KEMBALI pada bulan Januari yang lalu. "Bali di samping perlu
dipromosikan ke luar, masyarakatnya juga perlu dibina dan diberi
penerangan, apa yang boleh atau tidak mereka lakukan untuk
memajukan kepariwisataan", kata Merta Pastima Kepala Dinas
Pariwisata Daerah Bali - kepada pers setempat. Buntut kata-kata
itu berujud kerjasama pameran senirupa antara Diparda dengan
Sekolah Seni Rupa Indonesia, Denpasar. Mengambil tempat di
jantung kota pada akhir bulan itu juga.
Berita yang terlambat ini tidaklah basi. Karena tujuan mulia
pameran tersebut sangat hebat. "Menanamkan pengertian dan sadar
wisata di kalangan masyarakat, menumbuhkan rasa cinta, rasa
ikut memiliki serta bertanggungjawab terhadap kepariwisataan".
Tapi ternyata isinya adalah sejumlah karikatur dan lukisan cat
minyak. Siswa SSRI memang memanfaatkan benar "perintah" Diparda
- sehingga mereka muncul dengan "tajam".
Dinding Peking
Karikatur-karikatur tersebut ternyata menerjang banyak pihak.
Yang paling keras kena sepak adalah kaum pramuwisata alias
guide. Mereka dituduh sebagai biang-kerok, semrawutnya
kepariwisataan di Bali. Disusul oleh konconya, para pengusaha
art shop, yang dianggap telah menggasak rusak seni budaya Bali
dengan berbagai macam komisi-komisinya. Adapun biro perjalanan
sempat juga disenggol karena terlalu mementingkan diri sendiri
serta saling menjegal.
Pada hakekatnya kwalitas karikatur itu sendiri memang kurang.
Katakanlah terlalu kasar. Bisa jadi karena waktu pembuatannya
sangat pendek, tetapi mungkin juga karena pembuatnya terlampau
blak-blakan. Bagaikan sebuah komik dengan mulut besar yang bocor
berbicara terlalu keras serta panjang lebar. "Ini tak ubahnya
dengan poster dinding Peking", ujar mereka yang kena ciprat -
dengan muka yang merah. Mereka pun menggerutu, dan menyalurkan
protes mereka ke Diparda. Termasuk Pacto, sebuah biro perjalanan
yang besar, yang jelas ditoreh lewat karikatur. Bahkan SSRI
sendiri pun ikut kena sentilan karena dianggap menyuguhkan tema
yang mencela sikap seniman yang mengkaryakan dirinya pada art
shop sementara SSRI sendiri melacurkan diri pada Diparda.
"Bisanya mencela saja. Apa yang dikerjakan Diparda'?" tanya
seorang pengunjung dalam buku kesan. Namun Diparda tetap tenang
Anjing menggonggong, mohil jalan terus. Merta Pastima, sang
kepala dinas pariwisata itu, sepulang dari Berlin untuk memimpin
perutusan Indonesia ke bursa pariwisata di sana, langsung bikin
gebrakan kedua bulan April lalu. SSRI tetap diberi
kepercayaannya, meskipun isi pameran ternyata berbeda 100 persen
dari materi pameran sebelumnya.
"Dengan terselenggaranya pameran ini (yang kedua Red), harapan
kami, hendaknya dapat menumbuhkan apresiasi seni dan merangsang
produk kesenian ke arah yang lebih positif", tulis Ni Made
Kadjeng Direktur SSRI, dalam brosur. Yah rupa-rupanya SSRI telah
belajar dari pengalaman pertamanya. Dari segi kwalitas Pameran
Pariwisata Budaya II ini lebih oke: lebih menunjukkan segi-segi
pencarian yang kreatif ketimbang "pembinaan sadar wisata".
Tetapi ternyata Diparda tidak bodoh. Kreatifitas yan hangat dari
anak-anak SSRI itu langsung saja mereka "manfaatkan".
Maka karya-karya (meliputi berbagai corak: figuratif, abstrak,
realistis, karikatural, termasuk juga senirupa baru) mereka beri
komentar yang merangkul karya-karya tersebut ke dada mereka.
Tersebutlah sebuah buku yang berisi. Komentar-komentar panjang
yang bisa membuat orang tersenyum, ketawa , atau pingsan.
Sebuah karya Kudianto misalnyal berjudul Non figuratip II,
mereka beri komentar: "Mempertahankan/mengembangkan seni lukis
abstrak di Bali". Karya Jirna dengan judul Mencari Kutu, yang
menggambarkan gubuk desa, diberi komentar: "Mendidik
sopan-santun kepada masyarakat terutama pada pusat objek
pariwisata". Lalu karya Jawa berjudul Sabungan Ayam, yang
nampaknya dipengaruhi oleh Berlaganya Affandi, diberi komentar:
"Mengembalikan status sabungan ayam pada proporsi sebenarnya".
Komentar-komentar itu ada yang tidak begitu jelas hubungannya.
Pengaruh Seni Rupa Baru ada juga. Misalnya dalam bentuk karya
bersama berjudul Timhangan. Ada sebuah papan panjang, di
tengahnya sepeda rongsokan. Sebuah ujungnya berisi hasil
kerajinan yang bisa dilihat umumnya di toko-toko kesenian. Ujung
yang lain sangat ringan, berisi tulisan seniman besar Bali
seperti A.A. Raka, Lempad, Nyana, Ida Bagus Made, Cokot, Deblog,
Leper. "Ini adalah hasil pandangan mereka (siswa SSRI) terhadap
perkembangan kesenian di Bali dewasa ini, yang mulai dikuasai
oleh faktor ekonomi dan menghasilkan suatu produk seni yang
tidak seimbang antara kwalitas dan kwantitas", ujar Made Kadjeng
menjelaskan.
Protes yang tak jelas dialamatkan kepada siapa, juga terlihat
pada karya Sudiarta herjudul Kaset. Dengan cat air ia melukiskan
selembar tikar yang menggulung lembaran kertas yang bertuliskan:
arja, topeng, wayang dan sejumlah nama-nama kesenian Bali
lainnya. Di atasnya ditempel kaset hasil rekaman kesenian yang
tergulung tikar itu. Yah idenya barangkali nlau menjerit tentang
industri kaset yang bikin keok seniman arja, wayang dan topeng.
Tapi hanya ide semata-mata memang bisa membuat sesuatu jadi
enteng atau bombas. Lalu apa komentar Diparda terhadap karya
protes ini? "Pengaruh teknologi modern terhadap masyarakat
Bali".
Perbedaan komentar dalam brosur serta karya senirupa itu
sendiri, sebagaimana dapat disaksikan dengan mata, memang
membuat orang kaget. Bagi SSRI ini tidak lain dari kepintaran
memanfaatkan fasilitas demi kepentingan kretifitas. Bagi Diparda
sendiri, yah, kata orang, instansi yang cukup penting ini sudah
kena kibul. Masa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini