mustahil, negara kemudian sering kali menjadi limbung dan tak mampu tegak dengan baik ketika semua pengambil kebijakannya bermodel dan bermental seperti ini, serta ditapis melalui proses yang juga keliru.
Potret yang paling terlihat belakangan ini adalah hubungan pembusukan partai dan gagalnya Dewan Perwakilan Rakyat mengemban keinginan rakyat. DPR menjadi lembaga perwakilan rakyat yang tidak lagi mewakili kepentingan rakyat. Lebih banyak merupakan keinginan pribadi serta keinginan politik partai yang termanifestasi menjadi fungsi DPR di legislasi, pengawasan, anggaran, representasi, dan rekrutmen jabatan publik. Sulit memberi label perwakilan rakyat kepada mereka ketika mereka berperilaku jauh dari kehendak dan tujuan mulia mengurus negara ini.
Lemah pengawasan
Penyakit yang sebenarnya bisa diurai dari dua penyakit kronis di wilayah pengawasan terhadap DPR. Pertama, matinya pengawasan bermodel checks and balances antara parlemen dan lembaga lain, semisal eksekutif. Tidak ada lagi kemampuan eksekutif melakukan saling checks and balances di tengah sistem presidensial yang dibaluri dengan beberapa perangkat parlementer. Malangnya, eksekutif pun terlihat menikmati itu dengan memberikan panggung yang semakin besar kepada partai melalui institusionalisasi koalisi dalam bentuk Sekretariat Gabungan (Setgab).
Dalam sistem demokrasi yang kurang sehat ini, sulit mengatakan Setgab akan menjelma menjadi manifestasi ikrar bersama untuk bekerja bagi negara. Yang terjadi adalah langkah kolektif untuk melakukan ”kejahatan” berdasarkan kepentingan partai masing-masing, tapi dilindungi oleh alasan kepentingan koalisi. Kepentingan partai menjadi semakin padu dalam kor di eksekutif dan di parlemen.
Tidak aneh jika pola koruptif malah terlihat melalui partai yang mampu memainkan anggaran negara di kementerian yang biasanya memiliki kedekatan secara partai dengan menteri yang mengepalainya. Pola main mata kementerian dan partai sang menteri menjadi jamak terjadi karena tak terawasi dengan baik, dan dilaras dalam langgam yang sama untuk ”merampas uang negara”.
Kedua, gagal struktur bangunan parlemen yang terbangun dua kamar (bikameral) tapi pada hakikatnya bekerja dalam pola sistem satu kamar. Dewan Perwakilan Daerah menjadi penonton setia perilaku jual-beli anggaran oleh DPR. Padahal cita-cita dua kamar di mana-mana bukan hanya menciptakan kekuatan fungsi parlemen yang lebih baik, meminjam adagium ”two eyes better than one eye”, tapi juga agar ada saling checks intraparlemen.
Nyatanya tidak! Gagal terbangunnya sistem pengawasan terhadap intraparlemen membuat polah partai makin banal. Kerja-kerja untuk parlemen akan dilakukannya sendiri tanpa sanggahan hasil pengawasan. Partai merasa bebas dan tidak lagi harus menjadi partai ”ideal” yang selayaknya memang berbasis rakyat, baik dari segi dukungan suara maupun finansial. Kerja DPR yang keseluruhan dimotori oleh partai menjadi kurang terawasi karena partai menjadi tenang-tenang saja, tanpa perlu prestasi. Dukungan finansial tetap akan ada melalui para kader yang menjadi elite, yang punya seribu-satu cara untuk mendapatkan uang negara bagi pembiayaan partai. Pada gilirannya, uang itulah yang digunakan untuk ”membeli” dukungan konstituen.
Hal yang semula merupakan accident dalam proses amendemen UUD 45 kemudian bersalin rupa menjadi makin by design saat ini. Tuntutan partai mendapatkan dana besar ditanggapi secara ”kreatif”. Makanya, dalam sistem penganggaran yang terbuka lebar, uang negara dimainkan sedemikian rupa untuk menambah pendapatan sendiri, yang memang akan ”dipajak” dan ”diwakafkan” untuk membiayai partai.
Kita tak kunjung membangun model mekanisme non-conflict of interest. Di Amerika, karena sadar bahwa parlemen memiliki fungsi anggaran, konstitusi menggariskan bahwa semua usulan yang berakibat pada kenaikan pendapatan bagi anggota parlemen hanya dapat dilaksanakan setelah pemilu berikutnya. Hal ini bisa dijadikan cara untuk menutup peluang menambah pendapatan sendiri dengan menggunakan kewenangan yang dimiliki.
Cara legal dan ilegal untuk membiayai partai kemudian menjadi modus standar yang meninabobokan partai. Mudah untuk menduga, penyakit-penyakit ini tak kunjung ditemukan obatnya bukan lantaran ketidakmampuan (unable), melainkan lebih karena ketidakmauan (unwilling). Makanya, berharap pada perbaikan sistem menjadi seakan-akan ”menunggu Godot”. Mereka yang sedang larut dalam permainan ini menjadi enggan keluar karena menikmati berbagai kemudahan yang disediakan.
Posisi sebenarnya menjadi kuldesak. Karena perubahan sistem mengharapkan para pelaku pemerintahan sadar, tapi pada saat yang sama merekalah yang paling diuntungkan oleh kondisi karut-marut ini. Meminjam perumpamaan Porfirio Diaz, ”Anjing yang sedang menggigit tulang mustahil bisa melakukan dua hal: menyalak, apalagi menggigit….”
Menginterupsi partai
Pada kondisi inilah dibutuhkan upaya luar biasa untuk memotong jalur kebiasaan yang melenakan partai. Setidak-tidaknya interupsi terhadap proses itu. Dan rasanya Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki peluang besar untuk menggarap prosesi interupsi ini. Tentu tidak untuk menafikan lembaga penegak hukum lain. Tapi, dari segi efektivitas cara kerja, KPK-lah yang memiliki maqam untuk melakukannya.
Tentu dengan dua catatan besar. Pertama, KPK sendiri harus sadar pada maqam-nya sebagai lembaga luar biasa yang diberi kewenangan memotong keterpurukan bangsa akibat daya kerja merusak ”demokrasi kaum penjahat”. Jika berbagai perkara koruptif berbalur pemain politik belum bisa dituntaskan, KPK malah akan terkesan sedang bermain politik—dan bukan menegakkan hukum.
Kedua, tentu tak ada panacea dalam problem yang kompleks. Pendekatan hukum harus berjalan berbarengan dengan berbagai kemungkinan model perbaikan lainnya, termasuk peningkatan kontrol masyarakat. Gerakan yang substantif tapi selama ini masih gagal, seperti ”Tolak Politisi Busuk!”, sangat layak kembali diperjuangkan untuk menemani berbagai kemungkinan menginterupsi ”demokrasi kaum penjahat”. Bukan karena membenci partai dan politikus, melainkan lantaran mencintai negeri ini.
*) Pengajar ilmu hukum dan Direktur PuKAT, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo