Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Citraan daun juang berwarna merah darah, simbol khas suku Dayak, melayang pada lembaran kertas putih. Gambar berbahan cat air di atas kertas itu digantung di ruang pamer, seperti muncratan darah. Dua panel karya seni yang meneror.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perupa asal Madura, Suvi Wahyudianto, memberi judul karya berukuran 100 x 70 sentimeter itu sebagai Daun Jatuh. Karya ini mengingatkan orang-orang pada konflik antaretnis Melayu dan Dayak dengan Madura pada 1999 di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Tragedi itu membawa luka dan kepedihan tak terperikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi orang Dayak, daun juang sangat penting untuk tarian adat, upacara adat, dan simbol perang. Obyek daun juang itu ditemukan Suvi ketika menjalani program residensi Biennale Yogyakarta pada Juni-Juli 2019 di Sambas.
Meskipun bagi orang Madura pantang untuk datang ke Sambas pasca-konflik, Suvi memberanikan diri menyusuri kabupaten tersebut. "Modalnya nekat, menziarahi kegelapan. Tubuh saya harus mengalami langsung," kata Suvi, Selasa pekan lalu.
Karya itu merupakan satu dari 10 judul karya seni lukis dan instalasi yang dipamerkan di Cemeti Institute for Art and Society Yogyakarta, 17 Desember 2019 hingga 17 Januari 2020. Hampir semua karya dalam pameran bertajuk "Ingatan Bergegas Pulang" itu mengingatkan bahwa perang hanya menyisakan kesedihan, kehilangan, dan duka.
Di Sambas, Suvi melintasi terminal sebagai tempat keluar-masuknya orang dari berbagai daerah dan merasakan muramnya kota. Alumnus seni rupa Universitas Negeri Surabaya itu berziarah ke kuburan massal orang Madura korban konflik di perbatasan Sambas dan Singkawang.
Ia juga mampir ke tempat penampungan orang-orang Madura setelah konflik di Dusun Madani, Desa Mekar Sari, Kalimantan Barat. Mereka tinggal di rumah-rumah panggung dan tidak bisa kembali ke Sambas, tempat awal mereka memulai kehidupan sebagai transmigran 20 tahun lalu.
Suvi berkisah, perjalanannya ke Sambas sekaligus sebagai usaha melihat upaya rekonsiliasi generasi muda. Dia memulai dengan mendatangi Kafe Canopy Center Pontianak, Kalimantan Barat. Di kafe inilah Suvi bertemu dengan seorang musikus keturunan Dayak, Juan Arminandi. Awalnya pertemuan itu kaku karena keduanya datang dari etnis yang pernah berkonflik.
Suvi Wahyudianto. Tempo/Shinta Maharani
Namun percakapan intens membuat keduanya menjadi akrab. Mereka punya kesadaran yang sama: memandang rekonsiliasi sebagai jalan untuk mengakhiri konflik dan pengalaman traumatik. "Bagaimana melihat konflik sebagai sesuatu yang tidak perlu diwariskan," ujar Suvi.
Juan banyak membantu Suvi selama di Sambas. Juan mengantar Suvi ke sejumlah lokasi, seperti kuburan massal etnis Madura. Dalam perjalanan itu, keduanya menutup rapat-rapat identitas Suvi sebagai orang Madura.
Suvi juga menginap di rumah Juan. Setiap malam, mereka minum kopi sembari mengobrol tentang konflik etnis Dayak-Madura dan Melayu-Madura. "Rasisme harus dijauhkan demi perdamaian," kata Juan.
Suvi mewujudkan usaha rekonsiliasi konflik itu dengan menciptakan karya berjudul Menjahit Kertas. Ia membuat lima panel kertas putih dengan jahitan benang berwarna hitam pada cat air berwarna merah darah. Karya itu diletakkan menghampar di atas meja. Saat pembukaan pameran, Suvi menjahit langsung kertas itu di hadapan pengunjung.
Ia menjelaskan, karya itu menggambarkan tubuh manusia yang rapuh seperti halnya kertas. Dalam kerapuhan itu, manusia ingin sembuh dari berbagai macam kesedihan, kesakitan, dan tragedi dengan simbol jahitan. "Berupaya sembuh dan berdamai dengan luka-luka itu," kata Suvi.
Simbol kegelapan juga muncul pada karya Ketika Malam Bertambah Legam. Dalam karya ini, Suvi membuat bilik dari besi yang di dalamnya berisi tempayan dan air. Saat pembukaan pameran, ia menggelar seni pertunjukan dengan berteriak di tempayan berisi air tersebut.
Karya ini menggambarkan ingatan Suvi tentang suasana Madura yang mati listrik selama tiga bulan pada 1999. Pada tahun itu juga terjadi tragedi berdarah antar-etnis di Kalimantan. Karya ini juga menggambarkan pengalaman Suvi ketika ditinggalkan ayahnya saat dia masih bocah. Suatu hari, ibunya meminta Suvi memanggil nama bapaknya melalui lubang tempayan agar bapaknya ingat pulang ke rumah.
Manajer artistik pameran, Manshur Zikri, mengatakan karya-karya Suvi berbicara tentang pengalaman tubuh secara personal yang berhubungan dengan pengalaman tubuh secara sosial. Instalasi obyek tempayan dalam bilik gelap, misalnya, menggambarkan kerinduan masyarakat Madura yang ingin pulang ke Sambas setelah terusir pasca-konflik.
Daun Jatuh mewakili apa yang ditemui Suvi di Sambas. Ia melakukan eksperimen terhadap bahan dan obyek dengan menyusun kertas berlapis tiga. "Usaha memberikan pengalaman baru karya seni rupa ke publik," kata Manshur.
Karya lain yang menggambarkan simbol kuat Madura adalah seri enam lukisan bertema sapi. Di Madura, sapi menjadi ikon penting, misalnya dalam karapan sapi yang lekat dengan simbol maskulinitas atau keperkasaan.
Namun lukisan berjudul Lanskap dan Rubuhnya Seekor Sapi ini justru digambarkan sebaliknya. Di setiap lukisan, hanya ada satu sapi yang roboh dan menjadi bangkai. Sapi yang terkoyak ini menggambarkan kerapuhan, kebanggaan masyarakat Madura yang hilang pasca-konflik. SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo