Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menggali estetika jawa

Perupa nindityo adipurnomo mengadakan pameran di cline galery, jakarta. karyanya terkategori seni rupa kontemporer. ia mencoba merefleksikan ke estetika jawa. karyanya berawal dari tari tradisional.

21 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA kalanya sulit menentukan apakah sebuah karya terkategori seni rupa modern atau kontemporer. Inilah yang terlihat pada pameran tunggal Nindityo Adipurnomo di CLine Gallery, Kebayoran Baru, Jakarta, 10 sampai 31 Maret. Padahal, ada perbedaan mendasar antara seni rupa modern dan kontemporer. Modernisme yang mendasari perkembangan seni rupa sampai dekade 1960 mengacu pada penjelajahan imajinasi artistik. Semua aliran pada era modern (ism) mengacu pada penjelajahan ini. Sementara itu, seni rupa kontemporer yang muncul tahun 1970-an ditandai kecenderungan mencari kembali prinsip mendasar penciptaan seni rupa. Maka, pada era kontemporer bukan aliran yang menjadi patokan pengamatan dan apresiasi, tapi prinsip-prinsip baru penciptaan. Perkembangan seni rupa Indonesia sekarang ini masih didominasi modernisme, tapi sudah cukup banyak perupa yang terdorong mencari acuan penciptaannya sendiri. Maka, karya mereka terkategori karya seni rupa kontemporer. Satu di antara seniman itu Nindityo Adipurnomo. Perupa muda, 30 tahun ini mulai dikenal dalam blantika seni rupa Indonesia. Selain berkarya, Nindityo adalah pemrakarsa Galeri Cemeti, Yogyakarta, yang dikelolanya sejak 1988 bersama istrinya, perupa Mella Jaarsma. Bersama CLine Gallery yang diprakarsai perupa Teguh Ostenrik, Cemeti dikenal tempat seniman-seniman muda meniti karier. Karya-karya Nindityo yang dipamerkan di CLine sekilas seperti lukisan dan sketsa (modern) biasa. Tapi sebenarnya lukisan dan sketsa ini tidak bisa dilihat dengan cara yang lazim. Diperlukan pemahamam, dalam seni rupa kontemporer kategorisasi lukisan, patung, dan gambar tidak lagi penting. Dan ini pula pernyataan Nindityo, "Saya tidak lagi memperhitungkan karya saya akan menjadi lukisan atau apa." Lukisan-lukisan perupa muda itu digantungkan berjajar di dinding membentuk sebuah formasi. Lukisan ini berkaitan dengan sejumlah sketsa yang secara bersama-sama menunjukkan sebuah proses. Dengan idiom lukisan dan sketsa ini, Nindityo memperlihatkan bagaimana ia mencari dan menemukan manifestasi visual bagi perjalanan estetik yang dialaminya. Semua karyanya yang dipamerankan berangkat dari tari tradisional bedaya dan serimpi. Karyanya berjudul Floor Pattern Towards The Earth menggambarkan formasi empat penari serimpi. Lukisan di tiap kanvas itu mencerminkan gerak spiritual empat penari yang berputar pada poros dan bergerak memusat. Karyanya yang lain, Lajuran, menggambarkan barisan penari bedaya. Delapan kanvas yang berjajar lagilagi menunjukkan spirit tiap-tiap penari bedaya, yang dalam gerakan yang sama sebenarnya menunjukkan kekuatan individual masing-masing. Elemen kayu formasi adalah citra dua bilah keris dalam posisi berlawanan. Ini filosofi tari bedaya, perimbangan kebaikan dan kejahatan. Guratan dan sapuan kuas yang spontan pada semua kanvas Nindityo bukan sekadar ekspresi emosi. Ini hasil usaha merasakan dorongan spiritual pada tari serimpi dan bedaya yang dilakukannya secara berulang-ulang. Ia merekam upaya pendalaman ini pada sketsa-sketsa yang juga dipamerkan. Kendati masih samar, terlihat bahwa garis-garis spontan pada sketsanya mempunyai kesamaan makna simbolik dengan pola guratan pada lukisan-lukisannya. Konsep penciptaan Nindityo cukup jelas. Ekspresinya, walau sekilas mirip dengan ekspresi emosi pada seni lukis modern, berbeda secara prinsip. Ekspresi emosi kaum modernis adalah ekspresi gestural (melibatkan gerak motorik tubuh). Sementara itu, ekspresi Nindityo, yang memadukan proses penciptaannya dengan estetika Jawa, mengacu pada penciptaan simbol-simbol. Upaya menggali prinsip penciptaan dalam kesenian etnik adalah salah satu kecenderungan dalam seni rupa kontemporer. Muncul karena kesadaran, kesenian-kesenian etnik menyodorkan estetika yang beragam. Ini reaksi pada modernisme yang cenderung menyatukan prinsip keindahan. Prinsip keindahan kaum modernis terperangkap pada teori komposisi. Mereka percaya, komposisi rupa semua kesenian -- etnik maupun modern -- mengacu pada satu kepekaan (rupa) yang sama. Pandangan ini mengabaikan sama sekali kenyataan bahwa setiap tradisi kesenian memiliki tata acuan (frame of reference) yang berbeda. Tentunya juga kepekaan, persepsi komposisi, dan perlambangan yang tidak sama. Jim Supangkat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus