Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mengembalikan status ayam

Diparda dan SSRI Denpasar bekerja sama mengadakan Pameran senirupa. Tujuannnya, menanamkan arti dan sadar, serta cinta dan rasa memiliki wisata di kalangan masyarakat.

14 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMBALI pada bulan Januari yang lalu. "Bali di samping perlu dipromosikan ke luar, masyarakatnya juga perlu dibina dan diberi penerangan, apa yang boleh atau tidak mereka lakukan untuk memajukan kepariwisataan", kata Merta Pastima Kepala Dinas Pariwisata Daerah Bali - kepada pers setempat. Buntut kata-kata itu berujud kerjasama pameran senirupa antara Diparda dengan Sekolah Seni Rupa Indonesia, Denpasar. Mengambil tempat di jantung kota pada akhir bulan itu juga. Berita yang terlambat ini tidaklah basi. Karena tujuan mulia pameran tersebut sangat hebat. "Menanamkan pengertian dan sadar wisata di kalangan masyarakat, menumbuhkan rasa cinta, rasa ikut memiliki serta bertanggungjawab terhadap kepariwisataan". Tapi ternyata isinya adalah sejumlah karikatur dan lukisan cat minyak. Siswa SSRI memang memanfaatkan benar "perintah" Diparda - sehingga mereka muncul dengan "tajam". Dinding Peking Karikatur-karikatur tersebut ternyata menerjang banyak pihak. Yang paling keras kena sepak adalah kaum pramuwisata alias guide. Mereka dituduh sebagai biang-kerok, semrawutnya kepariwisataan di Bali. Disusul oleh konconya, para pengusaha art shop, yang dianggap telah menggasak rusak seni budaya Bali dengan berbagai macam komisi-komisinya. Adapun biro perjalanan sempat juga disenggol karena terlalu mementingkan diri sendiri serta saling menjegal. Pada hakekatnya kwalitas karikatur itu sendiri memang kurang. Katakanlah terlalu kasar. Bisa jadi karena waktu pembuatannya sangat pendek, tetapi mungkin juga karena pembuatnya terlampau blak-blakan. Bagaikan sebuah komik dengan mulut besar yang bocor berbicara terlalu keras serta panjang lebar. "Ini tak ubahnya dengan poster dinding Peking", ujar mereka yang kena ciprat - dengan muka yang merah. Mereka pun menggerutu, dan menyalurkan protes mereka ke Diparda. Termasuk Pacto, sebuah biro perjalanan yang besar, yang jelas ditoreh lewat karikatur. Bahkan SSRI sendiri pun ikut kena sentilan karena dianggap menyuguhkan tema yang mencela sikap seniman yang mengkaryakan dirinya pada art shop sementara SSRI sendiri melacurkan diri pada Diparda. "Bisanya mencela saja. Apa yang dikerjakan Diparda'?" tanya seorang pengunjung dalam buku kesan. Namun Diparda tetap tenang Anjing menggonggong, mohil jalan terus. Merta Pastima, sang kepala dinas pariwisata itu, sepulang dari Berlin untuk memimpin perutusan Indonesia ke bursa pariwisata di sana, langsung bikin gebrakan kedua bulan April lalu. SSRI tetap diberi kepercayaannya, meskipun isi pameran ternyata berbeda 100 persen dari materi pameran sebelumnya. "Dengan terselenggaranya pameran ini (yang kedua Red), harapan kami, hendaknya dapat menumbuhkan apresiasi seni dan merangsang produk kesenian ke arah yang lebih positif", tulis Ni Made Kadjeng Direktur SSRI, dalam brosur. Yah rupa-rupanya SSRI telah belajar dari pengalaman pertamanya. Dari segi kwalitas Pameran Pariwisata Budaya II ini lebih oke: lebih menunjukkan segi-segi pencarian yang kreatif ketimbang "pembinaan sadar wisata". Tetapi ternyata Diparda tidak bodoh. Kreatifitas yan hangat dari anak-anak SSRI itu langsung saja mereka "manfaatkan". Maka karya-karya (meliputi berbagai corak: figuratif, abstrak, realistis, karikatural, termasuk juga senirupa baru) mereka beri komentar yang merangkul karya-karya tersebut ke dada mereka. Tersebutlah sebuah buku yang berisi. Komentar-komentar panjang yang bisa membuat orang tersenyum, ketawa , atau pingsan. Sebuah karya Kudianto misalnyal berjudul Non figuratip II, mereka beri komentar: "Mempertahankan/mengembangkan seni lukis abstrak di Bali". Karya Jirna dengan judul Mencari Kutu, yang menggambarkan gubuk desa, diberi komentar: "Mendidik sopan-santun kepada masyarakat terutama pada pusat objek pariwisata". Lalu karya Jawa berjudul Sabungan Ayam, yang nampaknya dipengaruhi oleh Berlaganya Affandi, diberi komentar: "Mengembalikan status sabungan ayam pada proporsi sebenarnya". Komentar-komentar itu ada yang tidak begitu jelas hubungannya. Pengaruh Seni Rupa Baru ada juga. Misalnya dalam bentuk karya bersama berjudul Timhangan. Ada sebuah papan panjang, di tengahnya sepeda rongsokan. Sebuah ujungnya berisi hasil kerajinan yang bisa dilihat umumnya di toko-toko kesenian. Ujung yang lain sangat ringan, berisi tulisan seniman besar Bali seperti A.A. Raka, Lempad, Nyana, Ida Bagus Made, Cokot, Deblog, Leper. "Ini adalah hasil pandangan mereka (siswa SSRI) terhadap perkembangan kesenian di Bali dewasa ini, yang mulai dikuasai oleh faktor ekonomi dan menghasilkan suatu produk seni yang tidak seimbang antara kwalitas dan kwantitas", ujar Made Kadjeng menjelaskan. Protes yang tak jelas dialamatkan kepada siapa, juga terlihat pada karya Sudiarta herjudul Kaset. Dengan cat air ia melukiskan selembar tikar yang menggulung lembaran kertas yang bertuliskan: arja, topeng, wayang dan sejumlah nama-nama kesenian Bali lainnya. Di atasnya ditempel kaset hasil rekaman kesenian yang tergulung tikar itu. Yah idenya barangkali nlau menjerit tentang industri kaset yang bikin keok seniman arja, wayang dan topeng. Tapi hanya ide semata-mata memang bisa membuat sesuatu jadi enteng atau bombas. Lalu apa komentar Diparda terhadap karya protes ini? "Pengaruh teknologi modern terhadap masyarakat Bali". Perbedaan komentar dalam brosur serta karya senirupa itu sendiri, sebagaimana dapat disaksikan dengan mata, memang membuat orang kaget. Bagi SSRI ini tidak lain dari kepintaran memanfaatkan fasilitas demi kepentingan kretifitas. Bagi Diparda sendiri, yah, kata orang, instansi yang cukup penting ini sudah kena kibul. Masa?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus