Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mengolah Tubuh dan Tradisi

Sepuluh kelompok teater dari berbagai daerah di Indonesia tampil dalam Festival Teater Tubuh di Bandung. Kental akan tradisi.

29 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ karya Komunitas Hitam Putih dari Padang Panjang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penonton tercengang. Bisik-bisik suara pun berdengung. Seekor ayam berbulu hitam yang dikempit seorang perempuan ternyata benar-benar disembelih dengan pisau. Belum mati sepenuhnya, ayam itu lalu dibawa ke luar panggung. Darah ayam itu, yang ditampung pada mangkuk batok kelapa, dibawa menari berputar-putar. Sebagian jatuh menetes di lantai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aksi jagal ayam itu muncul menjelang akhir pementasan teater berjudul Sako Jung yang dimainkan tujuh anak muda. Mereka adalah siswa Sekolah Menengah Atas Katolik St. John Paul II Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur. Karya besutan sutradara Maria Ludvina Koli itu tampil sekitar satu jam di Festival Teater Tubuh, 24 Juli lalu. Festival itu diadakan Teater Payung Hitam di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 23-28 Juli.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Total ada 10 kelompok teater yang dibagi dalam dua pertunjukan setiap malam mulai pukul 20.00 WIB. Berbeda dengan lakon teater pada umumnya di panggung dalam ruangan atau gedung, festival yang digelar di ruang terbuka amfiteater Selasar Sunaryo ini lebih banyak mengolah unsur gerak tubuh dan kekuatan fisik. Lakonnya tidak mengalir lewat narasi kalimat atau percakapan antar-pemain. "Gerakan tubuh itu yang menjadi bahasa universal," kata Rachman Sabur, penanggung jawab festival.

Sako Jung menyajikan teater tradisi yang berfokus pada budaya masyarakat Desa Wairkoja, Sikka. Gerakan pemain, tarian, bebunyian, dan syair lagunya menceritakan budaya leluhur ketika berladang. Secara berkelompok, mereka membangun nilai-nilai kebersamaan, gotong-royong, dan kerja keras. Sepasang tokoh utamanya, Moan Loi dan Moan Lela, menjadi pelopor budaya itu di masyarakat.

Secara kebahasaan, sako dimaknai sebagai kegiatan mencangkul, dan jung artinya bersama-sama. "Sako Jung mengingatkan kita bahwa tubuh manusia adalah untuk membangun kekuatan bersama sebagai modal untuk bertahan hidup," kata Maria. Penggarapan teater itu bertujuan menghadirkan kembali kerja keras leluhur dengan mengelola tubuh yang tak kenal lelah dan tahan banting.

Berkonsep sejarah, lakon itu menyelipkan keresahan soal lahan yang tandus dan masalah sengketa tanah. Sebuah ritual kecil di akhir pertunjukan berperan untuk memulihkan keadaan.

Setelah Sako Jung, tampil empat pemain perempuan Lab Teater Tubuh memainkan lakon Dewi Dewi. Seorang pemain berkaus kutang merah berbalut kain batik dan selendang hitam membuka pementasan dengan berjalan keliling sambil menyunggi gentong gerabah yang bocor. Airnya memancur dari empat bolongan. Tiba di titik asal, gentong itu diempaskan ke lantai. Prak! Kisah lakon itu tentang perilaku manusia yang pada akhirnya kembali ke tanah.

Seni budaya tradisi juga kental pada pementasan hari perdana festival, 23 Juli lalu. Lab Teater Tubuh yang melibatkan puluhan pemain itu menyuguhkan pertunjukan berjudul Kuda Lumping Urban. Ikut mengusung kuda lumping raksasa berwarna merah dan putih dari bahan anyaman bambu, sebagian gerakan para aktornya seperti pemain kuda lumping. Tapi tanpa adegan makan beling.

Menurut seorang pengarah pertunjukannya, Irwan Jamal, proses awal penciptaan teaternya berangkat dari pengamatan terhadap pemain kelompok kuda lumping. Fokusnya pada totalitas ekspresi tubuh para pemainnya. Hasilnya kemudian diolah dan menjadi bagian dari metode pelatihan untuk teknik berperan. "Yang tradisional dan unsur modern dikawinkan menjadi karya baru," ujarnya.

Sementara itu, kelompok Teater Api Indonesia dari Surabaya, yang juga tampil pada hari pertama, membawakan drama berjudul Max. Kisah dari saduran novel Ken Kessay itu diolah menjadi drama oleh Dale Wasserman. Max adalah tokoh yang dicap tak waras digiring ke rumah sakit jiwa. Rezim menilai pemikiran dan logikanya yang menolak pembangunan dan modernisasi sebagai ancaman berbahaya. Max berdalih perubahan akan berdampak pada tatanan budaya serta tersingkirnya masyarakat dari tanah leluhur, budaya, dan tradisi.

Penampil lainnya dalam festival teater tubuh itu adalah Komunitas Hitam-Putih Padangpanjang, Sumatera Barat, pada malam ketiga, Kamis, 25 Juli lalu. Mereka mengusung lakon berjudul Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ. Selanjutnya Teater Payung Hitam dengan sutradara Rachman Sabur membawakan Mantra Tubuh.

Kelompok teater asal Bandung itu kembali tampil pada Sabtu, 27 Juli, dengan lakon Tubuh Garam, bergantian dengan teater dari Yayasan Lanjong Kalimantan Timur berjudul GWS. Di hari terakhir, Ahad, 28 Juli, berlangsung sarasehan dengan pembicara Afrizal Malna, Halim H.D., dan Jakob Sumardjo. Festival lalu dipungkasi dengan pertunjukan Teater Payung Hitam dengan judul Universitas Kaspar.

ANWAR SISWADI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus