KURSUS bahasa Inggris boleh meledak di mana-mana di Denpasar, Bali, ada yang melawan arus. Lihat saja di sebuah SD, jangan kaget bila murid-murid bergurau sambil mengucapkan, "Kudasai ogano," -- artinya, minta nasi. Lalu di sana-sini, di saat istirahat, terdengar suara-suara "haik-haik, arigato gozaimasu". Bila tahun ajaran 1986-1987 ditutup beberapa bulan lagi, usia pelajaran bahasa Jepang itu di Bali genap sembilan tahun sudah. Harap jangan dibayangkan, pengajaran bahasa Jepang di pulau itu lalu menjamur. Hingga tahun ini hanya dua kelompok sekolah -- keduanya di Denpasar -- yang melihat "harapan baru" dari pelajaran bahasa asing ini. Yang pertama, Yayasan Perguruan Rakyat Saraswathi, yang memasukkan pelajaran bahasa Jepang ke sekolah-sekolahnya sejak 1978. Adalah I Gusti Made Tamba, Ketua Yayasan terebut, yang empunya gagasan ia melihat arus turis dari Jepang ke Bali terus meningkat. Dunia pariwisata di Bali, katanya, membuka lapangan kerja bagi yang terampil berbahasa Jepang. Setahun setelah Made Tamba memberikan pelajaran bahasa Jepang, Yayasan Perguruan Raj Yamuna, yang membuka taman kanak-kanak dan SD pun memasukkan bahasa Jepang sebagai pelajaran. I Made Okin Adyana, pendiri ayasan ini, tak cuma melihat turisme, tapi ia melihat "harapan baru" dari Jepang. Bapak empat anak yang lama tinggal di Jepang itu punya motivasi lebih dalam dibandingkan I Gusti Made Tamba. "Jepang itu dekat dengan kita," tutur Made Okin. "Kalau kita mengenal Jepang dengan baik, banyak manfaatnya." Lalu bapak berusia 42 tahun ini menceritakan pengalamannya di Jepang selama 12 tahun. Ia bekerja di banyak usaha, dari perusahaan pelayaran sampai pabrik televisi Sharp. Ia melihat Jepang yang maju, tapi tak banyak orang Indonesia yang menyerap pelajaran dari Negeri Matahari itu. Boleh jadi soal bahasa jadi hambatan, karena bahasa Jepang belum jadi bahasa internasional. Dari gagasan inilah, pekerja yang kemudian tertarik pada dunia pendidikan ini memasukkan bahasa Jepang ke sekolah yang didirikannya. Di TK dan kelas awal SD, para murid baru diajari menyanyi Jepang. Baru di bulan-bulan terakhir kelas II diberikan terjemahan Indonesianya, ditambah pelajaran percakapan pendek-pendek. Misalnya, hari ini hari apa, kamu dari mana. Pun mulai diperkenalkan huruf kanji paling dasar, Hiragana. Makin tinggi kelasnya makin jauh pula pelajaran bahasa Jepangnya: tata bahasa, kemudian huruf yang lebih sulit, Katagana namanya, diberikan. Pelan-pelan terjemahan dalam huruf Latin dikurangi, akhirnya terjemahan tak diberikan lagi. Bila hingga sekarang pelajaran ini tetap diberikan, memang para murid ternyata menyukainya. "Bahasa Jepang lebih mudah daripada bahasa Bali," kata Bambang Wisageni, murid kelas VI, anak Bali asli. Anak itu tak mengada-ada. Bagi yang pernah belajar bahasa Bali, tahu sulitnya menuliskan huruf Bali. "Menulis huruf Jepang tinggal mencoret-coret. Menulis huruf Bali seperti mengukir, membuat lengkung-lengkung," kata seorang teman Bambang. Setidaknya, Made Okin -- yang menyusun sendiri bahan pelajarannya -- berhasil mengakrabkan bahasa Jepang kepada murid-muridnya. Bila kemudian tumbuh minat anak-anak untuk belajar keJepang, itu memang cita-cita Made Okin. Seperti kata Anak Agung Arsan Hendra, murid kelas VI, "Orang yang tahu bahasa Inggris 'kan sudah banyak. Bahasa Jepang belum, jadi menuntut Ilmu ke Jepang lebih mudah." Perguruan Rakyat Saraswathi yang memiliki puluhan sekolah, dari SD sampai universitas, kini memasukkan pelajaran bahasa Jepang hampir ke semua jenjang: dari SD sampai SMA-nya. Pelajaran ini -- di sini materi pelajaran diperoleh dari Jepang -- pun diujikan, cuma nilainya tak dimasukkan dalam rapor, tapi dilampirkan tersendiri. Di SD, bahasa Jepang diberikan satu jam seminggu, di sekolah menengahnya, dua jam. Bisa jadi, murid memang merasa lebih mudah belajar bahasa Jepang ketimbang bahasa Bali, karena motivasi. Soal turis Jepang umpamanya. Sementara itu, penggunaan bahasa Bali memang terasa semakin tipis. Di perkotaan bahasa Bali sudah luntur sebagai bahasa percakapan. Di desa-desa, yang belum dijamah arus turis, bahasa percakapan memang masih hidup, tetapi huruf Bali -- apalagi kosakata bahasa Bali yang benar -- sudah jarang dipakai. Adalah sikap Kantor Departemen P & K Kabupaten Badung yang pantas dipuji. Inisiatif berharga dari dua sekolah tersebut mendapat dukungan. Kata Komang Soka, Kepala Kantor P & K itu, "Pelajaran bahasa Jepang tidak sampai mengganggu kurikulum, malah membuat sekolah itu menjadi lebih dikenal." Lewat UNESCO Jepang, dua tahun lalu 16 siswa Jepang mengadakan studi di sekolah Raj Yamuna. Sebaliknya, pihak Jepang mengundang pula Made Okin dan Nuril, istrinya, untuk tinggal di Jepang enam bulan, dan mengikuti konperensi TK seluruh dunia di Jepang tahun lalu. Hasilnya, kini Nuril pun bisa mengajar bahasa Jepang. Adapun di sekolah-sekolah Saraswathi, selain Made Tamba, ada setidaknya dua guru lagi. Yang kini belum dilakukan, mengamati seberapa jauh pelajaran ini memang bermanfaat. Sudahkah ada yang meneruskan belajar ke Jepang, misalnya. Atau sudah ada yang mendirikan biro wisata? Atau, ini tentunya tak diharapkan, pelajaran itu menguap begitu saja. Putu Setia, Laporan Supriyantho Khafid & I N. Wedja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini