Penghapusan Becak: Sekadar Memindahkan Eksploatasi Manusia Mengejar kesan tampilnya Jakarta sebagai pengejawantahan peradaban modern serta citra bersih, manusiawi dan berwibawa (BMW), Pemerintah DKI dan aparat penertibannya dengan gagah berani dan semangat berkibar menyanyikan lagu-lagu patriotik, mengiring kepergian becak ke medan laga pembasmian. Dari berbagai media massa, bisa disimpulkan: Ada tiga alasan sehubungan dengan kebijaksanaan penghapusan becak. Pertama, becak adalah eksploatasi manusia atas manusia. Kedua, becak menimbulkan kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas. Ketiga, pengemudi becak gampang dihasut untuk melakukan hal-hal yang berbahaya, yang dapat menimbulkan kerawanan sosial. Yang paling menarik adalah alasan pertama yang kini tampak paling ditonjolkan karena aktualitasnya. Untuk alasan ini, berkali-kali pejabat DKI menekankan di depan publik bahwa becak tidak manusiawi. Alasan kedua dan ketiga sudah jauh hari dibicarakan yang, tentu saja, mengundang reaksi pro dan kontra. Agaknya, alasan kedua kurang logis. Sebab, berapa persen kontribusi becak dalam menciptakan masalah lalu lintas. Sedangkan yang ketiga, tampak terlalu mengada-ada. Masyarakat yang hidupnya melarat, hidup dalam keterjepitan dan ketertindasan, punya kecenderungan untuk menciptakan kerawanan sosial. Di Ibu Kota, jumlahnya sangat banyak dan banyak yang lebih parah ketimbang kondisi pengemudi becak. Justru keputusan itu dapat memperbesar terjadinya kerawanan sosial. Kesan yang timbul dari keputusan Pemda DKI itu seperti menempelkan gincu dan eye shadow di wajah yang tak begitu apik. Tampak seperti wanita terhormat dan modern. Dan wanita itu adalah metropolitan. Untuk menciptakan citra metropolitan danperadaban modern, maka becak yang begitu mengganggu pandangan mata harus digempur habis-habisan. Memang, para turis ataupun investor asing yang berkunjung ke Jakarta dengan mudah melihat dan mereka segera berkesimpulan bahwa Indonesia melarat, terbelakang, dan melegalkan eksploatasi manusia. Hal ini membuat mereka mual dan mata berkunang-kunang. Pada dasarnya, pandangan bahwa menjadi pengemudi becak kurang manusiawi, bisa diterima. Bayangkan, pasangan muda-mudi bercengkrama, sementara abang becak mati-matian menggenjot di sebuah tanjakan. Namun, lihatlah hubungan yang sangat manusiawi dan akrab antara abang becak dan langganannya, atau abang becak yang dengan ringan tangan membantu warga masyarakat yang sedang pindah rumah, atau mengangkut dagangan tukang sayur. Juga nasib mereka yang jauh lebih baik setelah menjadi pengemudi becak. Banyak cerita mengenai pengemudi becak yang karena profesinya mampu mengangkat harkat dirinya dari lembah kemelaratan yang akut dan mampu menyekolahkan anak-anaknya. Kalau dalam jangka pendek terpaksa menarik becak, mereka berharap kelak anak-anaknya dapat bernasib lebih baik. Muncul dan berkembangnya becak dalam jumlah luar biasa, boleh jadi, diakibatkan pembangunan yang terlalu berorientasi kota dan menguntungkan sekelompok orang dengan mengorbankan petani di pedesaan. Penyebab lain adalah nilai tukar petani yang semakin merosot, serta pembatasan kebebasan petani dalam menentukan jenis tanaman pertanian yang lebih menguntungkan. Kalau pemerintah DKI memang berniat memperbaiki nasib rakyat kecil, khususnya penarik becak, ketidaksiapan mereka untuk mencari jalan atau alternatif pekerjaan yang lebih baik, apakah mencerminkan tujuan mulia itu? Atau menghapuskan pekerjaan yang tak manusiawi dengan cara yang tak manusiawi merupakan lelucon lepas landas? Siapa pun tahu, mencari alternatif pekerjaan yang lebih baik, minimal setara dengan penghasilan mereka sebagai pengemudi becak, tidak gampang. Kalau tujuan itu memang murni,berikhtiarlah secara perlahan-lahan, tapi pasti. Targetkan tiap tahun berapa pengemudi becak yang akan dibantu mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik. Kalau kemakmuran negeri ini meningkat dengan pembagian kue yang makin merata dan lahirnya alternatif lain yang lebih baik dan masuk akal, becak akan berangsur lenyap. Memang akan sangat lama, bahkan lama sekali. Bisa jadi, kemakmuran cepat meningkat, namun siapa berani menjamin kesenjangan tidak makin meluas. Tindakan mulia tidak bisa dilakukan dengan grusa-grusu. Apalagi menciptakan kesulitan bagi orang lain. Baik itu bagi pengemudi becak atau daerah-daerah lain. Sebagian becak diminta atau terpaksa beroperasi di luar Jakarta. Artinya, hanya sekadar memindahkan eksploatasi manusia ke tempat lain. A. ISWINARTO Taman Alfa Indah D8/20-21 Joglo, Kebun Jeruk Jakarta Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini