Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menumpang absurditas albee

Pemain : fuada idris, c.c. fabriyono, budiadi odike, agoes jolly, wierman. karya/sutradara : djoko quartantyo produksi : teater gong. resensi oleh : putu wijaya

10 Februari 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DRAMA Kanon karya Djoko Quartantyo, merupakan adaptasi The Zoo Story, karya pertama (1958) Edward Albee -- dramawan Amerika yang terkenal dengan karyanya: Who's Afraid of Virginia Woolf. Berbeda dengan Kanon karya Albee tidak hanya serangkaian diskusi intelektual, tapi juga tontonan seni rupa, protes sosial, dan "dagelan". Mengambil tempat di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, penata panggung Onny Koes Harsono bekerja keras. Ia memasang sosok patung di luar gedung. Kemudian menutup seluruh lantai pementasan, termasuk dua deret kursi di bagian depan, dengan kain hitam. Panggung dipadati dengan set yang didominasi garis-garis putih, nyaris pameran patung modern. Di depan panggung berdiri menara kayu dengan tangga dan gantungan-gantungan menyerupai kurungan. Kepenuhan yang terasa sunyi itu disempurnakan oleh musik yang mengiris dari Sugeng Pratikno. Selanjutnya, selama hampir dua jam, kita diajak mendengarkan monolog Yung (dimainkan oleh C.C. Fabriyono), seorang homoseksual. Ia ngecap ngalor-ngidul di depan Patro (Fuad Idris), seorang broken home, yang sejak awal sampai akhir pertunjukan sibuk membaca buku. Sementara itu, tokoh Pak Tua (Budiadi Odike) yang menjaga taman, seakan-akan menjadi saksi dan jembatan antara kedua tokoh itu. Masih ada dua tokoh lain yang memberikan warna kocak sekaligus protes sosial. Pengamen (Agoes Jolly) yang kepalanya mengingatkan tokoh raksasa dalam wayang wong. Ia membawa sebuah cello dan sibuk menyanyikan hidup. Sedangkan tokoh Pengemis (Wierman St.), dengan luka-luka di seluruh tubuh, menadahkan tangan sambil mengguman: "Dunia Ketiga, Dunia Ketiga," memberikan nuansa lucu dan sekaligus getir. Sebagaimana umumnya lakon-lakon absurd yang mengikuti pola "menukik-berpusar-pusar", yang dirintis Beckett dengan Menunggu Godot, Kanon juga bergulung di tempat. Berbagai masalah sepele dipikirkan dengan semangat berfilsafat. Anekdot-anekdot memberat. Maka arah utara, misalnya, menjadi membingungkan dan pelik. Sutradara berusaha memecahkan keruwetan itu dengan desain-desain gerak. Kehadiran Pengamen, Pengemis, dan Pak Tua pun bagaikan upaya, sekaligus kompromi untuk membuat diskusi-diskusi itu menjadi lebih encer dan komunikatif. Tetapi, apa yang mau disampaikan tak sempat mengkristal, tetap kusut sampai akhir. Sementara itu, tata lampu (Soni Sumarsono) tak mengimbangi kerepotan gerak dan bentuk, sehingga tontonan pun kurang bingkai. Padahal, muncul banyak komposisi aneh yang dijiwai semangat seni rupa yang terasa dirancang serta dimainkan dengan semangat tinggi. Untung, Subarkah H.S. menunjang dengan penataan rambut yang menarik, meskipun masih belum sempat dilengkapinya dengan tata kostum yang berimbang. Sebagai sutradara, Djoko cukup cermat. Bloking demi bloking mengalir, para pemain sibuk sekali ke sana kemari, naik-turun memanfaatkan set. Hampir setiap kalimat dikembangkan dengan gerak dan komposisi, sehingga terasa penuh dan ornamentik. Kadang-kadang agak artifisial karena semata mengejar bentuk. Toh panggung masih tetap saja terasa terlalu besar, karena Graha Bhakti Budaya sebenarnya tak ideal untuk jenis pertunjukan ini. Berbeda dengan debutnya dalam produksi pertamanya tahun lalu, yang konon memuaskan, kali ini Teater Gong belum begitu berhasil. Bobot pemain belum pas. Kecuali Budiadi dan Wierman, yang bermain dengan tekun dan luwes, para pemain lain masih terasa "berakting". Seni akting, yang dipujikan oleh banyak koran, muncul mulus dalam produksi pertama Teater Gong (dulu bernama Teater Gangk), kali ini masih belum mengendap. Yang muncul adalah kerepotan tubuh (khususnya pada Fabriyono), yang belum didukung oleh kedalaman rohani. Mendekati tokoh-tokoh dalam drama absurd dengan teknik akting realis memerlukan kiat tersendiri. Apalagi kalau teknik akting realisnya sendiri belum sempurna. Apa sebenarnya yang hendak diucapkan Djoko, yang pernah membuat eksperimen "teater diam" selama 28 jam di atap genting kampus IKJ pada 1978 dan 1979? Mengapa ia menumpang Albee? Pertunjukan drama "absurd" mulai terasa menggoda ketika Bengkel Teater Rendra mementaskan Menunggu Godot pada 1969. Sejak itu "teater absurd" -- sebenarnya kini sudah mulai basi di Barat -- mulai mewabah. Di dalam Festival Teater Remaja, sejak tahun 1974 drama absurd seperti jadi "penyakit". Banyak yang ikut-ikutan dengan membabi-buta tanpa pengetahuan yang cukup, sehingga hasilnya ngawur. Tak heran kalau muncul ejekan, asal aneh lalu jadi "drama absurd". Pertunjukan Kanon, kalau muncul saat-saat itu, 10 atau 15 tahun yang lalu, barangkali akan menjadi penting. Karena Kanon telah ditata dengan cukup rapi. Didukung oleh "seni akting". Sutradaranya pernah mencicipi pendidikan di LPKJ, punya pengalaman di Teater Mandiri. Dan yang paling penting, lahir pada saat referensi tentang teater absurd sudah mudah dicari di Indonesia. Sayang, saat ini obsesi individu yang terasing, sebagai nyawa teater absurd -- meskipun memang amat manusiawi -- sudah agak lewat masanya. Di samping itu, gerak di dalam seluruh tontonan ini, walaupun enerjetik masih belum memiliki kedalaman. Sebenarnya, Djoko tak perlu menumpangi karya Albee. Ia mampu menulis dan memiliki humor-humor "brutal" yang khas. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus